JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dua pimpinan KPK Johanis Tanak dan Alexander Marwata diperiksa oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Keduanya diperiksa untuk pendalaman kasus dugaan pemerasaan dan dokumen foto antara Ketua KPK Firli Bahuri dan Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Usai diperiksa, Wakil Ketua KPK Alexander Marwarta mengatakan, dirinya diperiksa terkait dugaan pemerasaan terhadap SYL dan keterengan foto mengenai pertemuan Firli dengan SYL. “Kalau soal pemerasan saya bilang tidak tahu,” ucapnya kemarin.
Pun ketika ditanya soal foto oleh Dewas. Alex mengatakan tidak mengetahui, namun dia menjabarkan ke media soal mekanisme pelaporan dan penanganan di KPK. Laporan dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan) sejak Februari 2020.
Setahun kemudian, Januari 2021 prosesnya pelaporan tersebut dilanjutkan. Dan pada April 2021 Direktorat Pusat Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) memproses Dumas tersebut ke Direktorat Penyelidikan. Masih di bulan yang sama, Kedeputian Informasi dan Data (Inda) menyampaikan nota dinas kepada Deputi Penindakan. “Tembusan dari penerusan laporan tadi disampaikan ke pimpinan, bahwa laporan masyarakat itu sudah disampaikan ke Deputi Penindakan untuk dilakukan penyelidikan,” jelasnya.
Namun, ternyata kasus tersebut tidak langsung ditindaklanjuti. Deputi Penindakan baru meneruskannya ke direktorat penyelidikan untuk dilakukan penyelidikan. “Artinya Deputi Penindakan baru satu tahun kemudian baru dilaksanakan,” katanya.
Alex mengungkapkan, sejak proses di Deputi Penindakan itu hingga kini belum diterbitkan Sprinlidiknya. Sementara penetapan tersangka yang menjerat SYL berasal dari informasi Dumas KPK. Itu laporan lain, bukan laporan tahun 2020.
Sayangnya, Alex tidak merinci mengenai laporan Dumas mengenai SYL ini masuk tahun berapa. Namun, pada pemeriksaan oleh Dewas kepada pimpinan KPK lainnya, Nurul Ghufron menyebut laporan itu berlangsung akhir 2022. “Kalau tidak salah Desember 2022,” ucap Ghufron pada Jumat (27/10).
Alex memastikan, dirinya tidak akan terganggu dengan penggeledahan rumah Ketua KPK Firli Bahuri di sela-sela pengusutan kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Ia memastikan, kerja pimpinan KPK menganut asas kolektif kolegial. “Saya pribadi enggak terganggu. Pimpinan itu kan lima, kolektif kolegial. Kalau misalnya ada satu pimpinan yang mbalelo, yakinlah itu tidak akan menghentikan proses. Kan begitu,” kata Alex.
Menurutnya, bukan hanya Firli Bahuri, melainkan ada satu pimpinan KPK lagi yang tersandung masalah hukum, tetap tidak akan menghentikan sebuah perkara. Ia menekankan, jika ingin mempengaruhi sebuah kasus di KPK, Alex berkelakar, maka harus menyuap kelima pimpinan. “Dua pimpinan, itu juga tidak akan menghentikan proses. Masih ada tiga, kalau voting masih menang. Kan begitu. Jadi kalau ingin mempengaruhi perkara di KPK, suap yang lima pejabat, atau paling enggak tiga lah, menang kan,” tegas Alex.
Kolektif kolegial sengaja dibuat di KPK untuk menghindari adanya intervensi. Hal ini penting, untuk meminimalisasi adanya kuasa pada satu orang. “Kalau toh ada intervensi, itu harus banyak pimpinan yang intervensi. Jauh lebih mudah kalau intervensinya ke penindakan, langsung,” ucap Alex.
Alex sendiri mengaku tidak mengetahui soal pertemuan dan foto Firli Bahuri dengan SYL. Rekannya tersebut juga tak pernah bercerita. “Ya, saya kalau ketemu siapa-siapa kan enggak harus sampaikan, pimpinan ketika pertemuan itu tidak membicarakan perkara. Kalau sekadar ngopi, ngobrol ngalur-ngidul, ngapain juga kami laporkan. Dan pimpinan kan juga enggak sempat juga ngecek, misalnya saya janjian dengan teman, orang ini dilaporkan ke masyarakat,” ujar Alex.
Ia mengungkapkan, ribuan laporan masyarakat diterima KPK setiap tahun. Karena itu, pimpinan KPK tidak selalu mengetahui apakah orang yang mereka temui adalah pihak yang dilaporkan ke KPK. “Jangan-jangan seluruh kepala daerah sudah dilaporkan, kan. Tapi kan enggak pernah dilakukan penyelidikan, kan gitu. Saya ketemu dengan kepala daerah di berbagai kesempatan,” pungkas Alex.
Di sisi lain, kasus pemerasan terhadap SYL yang ditangani Polda Metro Jaya terus berlanjut. Ketua KPK Firli Bahuri membatah terkait pernah melakukan pertemuan di rumah jalan Kertanegara Nomor 46. Namun, saat diperiksa KPK kemarin, SYL yang mengenakan rompi orange secara tersirat membenarkan soal pernah bertemu di Kertanegara 46. Utamanya saat para jurnalis menanyakan soal itu, SYL menganggukkan kepala.
Namun, saat dicecarkan soal pertemuan itu dan kasus pemerasannya, SYL menjawab singkat. “Tolong tanya ke Polda. Tanya ke Polda,” ucapnya di mobil sebelum kembali ke rutan KPK.
Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandani Rahardjo Puro menyampaikan bahwa pihaknya telah mendapat informasi dari Baintelkam Polri terkait dengan 12 senjata yang ditemukan KPK di rumah dinas SYL. “Menurut Baintelkam (belasan senjata) itu terdaftar, ada suratnya,” ungkap dia kemarin. Meski dititipkan kepada Polri, dia menyebut, sejauh ini senjata-senjata itu masih berada dalam penguasaan KPK.
Jenderal bintang satu Polri itu memastikan bahwa senjata-senjata itu terdaftar atas nama SYL. Di antara senjata-senjata tersebut ada yang perolehannya berasal dari hibah. Dia memastikan, bukti hibahnya juga ada. Namun demikian, dia belum bisa menyampaikan informasi lain. Sebab, pihaknya belum bisa melakukan pendalaman. “kecuali kalau nanti ada penyerahan, sehingga kami bisa mengecek fisik atau bisa kami cek lebih lanjut,” kata dia.
Sejauh ini, Djuhandani menyampaikan bahwa tindakan yang bisa dilakukan oleh instansinya hanya sebatas penyelidikan. Tidak lebih dari itu. “Kami masih menunggu lebih lanjut karena senjata-senjata tersebut masih dalam penguasaan KPK, masih dikuasai KPK hanya prosesnya masih dititipkan,” ujarnya. Dia menegaskan kembali, tindak lanjut dan pendalaman bisa dilakukan jika sudah ada penyerahan secara resmi kepada Polri. (elo/syn/jpg)