26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Masa Jabatan Pimpinan KPK Jadi 5 Tahun, Merasa Dilangkahi DPR Bakal Panggil MK

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal lebih lama. Kepastian itu didapat usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan komisioner KPK, Nurul Gufron. Tak hanya itu, MK juga memperbolehkan warga negara berusia di bawah 50 tahun untuk mendaftar sebagai pimpinan KPK. Sepanjang yang bersangkutan punya pengalaman sebagai pimpinan KPK.

SEBELUMNYA, Gufron menggugat pasal Pasal 29 huruf e UU KPK hasil revisi yang menaikkan usia minimal komisioner dari 40 menjadi 50 tahun. Ketentuan itu membuat Gufron yang berusia 49 tahun kehilangan kesempatan untuk kembali maju.

Selain itu, dia juga menggugat pasal 34 UU KPK yang mengatur masa jabatan pimpinan hanya empat tahun karena berbeda dengan lembaga lainnya yang berlaku lima tahun. Terkait gugatan itu, MK mengabulkan semuanya.

Dalam pertimbangannya, MK menilai pasal masa jabatan pimpinan KPK memang open legal policy. Namun MK menganggap, apa yang diatur bertentangan dengan prinsip keadilan. Sebab, jika merujuk lembaga negara dan komisi independen lainnya, masa jabatan berlaku lima tahun. Sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen,” kata hakim MK Arief Hidayat.

Lebih lanjut lagi, masa jabatan lima tahun juga akan lebih melindungi independensi KPK. Sebab, jika empat tahun, dalam momen tertentu membuka peluang satu periode presiden dan DPR melakukan dua kali rekrutmen pimpinan KPK.

Sementara terhadap Pasal 29 huruf e, MK menilai, faktor pengalaman punya peran penting dan menguntungkan lembaga KPK. “Karena telah memahami sistem kerja, permasalahan yang dihadapi serta target kinerja yang ingin dicapai,” ujar hakim MK, Guntur Hamzah.

Sebagai lembaga berkarakter khusus, KPK membutuhkan orang berpengalaman. Sebab, dipandang MK bisa membangun tim yang kuat dengan memberikan bimbingan guna menuntaskan tantangan KPK. “Sepanjang yang bersangkutan memiliki rekam jejak yang baik, maka yang bersangkutan merupakan calon yang potensial,” tuturnya.

Sementara itu, empat Hakim Kontitusi yang menyatakan pendapat berbeda pendapat. Empat hakim konstitusi itu yakni Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih tidak setuju masa jabatan pimpinan KPK diubah dari semula empat tahun menjadi lima tahun. Mereka berbeda pendapat dari lima hakim konstitusi yang menyetujui masa jabatan pimpinan KPK diubah menjadi lima tahun.

Enny Nurbaningsih dkk menyatakan, KPK merupakan lembaga negara independen, meskipun keberadaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi dipandang penting secara konstitusional khususnya untuk memberantas korupsi.

Enny menyatakan, argumentasi yang dibangun Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron selaku pemohon sama sekali tidak menyinggung masa jabatan pimpinan KPK dalam konteks kelembagaan. Ghufron hanya beralasan, masa jabatan pimpinan KPK lebih singkat dibandingkan lembaga nonkementerian yang dianggap kedudukan KPK lebih rendah.

“Karakteristik independensi kelembagaan KPK tetap dijamin tanpa ada keterkaitan dengan masa jabatan pimpinan. Terlebih lagi berkenaan dengan masa jabatan sejumlah komisi atau lembaga telah ternyata terdapat ketidakseragaman dalam pengaturannya,” kata Enny membacakan dissention opinion di Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/5).

Ia menegaskan, keputusan MK yang mengabulkan permohonan Nurul Ghufron dari semula empat tahun menjadi lima tahun, dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara.

Menurutnya, MK akan masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk Undang-undang untuk menentukannya. “Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat petitum pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk memaknai norma Pasal 34 UU 30/2002 menjadi “Pimpinan KPK memegang jabatan selama lima tahun” adalah tidak beralasan menurut hukum sehingga seharusnya Mahkamah menolak permohonan pemohon a quo,” tegas Enny.

