30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Meliput Diikuti Intel, Menulis Kena Sensor

Ross Dunkley, Pemimpin Redaksi Myanmar Times yang Terusir

Pernah dipenjara oleh junta militer, Ross Dunkley tetap berniat balik ke Myanmar untuk memperjuangkan kebebasan pers di sana. Anggap Aung San Suu Kyi tidak ubahnya dengan politikus yang lain.

Ridlwan Habib, Nusa Dua

“ANDA pernah ke Myanmar?” tanya Ross Dunkley kepada Jawa Pos setelah presentasi di CEO Conference Publish Asia 2012 di Bali Nusa Dua Convention Center tadi malam. Ross yang berlogat Australia itu mengajukan pertanyaan sembari  membagi-bagikan edisi Myanmar Times untuk para peserta.

“Saat ini lebih mudah untuk pergi ke sana (Myanmar), tapi tidak untuk saya,” tambahnya.

Ross adalah warga negara asing pertama yang bekerja sebagai pemimpin media di Myanmar sejak 2000. Dia juga merupakan investor asing pertama di bidang media di negara yang dahulu disebut Burma itu. “Saya sedang menantikan kebebasan rekan seperjuangan, Sonny Swe, yang dipenjara sejak 2004,” katanya.

Sonny adalah kongsi Ross dalam membangun Myanmar Times yang terbit mingguan 40 halaman. Putra mantan petinggi intelijen Myanmar Brigadir Jenderal Thein Swe itu dipenjara karena dianggap melanggar undang-undang informasi di negara yang terkenal dengan sarungnya tersebut. “Dia divonis tujuh tahun penjara untuk edisi bahasa Inggris, tujuh tahun untuk bahasa Burma,” ujarnya.

Sejak Sonny dipenjara, 51 persen saham Myanmar Times dipegang Tin Tun Oo yang menurut Ross adalah kepanjangan tangan militer Myanmar. “Pada 17 April nanti, Sonny bebas. Saya yakin bisa kembali ke Myanmar dan berbisnis lagi dengannya,” katanya.

Saat ini Ross memang sedang terusir dari Myanmar. Sebab, dia dituding melanggar undang-undang imigrasi. Dia ditangkap pada 10 Februari 2011 dan dipenjara di Insein, Myanmar, selama 40 hari.  Dia bisa bebas dengan jaminan dan didenda untuk membayar 100.000 kyats. “Sekarang saya mengendalikan perusahaan dari Kamboja,” katanya. Ross juga memimpin Phnom Penh Post yang berpengaruh di Kamboja.

Ross bercerita, sejak 2000 hingga 2010, pers di Myanmar nyaris dikatakan setengah hidup. “Semua dikontrol oleh pemerintah. Kami meliput sesuatu diikuti intel, menulis pun harus disensor terlebih dahulu,” katanya.

Padahal, lanjut dia, di Myanmar banyak jurnalis yang sebenarnya berjiwa independen. “Saya tetap akan berjuang agar pers di Myanmar bebas dan menghormati hak-hak manusia. Ada sekitar seratus wartawan hebat di sana,” ujarnya.

Walaupun tokoh wanita Myanmar Aung San Suu Kyi  dibebaskan pada 13 November 2010, perjuangan menegakkan demokrasi dan kebebasan pers di Myanmar masih panjang. “Bagi saya, Suu Kyi sama dengan politikus yang lain. Tidak ada yang istimewa. Ingat, bagi wartawan, omongan politisi tak bisa dilihat dari satu sisi saja,” katanya. (*)

Ross Dunkley, Pemimpin Redaksi Myanmar Times yang Terusir

Pernah dipenjara oleh junta militer, Ross Dunkley tetap berniat balik ke Myanmar untuk memperjuangkan kebebasan pers di sana. Anggap Aung San Suu Kyi tidak ubahnya dengan politikus yang lain.

Ridlwan Habib, Nusa Dua

“ANDA pernah ke Myanmar?” tanya Ross Dunkley kepada Jawa Pos setelah presentasi di CEO Conference Publish Asia 2012 di Bali Nusa Dua Convention Center tadi malam. Ross yang berlogat Australia itu mengajukan pertanyaan sembari  membagi-bagikan edisi Myanmar Times untuk para peserta.

“Saat ini lebih mudah untuk pergi ke sana (Myanmar), tapi tidak untuk saya,” tambahnya.

Ross adalah warga negara asing pertama yang bekerja sebagai pemimpin media di Myanmar sejak 2000. Dia juga merupakan investor asing pertama di bidang media di negara yang dahulu disebut Burma itu. “Saya sedang menantikan kebebasan rekan seperjuangan, Sonny Swe, yang dipenjara sejak 2004,” katanya.

Sonny adalah kongsi Ross dalam membangun Myanmar Times yang terbit mingguan 40 halaman. Putra mantan petinggi intelijen Myanmar Brigadir Jenderal Thein Swe itu dipenjara karena dianggap melanggar undang-undang informasi di negara yang terkenal dengan sarungnya tersebut. “Dia divonis tujuh tahun penjara untuk edisi bahasa Inggris, tujuh tahun untuk bahasa Burma,” ujarnya.

Sejak Sonny dipenjara, 51 persen saham Myanmar Times dipegang Tin Tun Oo yang menurut Ross adalah kepanjangan tangan militer Myanmar. “Pada 17 April nanti, Sonny bebas. Saya yakin bisa kembali ke Myanmar dan berbisnis lagi dengannya,” katanya.

Saat ini Ross memang sedang terusir dari Myanmar. Sebab, dia dituding melanggar undang-undang imigrasi. Dia ditangkap pada 10 Februari 2011 dan dipenjara di Insein, Myanmar, selama 40 hari.  Dia bisa bebas dengan jaminan dan didenda untuk membayar 100.000 kyats. “Sekarang saya mengendalikan perusahaan dari Kamboja,” katanya. Ross juga memimpin Phnom Penh Post yang berpengaruh di Kamboja.

Ross bercerita, sejak 2000 hingga 2010, pers di Myanmar nyaris dikatakan setengah hidup. “Semua dikontrol oleh pemerintah. Kami meliput sesuatu diikuti intel, menulis pun harus disensor terlebih dahulu,” katanya.

Padahal, lanjut dia, di Myanmar banyak jurnalis yang sebenarnya berjiwa independen. “Saya tetap akan berjuang agar pers di Myanmar bebas dan menghormati hak-hak manusia. Ada sekitar seratus wartawan hebat di sana,” ujarnya.

Walaupun tokoh wanita Myanmar Aung San Suu Kyi  dibebaskan pada 13 November 2010, perjuangan menegakkan demokrasi dan kebebasan pers di Myanmar masih panjang. “Bagi saya, Suu Kyi sama dengan politikus yang lain. Tidak ada yang istimewa. Ingat, bagi wartawan, omongan politisi tak bisa dilihat dari satu sisi saja,” katanya. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/