26 C
Medan
Monday, September 30, 2024

Pernikahan, Butuh Kematangan Emosional

MEDAN – Komitmen dan kesetiaan dari masing-masing pasangan sangat diperlukan agar pernikahan dapat bertahan. Dengan ini, sebuah keluarga akan lebih memiliki tanggungjawab terhadap anak-anaknya. Sementara, para pasangan yang menikah diusia yang masih sangat muda, dinilai tidak memiliki kematangan secara emosional. Sehingga pernikahan yang masih sangat dini ini tak jarang berakhir dengan perceraian.

Pernikahan pada usia muda pun seolah menjadi tren remaja saat ini. Mayoritas, remaja yang banyak melakukan pernikahan dini berasal dari kelompok sosial ekonomi bawah atau keluarga prasejahtera dengan pendidikan rendah.

Kepala Bidang Advokasi Pergerakan dan Informasi (Adpin) BkkbN Sumut Anthony, S.Sos, Minggu (8/4) mengatakan berdasarkan data yang diperoleh, dari 49.049 jiwa keluarga prasejahtera di Medan, sekitar 7.537 di antaranya masuk dalam kelompok usia 16 sampai 21 tahun. Kelompok umur ini sangat rentan melakukan pernikahan usia dini.

“Banyak faktor yang menyebabkan para remaja keluarga prasejahtera menikah diusia yang sangat muda. Rendahnya tingkat pendidikan juga mempengaruhi pola pikir dalam memahami tujuan perkawinan. Selain itu, faktor ekonomi dan lingkungan tempat tinggal mereka juga bisa mempengaruhinya,” ujarnya.

Dikatakannya, idealnya, perempuan menikah pada usia 20 tahun dan pria di usia 25 tahun. Pada usia ini, secara fisik dan mental masing-masing pasangan sudah siap untuk menikah dan kesehatan reproduksinya sudah matang untuk berumahtangga.

“Dampak negatif yang terjadi akibat nikah muda ini, menyebabkan tingginya masalah kependudukan di tahun mendatang. Karena, semakin muda usia seorang wanita saat menikah pertama, maka masa reproduksi mereka akan lebih panjang. Berarti, mereka berpotensi melahirkan anak lebih banyak. Ini jelas sangat berbahaya,” tegasnya.

Selain itu, lanjutnya, nikah pada usia muda juga akan meningkatkan kasus perceraian, munculnya bayi gizi buruk, bertambahnya kemiskinan dan lainnya. Dalam hal ini, BkkbN terus berupaya melakukan sosialisasi dan memberikan informasi kepada remaja tentang dampak nikah muda serta persiapan kehidupan yang ideal.

“BkkbN sendiri telah membentuk Pusat Informasi Konseling (PIK). Terbentuknya PIK ini sebagai wadah untuk para remaja untuk lebih mengetahui dampak pernikahan dini serta masalah-masalah kesehatan reproduksinya,” terang Anthony. (mag-11)

MEDAN – Komitmen dan kesetiaan dari masing-masing pasangan sangat diperlukan agar pernikahan dapat bertahan. Dengan ini, sebuah keluarga akan lebih memiliki tanggungjawab terhadap anak-anaknya. Sementara, para pasangan yang menikah diusia yang masih sangat muda, dinilai tidak memiliki kematangan secara emosional. Sehingga pernikahan yang masih sangat dini ini tak jarang berakhir dengan perceraian.

Pernikahan pada usia muda pun seolah menjadi tren remaja saat ini. Mayoritas, remaja yang banyak melakukan pernikahan dini berasal dari kelompok sosial ekonomi bawah atau keluarga prasejahtera dengan pendidikan rendah.

Kepala Bidang Advokasi Pergerakan dan Informasi (Adpin) BkkbN Sumut Anthony, S.Sos, Minggu (8/4) mengatakan berdasarkan data yang diperoleh, dari 49.049 jiwa keluarga prasejahtera di Medan, sekitar 7.537 di antaranya masuk dalam kelompok usia 16 sampai 21 tahun. Kelompok umur ini sangat rentan melakukan pernikahan usia dini.

“Banyak faktor yang menyebabkan para remaja keluarga prasejahtera menikah diusia yang sangat muda. Rendahnya tingkat pendidikan juga mempengaruhi pola pikir dalam memahami tujuan perkawinan. Selain itu, faktor ekonomi dan lingkungan tempat tinggal mereka juga bisa mempengaruhinya,” ujarnya.

Dikatakannya, idealnya, perempuan menikah pada usia 20 tahun dan pria di usia 25 tahun. Pada usia ini, secara fisik dan mental masing-masing pasangan sudah siap untuk menikah dan kesehatan reproduksinya sudah matang untuk berumahtangga.

“Dampak negatif yang terjadi akibat nikah muda ini, menyebabkan tingginya masalah kependudukan di tahun mendatang. Karena, semakin muda usia seorang wanita saat menikah pertama, maka masa reproduksi mereka akan lebih panjang. Berarti, mereka berpotensi melahirkan anak lebih banyak. Ini jelas sangat berbahaya,” tegasnya.

Selain itu, lanjutnya, nikah pada usia muda juga akan meningkatkan kasus perceraian, munculnya bayi gizi buruk, bertambahnya kemiskinan dan lainnya. Dalam hal ini, BkkbN terus berupaya melakukan sosialisasi dan memberikan informasi kepada remaja tentang dampak nikah muda serta persiapan kehidupan yang ideal.

“BkkbN sendiri telah membentuk Pusat Informasi Konseling (PIK). Terbentuknya PIK ini sebagai wadah untuk para remaja untuk lebih mengetahui dampak pernikahan dini serta masalah-masalah kesehatan reproduksinya,” terang Anthony. (mag-11)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/