Pengamat hukum Ibnu Syamsu Hidayat menilai, Mahkamah Konstitusi tak konsisten dalam memutuskan perkara yang diadilinya. “MK tidak konsisten terhadap putusan, beberapa putusan yang berkaitan dengan hal demikian dinyatakan open legal policy, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XI/2013 isinya mengenai pengujian Undang-Undang Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja secara kolektif,” kata Ibnu Syamsu Hidayat kepada JawaPos.com, Kamis (25/5).

Menurut pegiat antikorupsi ini, jika dilihat dari permohonan masa jabatan yang diajukan pimpinan KPK Nurul Ghufron, dirinya berpendapat gugatan tersebut open legal policy. Oleh karena itu, menurutnya, suatu kebijakan pembentuk undang-undang dan masa jabatan yang panjang ini sangat rawan dijadikan sebagai alat politik kekuasaan.

“Tidak dapat disalahkan jika publik menilai bahwa MK pilih-pilih dalam hal menentukan “open legal policy”, yang sekiranya tidak sesuai dengan keinginan kekuasaan, maka dikatakan open legal policy, seperti ambang batas syarat pencalonan presiden,” tukas pria yang karib disapa Ibnu ini.

Menurut Ibnu, dikabulkannya gugatan tersebut juga menjadikan lembaga antirasuah rawan disalahgunakan. “Rawan abuse of power penegak hukum,” kata Ibnu.

Kerawanan penyalahgunaan wewenang ini menurut Ibnu, terjadi karena sejak proses perekrutan hingga hasilnya banyak bermasalah. “KPK yang memiliki wewenang dalam hal penindakan tindak pidana, jabatan yang panjang sangat mungkin disalahgunakan, apalagi dengan kontruksi KPK yang sekarang, yang sejak awal telah bermasalah, baik proses rekrutmentnya maupun hasil rekrutmentnya yang terbukti bermasalah,” tegasnya.

Pakar hukum tata negara, Feri Amsari juga mempertanyakan pembacaan putusan MK yang diumumkan menjelang proses seleksi calon pimpinan (Capim) KPK tersebut. Menurutnya, hal tersebut berpotensi dijadikan alasan untuk tidak membentuk panitia seleksi (Pansel) Capim KPK. “Apalagi ini sudah sangat dekat dengan masa habisnya pimpinan KPK,” kata Feri kepada Jawa Pos, kemarin.

Feri menjelaskan, terlepas dari materi judicial review yang dikabulkan MK, putusan tersebut mestinya tidak dijadikan dasar untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK yang sekarang. Sebab, sebagaimana prinsip non-reproaktif yang berlaku universal, putusan MK tidak bisa berlaku surut. “Yang tepat adalah menerapkannya untuk periode pimpinan berikutnya,” ujarnya.

Sementara itu, Ghufron saat dikonfirmasi mengatakan, putusan MK itu adalah kemenangan demokrasi berkonstitusi. Pihaknya pun mengucapkan terima kasih kepada majelis hakim MK yang sudah menerima seluruh permohonan JR yang diajukannya tahun lalu tersebut. “Inilah bukti kemewahan berdemokrasi dalam koridor konstitusi yang harus kita jaga dan rawat selalu,” tuturnya kepada Jawa Pos.

Terpisah, Wakil Presiden Ma’ruf Amin berharap perpanjangan periode komisioner KPK bisa berdampak positif. Dengan keputusan MK tersebut, diharapkan pimpinan KPK mempunyai rentang waktu yang cukup untuk menangani masalah korupsi. “Barang kali kalau (pandangan) pemerintah seperti itu,” katanya di komplek Istana Wakil Presiden kemarin.

Ma’ruf menuturkan pemerintah masih menunggu keputusan resmi MK. Khususnya terkait sikap pemerintah apakah langsung memperpanjang mada kepengurusan Firli CS atau ada skema lainnya. “Menurut yang saya dengar, informasinya jadi KPK uanh sekarang ini (masa kerjanya) ditambah,” tutur Ma’ruf. Artinya masa kerja Firli CS yang seharusnya berakhir tahun ini, diperpanjang tahun depan. Ma’ruf menegaskan perpanjangan masa bakti itu diharapkan diikuti kinerja yang efektif.

