SUMUTPOS.CO – Negara-negara di Asia Tenggara dilaporkan telah menjadi pusat penipuan online. Ratusan ribu orang dari berbagai penjuru dunia dijebak untuk datang dan menjadi pelaku penipuan. Data itu merupakan laporan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) yang dirilis Selasa (29/8).
“Orang-orang yang dipaksa bekerja dalam operasi penipuan ini mengalami perlakuan tidak manusiawi saat dipaksa melakukan kejahatan. Mereka adalah korban. Mereka bukan penjahat,” ujar Komisaris Tinggi HAM PBB Volker Turk, seperti dikutip BBC, kemarin (30/8).
Turk menegaskan, dalam kasus penipuan online memang ada dua korban. Yakni, mereka yang ditipu dengan cara dikuras uangnya, serta para pelaku yang sengaja dijebak untuk melakukan tindak penipuan. Biasanya, geng-geng kriminal yang mengoperasikan penipuan online itu mencari mangsa orang-orang berpendidikan rendah dan putus asa untuk bisa mendapatkan uang dengan cepat.
Para korban pun kerap terpikat oleh iklan yang menjanjikan pekerjaan mudah dan fasilitas mewah. Mereka lalu ditipu untuk bepergian ke Kamboja, Myanmar, dan Thailand. Padahal, setelah datang ke lokasi, pekerjaan yang ditawarkan adalah menipu orang-orang lewat dunia maya. Mereka dalam tawanan dan dipaksa bekerja di pusat penipuan online. Jika tidak patuh, keselamatan mereka pun terancam. Berdasar laporan OHCHR, banyak yang jadi sasaran penyiksaan fisik dan perlakuan tidak manusiawi.
Belakangan, yang menjadi target juga kalangan bergelar sarjana. Bahkan pascasarjana, yang memiliki keahlian komputer dan multibahasa. Sebagian besar korban adalah laki-laki, walaupun ada juga perempuan. Mereka berasal dari Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Selain itu, dari daratan utama Tiongkok, Hongkong, Taiwan, wilayah Asia Selatan, bahkan Afrika dan Amerika Latin.
Setidaknya ada 120 ribu orang di Myanmar dan 100 ribu lainnya di Kamboja yang dipaksa melakukan tindak penipuan itu. ’’Banyak tempat yang menjadi lokasi kejahatan dunia maya berada di yurisdiksi di mana tata kelola dan supremasi hukumnya lemah serta otoritasnya diperebutkan,’’ bunyi laporan tersebut.
Turk menjelaskan, pandemi Covid-19 yang membuat hampir seluruh negara lockdown menjadi ladang empuk bagi penipuan online. Saat itu orang-orang mulai berinteraksi di dunia maya karena tidak bisa ke mana-mana. Mereka yang tak begitu paham teknologi dan terlalu percaya kepada orang lain menjadi target pengurasan harta. Biasanya, penipuan itu berkedok investasi.
Skema lainnya bermodus jaring asmara. Targetnya adalah orang-orang yang kesepian dan mencari cinta. Kasus itu biasa disebut pig butchering scam. Pelaku memikat korban di dunia maya hingga percaya sepenuhnya. Turk memperkirakan, penipuan online itu menghasilkan pendapatan miliaran dolar AS per tahun. (sha/c18/hud)