26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Jamin Transparansi Persidangan Kasus Korupsi Basarnas, Panglima Siap Evaluasi TNI di Jabatan Sipil

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Jabatan sipil yang diisi oleh petinggi TNI maupun polri sedang jadi sorotan. Khususnya setelah Presiden Joko Widodo menyatakan akan mengevaluasinya. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono juga menegaskan siap mengevaluasi anak buahnya yang duduk di kementerian atau lembaga sipil.

Tanggapan tersebut disampaikan Yudo usai mengikuti rapat dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Jakarta, kemarin (2/8). Dia mengetahui, Presiden Joko Widodo akan mengevaluasi jabatan sipil yang diisi tentara. Namun dia menegaskan belum dipanggil Presiden untuk membahas soal tersebut.

“Tentunya kita siap untuk dilaksanakan evaluasi,” tandasnya.

Yudo mengatakan jika memang evaluasi itu adalah langkah yang terbaik, dia siap menjalankannya. Dia mengatakan kasus korupsi Kabasarnas yang juga TNI aktif menjadi bahan evaluasinya.

Pada kesempatan itu, Yudo lebih banyak menjelaskan soal kelanjutan penanganan anak buahnya yang terjerat kasus korupsi. “Saya jamin objektif, boleh dikontrol (prosesnya),” jelasnya.

Ketentuan objektivitas tersebut, terlepas dari pelakunya yang berpangkat jenderal bintang tiga. Dia menegaskan, POM akan transparan dalam mengusut kasus tersebut. Dia mengatakan POM dibentuk untuk mengadili tindak pidana yang terjadi di militer. Untuk itu dia meminta ke masyarakat, jangan ada perasaan seolah-olah kasusnya diambil TNI untuk dilindungi.

Dia menegaskan selama belum ada undang-undang baru, kasus pidana oknum TNI dilakukan oleh peradilan militer. Yudo menjelaskan kasus korupsi ini bukan pertama yang ditangani oleh peradilan militer. Sebelumnya pada kasus korupsi satelit di Kementerian Pertahanan, pengadilannya dilakukan dengan melibatkan Peradilan Militer.

“(Vonisnya) Dijatuhkan hukuman yang maksimum,” katanya. Kemudian kasus korupsi di Bakamla, juga dijatuhi hukuman maksimum. Untuk itu Yudo menekankan jangan ada ketakutan atau kesan bahwa Peradilan Militer tidak objektif dalam menangani kasus pidana, termasuk kasus korupsi. Yudo juga mempersilahkan media untuk meliput persidangan di Peradilan Militer. Karena selama ini proses persidangan dilaksanakan secara terbuka.

Pada kesempatan itu Yudo juga membantah melakukan intervensi ke KPK. Kunjungi personel POM ke KPK lebih untuk melakukan koordinasi. Dia mengatakan jika melakukan intervensi, pasti akan menerjunkan personel dari Batalyon untuk menyerbu KPK. “Ini kan tidak,” katanya. Dia juga menegaskan bahwa KPK itu isinya adalah orang-orang yang ahli hukum.

Sementara itu, Wakil Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menyebut pada prinsipnya TNI dilarang menduduki jabatan sipil. Itu merujuk pada mandat reformasi dan konstitusi serta perundang-undangan.

Arif menyebut, pada Pasal 5 UU Nomor. 34/2004 tentang TNI secara tegas mengatur bahwa peran TNI adalah sebagai alat pertahanan negara. Ketentuan tersebut harusnya dipatuhi dan diterapkan denan memisahkan anggota TNI aktif dari institusi sipil negara.

Ketentuan tersebut dipertegas dengan Pasal 47 yang mengatur bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. “Dalam UU (TNI) tersebut memang ada pengecualian, prajurit aktif bisa saja menduduki jabatan sipil, namun terbatas pada 10 jabatan sipil,” kata Arif kepada Jawa Pos, kemarin (2/8).

Jabatan sipil yang dimaksud dalam ketentuan itu antara lain jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara. Kemudian jabatan di bidang pertahanan negara, Sekretaris Militer Presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, narkotika nasional dan Mahkamah Agung.

Namun, penempatan prajurit pada institusi di atas didasarkan atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintahan non departemen. Para prajurit yang berdinas di jabatan tersebut pun harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan institusi masing-masing.

Arif pun mempertanyakan, apakah evaluasi terkait penempatan TNI aktif di berbagai instansi sipil tersebut akan dilakukan secara komprehensif? Atau hanya terbatas pada institusi tertentu? “Karena pada praktiknya, tidak sedikit dwifungsi prajurit TNI atau bahkan multifungsi prajurit TNI itu tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku,” terangnya.

Di sisi lain, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman melaporkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK, kemarin. Pelaporan itu merupakan buntut pernyataan Alexander yang menyebut Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi dan anak buahnya, Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka di KPK. Alex diduga melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku insan KPK.

Boyamin menyebut, pernyataan Alex saat konferensi pers itu ditengarai bertentangan dengan Peraturan Dewas KPK Nomor 01/2010 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Insan KPK yang mengatur tentang larangan mengeluarkan pernyataan kepada publik yang dapat mempengaruhi, menghambat atau mengganggu proses penanganan perkara oleh komisi. “Terlapor juga bekerja tidak sesuai prosedur. Padahal secara aturan, insan KPK itu harus bekerja sesuai prosedur,” ungkap kepada Jawa Pos. (wan/tyo/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Jabatan sipil yang diisi oleh petinggi TNI maupun polri sedang jadi sorotan. Khususnya setelah Presiden Joko Widodo menyatakan akan mengevaluasinya. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono juga menegaskan siap mengevaluasi anak buahnya yang duduk di kementerian atau lembaga sipil.

