JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Simpang siur kabar penghapusan BBM jenis Pertalite terus mencuat. Belakangan disebut-sebut, Pertalite akan digantikan oleh BBM jenis Pertamax Green yang lebih ramah lingkungan. Namun hal itu dibantah Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama.
“Tidak pernah ada pembicaraan Pertamax Green menggantikan Pertalite. Saya kira kalian salah kutip pernyataan Bu Dirut,” ujar pria yang akrab disapa Ahok itu kepada Jawa Pos, kemarin (31/8).
Meski begitu, ia belum menjelaskan bagaimana posisi Pertalite dan Pertamax Green. Sejauh ini, Ahok memastikan belum ada usulan terkait penggantian Pertalite ke Pertamax Green yang dibicarakan. “Belum pernah Dirut usulkan kepada kami,” imbuhnya.
Pertamina sendiri saat ini tengah melakukan kajian untuk meningkatkan kadar oktan BBM Subsidi RON 90 menjadi RON 92. Hal tersebut dilakukan dengan mencampur Pertalite dengan Ethanol 7 persen sehingga menjadi Pertamax Green 92. Kajian yang dinamakan Program Langit Biru Tahap 2 tersebut masih dilakukan secara internal dan belum diputuskan.
“Program tersebut merupakan hasil kajian internal Pertamina, belum ada keputusan apapun dari pemerintah. Tentu ini akan kami usulkan dan akan kami bahas lebih lanjut,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Rabu (30/8).
Nicke menambahkan, jika nanti usulan tersebut dapat dibahas dan menjadi program pemerintah, harganya pun tentu akan diatur oleh pemerintah. “Tidak mungkin Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) harganya diserahkan ke pasar karena ada mekanisme subsidi dan kompensasi di dalamnya,” terang Nicke.
Menurut Nicke, kajian tersebut dilakukan untuk menghasilkan kualitas BBM yang lebih baik. Karena bahan bakar dengan kadar oktan yang lebih tinggi tentu akan semakin ramah lingkungan. Nicke menegaskan, Program Langit Biru Tahap 2 ini masih merupakan kajian internal di Pertamina. Untuk implementasinya, akan diusulkan kepada pemerintah, dan nantinya akan jadi kewenangan pemerintah untuk memutuskan.
“Kalau misalnya dengan harga yang sama, tapi masyarakat mendapatkan yang lebih baik, dengan octan number lebih baik, sehingga untuk mesin juga lebih baik, sehingga emisi juga bisa menurun. Namun ini baru usulan sehingga tidak untuk menjadi perdebatan,” jelasnya.
Sementara itu, jikalau ada penggantian Pertalite dengan Pertamax Green 92, pelaku industri otomotif menanggapi positif wacana tersebut. Salah satunya oleh pabrikan Jepang Suzuki. “Sebagai produsen yang bertanggung jawab dan aktif menjadi bagian dari pelaku industri di dalam negeri, kami selalu mendukung program pemerintah yang bertujuan baik bagi masyarakat dan lingkungan. Apalagi program atau upaya untuk mengurangi emisi gas buang ini sejalan dengan produk-produk Suzuki yang sudah dirancang lebih rendah emisi dan lebih ramah lingkungan,” ujar Asst to Dept Head Service PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Hariadi.
Mengenai aplikasinya nanti ke kendaraan-kendaraan yang sudah beredar di Indonesia, Hariadi mengatakan bahwa pihaknya masih akan mempelajari lebih lanjut mengenai komposisi 7 persen etanol yang menjadi campuran BBM Pertamax Green 92. “Mesin mobil Suzuki untuk saat ini seluruhnya sudah kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol sampai dengan 5 persen seperti yang sudah ada di pasaran. Namun untuk bahan bakar baru yang rencananya akan mengandung etanol 7 persen, kami belum dapat berkomentar lebih lanjut karena belum mengetahui komposisinya maupun mecobanya,” tambahnya.
Selain Suzuki, Toyota juga ikut mengapresiasi wacana tersebut. Marketing Director PT Toyota Astra Motor (TAM) Anton Jimmi Suwandy mengatakan bahwa wacana tersebut merupakan upaya yang baik dari pemerintah untuk memberikan bahan bakar yang lebih baik dalam hal pengurangan emisi maupun penggunaan energi terbarukan. “Sehingga secara step by step kita bisa bersama menuju netralitas emisi di Indonesia,” ujar Anton.
Menurut Anton, rata-rata kendaraan yang dipasarkan Toyota sudah menggunakan standart dimana kendaraan sudah bisa adaptasi dengan bahan bakar yang memiliki campuran Ethanol hingga 10 persen. “Jadi rasanya masih aman dan pengguna tidak perlu khawatir dan karena ini baru rencana mungkin ada baiknya kita tunggu sampai sudah berjalan untuk bisa lihat impact ke market,” tambah Anton.
Senada dengan Toyota, Honda di Indonesia ikut optimis bahwa pengunaan Pertamax Green 92 bisa diaplikasikan pada kendaraan-kendaraan yang sudah eksisting. “Produk Honda yang dipasarkan saat ini sudah kompatibel dengan bahan bakar dengan campuran etanol 7 persen, sehingga aman untuk digunakan bagi konsumen Honda,” ujar Business Innovation and Sales & Marketing Director PT Honda Prospect Motor (HPM) Yusak Billy.
Sementara, Sales and Marketing Director United Motors Fredy Teguh mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah siap untuk mengakomodir wacana tersebut. Pasalnya, produksi Suzuki per 2018 sudah kompatibel dengan BBM yang punya bauran bioetanol hingga 10 persen. ‘’Mulai pickup, SUV, sedan, sampai city car sudah siap (mengonsumsi Pertamax Green 92),’’ paparnya.
Namun, dia mengatakan bahwa seharusnya ada masa transisi. Sehingga, masyarakat bisa mempersiapkan diri dalam mengonsumsi Pertamax Green.
Territory Service Manager Indonesia Timur PT TVS Motor Company Indonesia Farit A menambahkan, sebenarnya perubahan itu baik jika dilihat dari sisi RON. Dengan kompresi sepeda motor yang beredar di tanah air, BBM RON 92 justru lebih cocok. “Soal efek dari bioetanol memang perlu ada evaluasi lebih lanjut,” terusnya. (dee/agf/bil/jpg)