Pusat Perbelanjaan Era 1980-an di Medan, Apa Kabar? (5/Habis)
Medan Plaza tampil berbeda dengan pusat perbelanjaan lain. Plaza yang sudah 25 tahun beroperasi ini ternyata masih eksis meski pengunjungnya mulai berkurang. Usut punya usut, keberadaan gereja di lantai 6 adalah faktor penting dalam perkembangan plaza ini.
Farida Noris – Juli Ramadhani Rambe, Medan
Memilih tempat di Jalan Iskandar Muda, Medan Plaza dulunya memiliki tingkat pengunjung yang cukup tinggi. Pusat perbelanjaan yang berdiri sejak 1987 ini memang sempat mencapai masa kejayaannya. Namun, seiring bermunculannya pusat perbelanjaan yang lebih lengkap, maka Medan Plaza seolah tertinggalkan.
Mulyono selaku Supervisor Gedung Medan Plaza mengaku daya beli masyarakat di gedung 6 lantai itu semakin menurun setiap harinya. Bahkan, masyarakat yang datang mayoritas hanya kalangan menengah kebawah saja.
“Pengunjung juga semakin minim. Hanya hari-hari tertentu saja yang agak normal. Apalagi, daya beli masyarakat di sini juga jauh dari harapan. Bukan saya saja yang bilang begitu, semua karyawan di sini juga merasakannya,” ujar Mulyono yang sudah 12 tahun bekerja di Medan Plaza tersebut.
Menurutnya, akibat minimnya jumlah pengunjung, beberapa toko juga terlihat sepi. “Lihat saja, sudah siang begini, jumlah pengunjung masih dapat dihitung. Persaingan bisnis pasti ada, apalagi mal-mal besar sudah banyak bermunculan dan banyak kelebihan dan menawarkan paket-paket belanja yang menarik,” terangnya.
Berdasarkan pantauan wartawan koran ini, parkiran Medan Plaza yang tidak ter-cover rapi juga membuat pusat perbelanjaan ini terkesan semerawut. Bagian depan parkirannya hanya diisi beberapa mobil dan taksi. Sedangkan, parkiran sepeda motor berada di bagian belakang gedungnya.
Untuk lantai 1, beberapa toko pakaian terlihat memenuhi pusat perbelanjaan ini. Aktivitas pembeli tidak begitu ramai. Para karyawan terlihat santai menunggu datangnya pembeli. Begitu juga saat berada dilantai 2, suasananya tidak berbeda jauh. Disini mayoritas diisi beberapa toko sepatu yang merupakan pasar murah serta ada juga beberapa toko baju.
Saat berada di lantai 3, pusat perbelanjaan ini juga memiliki pasar swalayan dan beberapa toko elektronik. Di lantai 4, diisi dengan bioskop, toko buku, dan cafe. Sayangnya, pembeli yang berkunjung juga terlihat sangat minim dan bisa dihitung. Begitu juga saat naik ke lantai 5. Memang ada tempat permainan atau timezone, karaoke dan billiard, namun sangat sepi dari pengunjung.
Pemandangan berbeda terlihat di lantai 6, di sini berdiri Gereja Bethel Indonesia (GBI). “Kalau hari biasa, gereja ini memang sunyi. Paling ramainya saat hari Jumat dan Minggu. Karena saat itu umat Kriten ada aktivitas di sini dan beribadah. Gereja ini sudah lama dibangun, sejak berdirinya plaza ini juga,” kata Jaya selaku operator bioskop.
Sambung, Jaya yang sudah 5 tahun bekerja di Medan Plaza ini, dengan keberadaan gereja tersebut, maka secara tidak langsung menarik pembeli. “Jadi dengan adanya gereja ini, para jamaatnya juga sekaligus belanja setelah mereka selesai beribadah. Memang semakin lama, jumlah pembeli di sini jauh berkurang jika dibandingkan sebelum banyaknya pusat perbelanjaan lain di Medan. Paling yang membuat plaza ini masih hidup dengan keberadaan pasar murahnya yang dimanfaatkan kalangan ke bawah untuk belanja,” jelasnya.
Istana Plaza yang Berkorban Demi Polonia
Pada tahun 1991, di Jalan Juanda ada plaza yang mampu mencuri fokus warga Medan. Namanya, Istana Plaza. Pada masa jayanya, plaza ini lebih identik dengan plaza life style.
Semua kebutuhan untuk pergaulan seperti kafe, karaoke, bioskop, dan lainnya tersedia. Sayang, do saat masa indah itu, ada masalah yang membuat Istana Plaza terduduk. Niat awal mendirikan 6 lantai, tetapi karena dekat dengan Bandara Internasional Polonia, akhirnya bangunan pun diruntuhkan 1 lantai. “Diruntuhkan karena menggangu pemandangan penerbangan, karena itu diruntuhkan 1 lantai,” ungkap Paulus Tamie, Ketua Asosiasi Pusat Pembelanjaan Indonesia (APPBI) Sumut.
Itulah sebab, walau terletak di tengah kota, Istana Plaza tidak terlalu lama menggugah perasaan warga Medan. “Masa operasionalnya tidak lama, hanya sekitar 10 tahun kalau saya tidak salah, setelah itu diganti dengan sekolah, dan sekarang Ace Hardware,” tambah Paulus.
Hal berbeda terjadi pada 2 plaza yang dibangun pada tahun 1980-an, Thamrin Plaza yang terletak di Jalan Thamrin Medan dan Buana Plaza yang terletak di Jalan Aksara Medan.
Thamrin Plaza yang berdiri pada 1989 ini tetap pada konsepnya dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Sehingga semua produk yang dijual disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung plaza. “Semua produk yang dijual harus sesuai tempat atau lantai, dan yang dijual juga harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kalau menolak kita juga tolak,” ujar Paulus, pengelola Thamrin Plaza.
Memasuki tahun pertengahan tahun 2000-an, pamor Thamrin Plaza mulai pudar, tetapi berdirinya Pasar Rame yang tepat di sebelah Thamrin Plaza, mampu “menyelamati” plaza yang memiliki 7 lantai ini. “Kita bersinergi dengan Pasar Rame, selain itu karena ini merupakan pasar dari suku tertentu jadi tetap rame. Tetapi kita juga memperbaiki manajemen,” tambah Paulus.
Salah satu perbaikan manajemen dilakukan pada renovasi bangunan, dan isi bangunan. “Ya seperti produk yang dijual harus sesuai, kita perbanyak tempat makan, seperti foodcourt. Sementara yang dihilangkan seperti kolam renang, warnet dan wartel, dan renovasi bangunan,” tambah Paulus.
Pangsa pasar juga sangat berperan penting dalam hidup matinya sebuah plaza. Seperti Aksara Plaza yang berdiri pada tahun 1990, Plaza ini mem\ngambil pangsa pasar menengah ke bawah, dan terbukti hingga saat ini masih berdiri dengan 7 lantai. Walaupun telah mengalami pergantian nama, dari Aksara Plaza menjadi Buana Plaza pada 2001. Tetapi plaza ini sangat dekat di hati masyarakat di sekitar daerah Tembung. (*)