Ma’ruf menegaskan, putusan MK bersifat final dan binding. Sebuah keputusan final yang harus dijalankan. Untuk itu Ma’ruf menegaskan pemerintah bersikap menerima keputusan MK tersebut. Menurut dia MK nanti pastinya akan memberikan penjelasan secara terbuka untuk menghindari polemik di masyarakat.

DPR Merasa Dilangkahi MK

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi NasDem Ahmad Sahroni mengkritik putusan Mahkamah Konsitusi (MK) memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari empat menjadi lima tahun. Sahroni mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan para pimpinan lain di Komisi III DPR untuk menjadwalkan pemanggilan MK. Pihaknya akan mempertanyakan kewenangan MK dalam putusan tersebut. “Saya akan minta kepada pimpinan yang lain untuk memanggil MK. Karena kami kalau memanggil mitra kerja Komisi III harus kolektif kolegial,” kata Sahroni saat dihubungi, Kamis (25/5).

Politikus Partai NasDem itu mengaku masih bingung dengan putusan MK yang mengabulkan gugatan salah satu komisioner KPK, Nurul Ghufron dengan memperpanjang masa jabatan pimpinan Lembaga Antirasuah. Menurut dia, putusan tersebut telah melangkahi wewenang DPR selaku pembuat undang-undang. “Yang buat UU kan DPR. Kenapa jadi MK yang mutusin perpanjangan suatu jabatan lembaga. Saya bener-bener bingung,” kata dia.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman melayangkan kritik keras atas putusan tersebut. Dia mempertanyakan alasan hukum MK memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK. Padahal menurut Benny, aturan soal itu mutlak menjadi kewenangan DPR selaku perumus undang-undang. “Dari mana sumber kewenangan MK mengubah periode masa jabatan pimpinan KPK ini? Itu kewenangan mutlak pembentuk UU. Tertib konstitusi menjadi rusak akibat MK ikut bermain politik. Hancur negeri ini!” kata Benny. (far/tyo/wan/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal lebih lama. Kepastian itu didapat usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan komisioner KPK, Nurul Gufron. Tak hanya itu, MK juga memperbolehkan warga negara berusia di bawah 50 tahun untuk mendaftar sebagai pimpinan KPK. Sepanjang yang bersangkutan punya pengalaman sebagai pimpinan KPK.

SEBELUMNYA, Gufron menggugat pasal Pasal 29 huruf e UU KPK hasil revisi yang menaikkan usia minimal komisioner dari 40 menjadi 50 tahun. Ketentuan itu membuat Gufron yang berusia 49 tahun kehilangan kesempatan untuk kembali maju.

Selain itu, dia juga menggugat pasal 34 UU KPK yang mengatur masa jabatan pimpinan hanya empat tahun karena berbeda dengan lembaga lainnya yang berlaku lima tahun. Terkait gugatan itu, MK mengabulkan semuanya.

Dalam pertimbangannya, MK menilai pasal masa jabatan pimpinan KPK memang open legal policy. Namun MK menganggap, apa yang diatur bertentangan dengan prinsip keadilan. Sebab, jika merujuk lembaga negara dan komisi independen lainnya, masa jabatan berlaku lima tahun. Sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen,” kata hakim MK Arief Hidayat.

Lebih lanjut lagi, masa jabatan lima tahun juga akan lebih melindungi independensi KPK. Sebab, jika empat tahun, dalam momen tertentu membuka peluang satu periode presiden dan DPR melakukan dua kali rekrutmen pimpinan KPK.

Sementara terhadap Pasal 29 huruf e, MK menilai, faktor pengalaman punya peran penting dan menguntungkan lembaga KPK. “Karena telah memahami sistem kerja, permasalahan yang dihadapi serta target kinerja yang ingin dicapai,” ujar hakim MK, Guntur Hamzah.

