26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Menjual Judi dan Seks

Dame Ambarita

Ide mengubah Danau Toba menjadi lokasi judi dan seks, Kamis kemarin mendadak dilontarkan Sekretaris Dinas Pendidikan Sumut, Bahauddin Manik. Kata dia, seks dan judi saat ini merupakan wisata paling diminati. Karenanya, cocok dijual di Danau Toba yang selama ini masih mengandalkan wisata alam dan budaya. Ide ini sebenarnya bukan hal baru. Beberapa tahun lalu, sempat muncul ide menjadikan Pulau Sibandang yang berada di atas Danau Toba —beberapa ratus meter dari Kecamatan Muara— sebagai lokalisasi judi. Seorang pengusaha top tanah air diinformasikan sudah melihat-lihat ke pulau nan cantik itu untuk mengukur potensinya. Namun ide itu kemudian terlupakan, sebelum mendadak diangkat lagi oleh Bahauddin.

Cocokkah menjual wisata Danau Toba sebagai wisata judi dan seks? Barangkali Bahauddin terpesona oleh kemegahan Kota Macau yang hidup dari wisata judi serta seks. Atau tergiur melihat perputaran uang di Genting Highlands di Malaysia yang sekarang disebut sebagai Las Vegas-nya Malaysia. Ia juga mungkin terinspirasi oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, yang sukses membangun Kota Jakarta dari hasil judi.

Tapi mengapa harus menjual judi dan seks di Danau Toba? Tak adakah cara lain yang lebih elegan namun tetap bisa dijual?

Memang, selama ini Danau Toba masih menjual wisata alam: Pemandangan alam Danau Toba, Parapat, Ajibata, Pegunungan Bukit Barisan, alam Pulau Samosir, Pusuk Buhit, Aek Rangat Pangururan, Haranggaol, dan sebagainya. Kalaupun ada budaya lokal atau peninggalan budaya yang bisa dijual, jumlahnya tidak banyak. Selain itu, belum dikelola secara profesional. Contoh, Kuburan Raja Sidabutar di Tomok yang dipahat dari batu asli, atau Batu Kursi di Siallagan, tentu kalah hebat jika dibandingkan dengan kemegahan Candi Borobudur. Wisata Sigale-gale di Tomok dan Simanindo pun belum dikemas atraktif sebagai paket wisata yang mengesankan. Padahal, masih bisa dikemas dengan paket budaya tortor dengan modifikasi modern di sana sini.

Tapi menjual judi kasino dan seks?

Warga sekitar Danau Toba selama ini dikenal cukup religius. Atau katakanlah, masih mengedepankan nilai-nilai moral dalam lingkungan sehari-hari. Di Samosir misalnya, sama sekali tidak ada lokalisasi pelacuran. Kalaupun ada yang melakukan seks bebas, itu kasuistis, bukan sesuatu yang bisa diterima adat dan agama. Judi, pun hanya sebatas beli togel, main kartu atau catur di warung-warung, atau judi bola. Bahkan sabung ayam tidak terlalu tren di sana.

Tentu, Bahauddin mengusulkan wisata judi di Danau Toba, bukan dengan maksud menyasar warga sekitar kawasan Danau Toba sebagai konsumennya. Melainkan menyasar turis, baik turis domestik maupun mancanegara. Tetapi efeknya pasti akan ditanggung warga setempat. Jangan dulu hitung dari perputaran uang turis yang bakal dibelanjakan di sana. Tetapi nilai-nilai moral yang selama ini dijaga, bisa punah oleh judi dan seks bebas. Warga juga bisa menanggung beban psikologis dengan cap: kota yang dihidupi judi dan seks.

Wisata judi dan seks mungkin cocok diterapkan di negara lain. Tetapi tak perlu ditiru. Apakah kita sungguh sudah kehabisan ide untuk menjual wisata Danau Toba? (*)

* Penulis adalah Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Dame Ambarita

Ide mengubah Danau Toba menjadi lokasi judi dan seks, Kamis kemarin mendadak dilontarkan Sekretaris Dinas Pendidikan Sumut, Bahauddin Manik. Kata dia, seks dan judi saat ini merupakan wisata paling diminati. Karenanya, cocok dijual di Danau Toba yang selama ini masih mengandalkan wisata alam dan budaya. Ide ini sebenarnya bukan hal baru. Beberapa tahun lalu, sempat muncul ide menjadikan Pulau Sibandang yang berada di atas Danau Toba —beberapa ratus meter dari Kecamatan Muara— sebagai lokalisasi judi. Seorang pengusaha top tanah air diinformasikan sudah melihat-lihat ke pulau nan cantik itu untuk mengukur potensinya. Namun ide itu kemudian terlupakan, sebelum mendadak diangkat lagi oleh Bahauddin.

Cocokkah menjual wisata Danau Toba sebagai wisata judi dan seks? Barangkali Bahauddin terpesona oleh kemegahan Kota Macau yang hidup dari wisata judi serta seks. Atau tergiur melihat perputaran uang di Genting Highlands di Malaysia yang sekarang disebut sebagai Las Vegas-nya Malaysia. Ia juga mungkin terinspirasi oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, yang sukses membangun Kota Jakarta dari hasil judi.

Tapi mengapa harus menjual judi dan seks di Danau Toba? Tak adakah cara lain yang lebih elegan namun tetap bisa dijual?

Memang, selama ini Danau Toba masih menjual wisata alam: Pemandangan alam Danau Toba, Parapat, Ajibata, Pegunungan Bukit Barisan, alam Pulau Samosir, Pusuk Buhit, Aek Rangat Pangururan, Haranggaol, dan sebagainya. Kalaupun ada budaya lokal atau peninggalan budaya yang bisa dijual, jumlahnya tidak banyak. Selain itu, belum dikelola secara profesional. Contoh, Kuburan Raja Sidabutar di Tomok yang dipahat dari batu asli, atau Batu Kursi di Siallagan, tentu kalah hebat jika dibandingkan dengan kemegahan Candi Borobudur. Wisata Sigale-gale di Tomok dan Simanindo pun belum dikemas atraktif sebagai paket wisata yang mengesankan. Padahal, masih bisa dikemas dengan paket budaya tortor dengan modifikasi modern di sana sini.

Tapi menjual judi kasino dan seks?

Warga sekitar Danau Toba selama ini dikenal cukup religius. Atau katakanlah, masih mengedepankan nilai-nilai moral dalam lingkungan sehari-hari. Di Samosir misalnya, sama sekali tidak ada lokalisasi pelacuran. Kalaupun ada yang melakukan seks bebas, itu kasuistis, bukan sesuatu yang bisa diterima adat dan agama. Judi, pun hanya sebatas beli togel, main kartu atau catur di warung-warung, atau judi bola. Bahkan sabung ayam tidak terlalu tren di sana.

Tentu, Bahauddin mengusulkan wisata judi di Danau Toba, bukan dengan maksud menyasar warga sekitar kawasan Danau Toba sebagai konsumennya. Melainkan menyasar turis, baik turis domestik maupun mancanegara. Tetapi efeknya pasti akan ditanggung warga setempat. Jangan dulu hitung dari perputaran uang turis yang bakal dibelanjakan di sana. Tetapi nilai-nilai moral yang selama ini dijaga, bisa punah oleh judi dan seks bebas. Warga juga bisa menanggung beban psikologis dengan cap: kota yang dihidupi judi dan seks.

Wisata judi dan seks mungkin cocok diterapkan di negara lain. Tetapi tak perlu ditiru. Apakah kita sungguh sudah kehabisan ide untuk menjual wisata Danau Toba? (*)

* Penulis adalah Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/