Tanggapan tersebut disampaikan Yudo usai mengikuti rapat dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Jakarta, kemarin (2/8). Dia mengetahui, Presiden Joko Widodo akan mengevaluasi jabatan sipil yang diisi tentara. Namun dia menegaskan belum dipanggil Presiden untuk membahas soal tersebut.

“Tentunya kita siap untuk dilaksanakan evaluasi,” tandasnya.

Yudo mengatakan jika memang evaluasi itu adalah langkah yang terbaik, dia siap menjalankannya. Dia mengatakan kasus korupsi Kabasarnas yang juga TNI aktif menjadi bahan evaluasinya.

Pada kesempatan itu, Yudo lebih banyak menjelaskan soal kelanjutan penanganan anak buahnya yang terjerat kasus korupsi. “Saya jamin objektif, boleh dikontrol (prosesnya),” jelasnya.

Ketentuan objektivitas tersebut, terlepas dari pelakunya yang berpangkat jenderal bintang tiga. Dia menegaskan, POM akan transparan dalam mengusut kasus tersebut. Dia mengatakan POM dibentuk untuk mengadili tindak pidana yang terjadi di militer. Untuk itu dia meminta ke masyarakat, jangan ada perasaan seolah-olah kasusnya diambil TNI untuk dilindungi.

Dia menegaskan selama belum ada undang-undang baru, kasus pidana oknum TNI dilakukan oleh peradilan militer. Yudo menjelaskan kasus korupsi ini bukan pertama yang ditangani oleh peradilan militer. Sebelumnya pada kasus korupsi satelit di Kementerian Pertahanan, pengadilannya dilakukan dengan melibatkan Peradilan Militer.

“(Vonisnya) Dijatuhkan hukuman yang maksimum,” katanya. Kemudian kasus korupsi di Bakamla, juga dijatuhi hukuman maksimum. Untuk itu Yudo menekankan jangan ada ketakutan atau kesan bahwa Peradilan Militer tidak objektif dalam menangani kasus pidana, termasuk kasus korupsi. Yudo juga mempersilahkan media untuk meliput persidangan di Peradilan Militer. Karena selama ini proses persidangan dilaksanakan secara terbuka.

Pada kesempatan itu Yudo juga membantah melakukan intervensi ke KPK. Kunjungi personel POM ke KPK lebih untuk melakukan koordinasi. Dia mengatakan jika melakukan intervensi, pasti akan menerjunkan personel dari Batalyon untuk menyerbu KPK. “Ini kan tidak,” katanya. Dia juga menegaskan bahwa KPK itu isinya adalah orang-orang yang ahli hukum.

Sementara itu, Wakil Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menyebut pada prinsipnya TNI dilarang menduduki jabatan sipil. Itu merujuk pada mandat reformasi dan konstitusi serta perundang-undangan.

Arif menyebut, pada Pasal 5 UU Nomor. 34/2004 tentang TNI secara tegas mengatur bahwa peran TNI adalah sebagai alat pertahanan negara. Ketentuan tersebut harusnya dipatuhi dan diterapkan denan memisahkan anggota TNI aktif dari institusi sipil negara.

Ketentuan tersebut dipertegas dengan Pasal 47 yang mengatur bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. “Dalam UU (TNI) tersebut memang ada pengecualian, prajurit aktif bisa saja menduduki jabatan sipil, namun terbatas pada 10 jabatan sipil,” kata Arif kepada Jawa Pos, kemarin (2/8).

Jabatan sipil yang dimaksud dalam ketentuan itu antara lain jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara. Kemudian jabatan di bidang pertahanan negara, Sekretaris Militer Presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, narkotika nasional dan Mahkamah Agung.

Namun, penempatan prajurit pada institusi di atas didasarkan atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintahan non departemen. Para prajurit yang berdinas di jabatan tersebut pun harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan institusi masing-masing.

Arif pun mempertanyakan, apakah evaluasi terkait penempatan TNI aktif di berbagai instansi sipil tersebut akan dilakukan secara komprehensif? Atau hanya terbatas pada institusi tertentu? “Karena pada praktiknya, tidak sedikit dwifungsi prajurit TNI atau bahkan multifungsi prajurit TNI itu tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku,” terangnya.

Di sisi lain, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman melaporkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK, kemarin. Pelaporan itu merupakan buntut pernyataan Alexander yang menyebut Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi dan anak buahnya, Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka di KPK. Alex diduga melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku insan KPK.

Boyamin menyebut, pernyataan Alex saat konferensi pers itu ditengarai bertentangan dengan Peraturan Dewas KPK Nomor 01/2010 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Insan KPK yang mengatur tentang larangan mengeluarkan pernyataan kepada publik yang dapat mempengaruhi, menghambat atau mengganggu proses penanganan perkara oleh komisi. “Terlapor juga bekerja tidak sesuai prosedur. Padahal secara aturan, insan KPK itu harus bekerja sesuai prosedur,” ungkap kepada Jawa Pos. (wan/tyo/jpg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/