Sebagai lembaga berkarakter khusus, KPK membutuhkan orang berpengalaman. Sebab, dipandang MK bisa membangun tim yang kuat dengan memberikan bimbingan guna menuntaskan tantangan KPK. “Sepanjang yang bersangkutan memiliki rekam jejak yang baik, maka yang bersangkutan merupakan calon yang potensial,” tuturnya.

Sementara itu, empat Hakim Kontitusi yang menyatakan pendapat berbeda pendapat. Empat hakim konstitusi itu yakni Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih tidak setuju masa jabatan pimpinan KPK diubah dari semula empat tahun menjadi lima tahun. Mereka berbeda pendapat dari lima hakim konstitusi yang menyetujui masa jabatan pimpinan KPK diubah menjadi lima tahun.

Enny Nurbaningsih dkk menyatakan, KPK merupakan lembaga negara independen, meskipun keberadaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi dipandang penting secara konstitusional khususnya untuk memberantas korupsi.

Enny menyatakan, argumentasi yang dibangun Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron selaku pemohon sama sekali tidak menyinggung masa jabatan pimpinan KPK dalam konteks kelembagaan. Ghufron hanya beralasan, masa jabatan pimpinan KPK lebih singkat dibandingkan lembaga nonkementerian yang dianggap kedudukan KPK lebih rendah.

“Karakteristik independensi kelembagaan KPK tetap dijamin tanpa ada keterkaitan dengan masa jabatan pimpinan. Terlebih lagi berkenaan dengan masa jabatan sejumlah komisi atau lembaga telah ternyata terdapat ketidakseragaman dalam pengaturannya,” kata Enny membacakan dissention opinion di Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/5).

Ia menegaskan, keputusan MK yang mengabulkan permohonan Nurul Ghufron dari semula empat tahun menjadi lima tahun, dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara.

Menurutnya, MK akan masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk Undang-undang untuk menentukannya. “Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat petitum pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk memaknai norma Pasal 34 UU 30/2002 menjadi “Pimpinan KPK memegang jabatan selama lima tahun” adalah tidak beralasan menurut hukum sehingga seharusnya Mahkamah menolak permohonan pemohon a quo,” tegas Enny.

Pengamat hukum Ibnu Syamsu Hidayat menilai, Mahkamah Konstitusi tak konsisten dalam memutuskan perkara yang diadilinya. “MK tidak konsisten terhadap putusan, beberapa putusan yang berkaitan dengan hal demikian dinyatakan open legal policy, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XI/2013 isinya mengenai pengujian Undang-Undang Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja secara kolektif,” kata Ibnu Syamsu Hidayat kepada JawaPos.com, Kamis (25/5).

Menurut pegiat antikorupsi ini, jika dilihat dari permohonan masa jabatan yang diajukan pimpinan KPK Nurul Ghufron, dirinya berpendapat gugatan tersebut open legal policy. Oleh karena itu, menurutnya, suatu kebijakan pembentuk undang-undang dan masa jabatan yang panjang ini sangat rawan dijadikan sebagai alat politik kekuasaan.

“Tidak dapat disalahkan jika publik menilai bahwa MK pilih-pilih dalam hal menentukan “open legal policy”, yang sekiranya tidak sesuai dengan keinginan kekuasaan, maka dikatakan open legal policy, seperti ambang batas syarat pencalonan presiden,” tukas pria yang karib disapa Ibnu ini.

Menurut Ibnu, dikabulkannya gugatan tersebut juga menjadikan lembaga antirasuah rawan disalahgunakan. “Rawan abuse of power penegak hukum,” kata Ibnu.

Kerawanan penyalahgunaan wewenang ini menurut Ibnu, terjadi karena sejak proses perekrutan hingga hasilnya banyak bermasalah. “KPK yang memiliki wewenang dalam hal penindakan tindak pidana, jabatan yang panjang sangat mungkin disalahgunakan, apalagi dengan kontruksi KPK yang sekarang, yang sejak awal telah bermasalah, baik proses rekrutmentnya maupun hasil rekrutmentnya yang terbukti bermasalah,” tegasnya.

Pakar hukum tata negara, Feri Amsari juga mempertanyakan pembacaan putusan MK yang diumumkan menjelang proses seleksi calon pimpinan (Capim) KPK tersebut. Menurutnya, hal tersebut berpotensi dijadikan alasan untuk tidak membentuk panitia seleksi (Pansel) Capim KPK. “Apalagi ini sudah sangat dekat dengan masa habisnya pimpinan KPK,” kata Feri kepada Jawa Pos, kemarin.

Feri menjelaskan, terlepas dari materi judicial review yang dikabulkan MK, putusan tersebut mestinya tidak dijadikan dasar untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK yang sekarang. Sebab, sebagaimana prinsip non-reproaktif yang berlaku universal, putusan MK tidak bisa berlaku surut. “Yang tepat adalah menerapkannya untuk periode pimpinan berikutnya,” ujarnya.

Sementara itu, Ghufron saat dikonfirmasi mengatakan, putusan MK itu adalah kemenangan demokrasi berkonstitusi. Pihaknya pun mengucapkan terima kasih kepada majelis hakim MK yang sudah menerima seluruh permohonan JR yang diajukannya tahun lalu tersebut. “Inilah bukti kemewahan berdemokrasi dalam koridor konstitusi yang harus kita jaga dan rawat selalu,” tuturnya kepada Jawa Pos.

Terpisah, Wakil Presiden Ma’ruf Amin berharap perpanjangan periode komisioner KPK bisa berdampak positif. Dengan keputusan MK tersebut, diharapkan pimpinan KPK mempunyai rentang waktu yang cukup untuk menangani masalah korupsi. “Barang kali kalau (pandangan) pemerintah seperti itu,” katanya di komplek Istana Wakil Presiden kemarin.

Ma’ruf menuturkan pemerintah masih menunggu keputusan resmi MK. Khususnya terkait sikap pemerintah apakah langsung memperpanjang mada kepengurusan Firli CS atau ada skema lainnya. “Menurut yang saya dengar, informasinya jadi KPK uanh sekarang ini (masa kerjanya) ditambah,” tutur Ma’ruf. Artinya masa kerja Firli CS yang seharusnya berakhir tahun ini, diperpanjang tahun depan. Ma’ruf menegaskan perpanjangan masa bakti itu diharapkan diikuti kinerja yang efektif.

Ma’ruf menegaskan, putusan MK bersifat final dan binding. Sebuah keputusan final yang harus dijalankan. Untuk itu Ma’ruf menegaskan pemerintah bersikap menerima keputusan MK tersebut. Menurut dia MK nanti pastinya akan memberikan penjelasan secara terbuka untuk menghindari polemik di masyarakat.

DPR Merasa Dilangkahi MK

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi NasDem Ahmad Sahroni mengkritik putusan Mahkamah Konsitusi (MK) memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari empat menjadi lima tahun. Sahroni mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan para pimpinan lain di Komisi III DPR untuk menjadwalkan pemanggilan MK. Pihaknya akan mempertanyakan kewenangan MK dalam putusan tersebut. “Saya akan minta kepada pimpinan yang lain untuk memanggil MK. Karena kami kalau memanggil mitra kerja Komisi III harus kolektif kolegial,” kata Sahroni saat dihubungi, Kamis (25/5).

Politikus Partai NasDem itu mengaku masih bingung dengan putusan MK yang mengabulkan gugatan salah satu komisioner KPK, Nurul Ghufron dengan memperpanjang masa jabatan pimpinan Lembaga Antirasuah. Menurut dia, putusan tersebut telah melangkahi wewenang DPR selaku pembuat undang-undang. “Yang buat UU kan DPR. Kenapa jadi MK yang mutusin perpanjangan suatu jabatan lembaga. Saya bener-bener bingung,” kata dia.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman melayangkan kritik keras atas putusan tersebut. Dia mempertanyakan alasan hukum MK memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK. Padahal menurut Benny, aturan soal itu mutlak menjadi kewenangan DPR selaku perumus undang-undang. “Dari mana sumber kewenangan MK mengubah periode masa jabatan pimpinan KPK ini? Itu kewenangan mutlak pembentuk UU. Tertib konstitusi menjadi rusak akibat MK ikut bermain politik. Hancur negeri ini!” kata Benny. (far/tyo/wan/jpg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/