26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

UN Curang cuma Lulus atau Tidak

Faliruddin Lubis
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Ujian Nasional (UN) setiap tahun digelar. Nah, setiap penyelenggaraan UN pasti ada kecurangan. Akibatnya, pemerintah mati-matian untuk mengantisipasi agar tak terjadi kecurangan UN. Sampai-sampai polisi pun ikut disiagakan untuk menjaga pelaksanaan UN.

Bahkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh mengancam akan langsung mencoret jika ditemukan ada siswa berbuat curang saat penyelenggaran UN.

Selain mencoret siswa yang berbuat curang saat UN, Departemennya juga memberi sanksi berat jika ada guru atau kepala sekolah yang melakukan manipulasi dengan ujian sekolah yang berkontribusi 40 persen dalam kelulusan siswa, maka kontribusi 40 persen tersebut dicoret atau dianggap tidak ada.

Pengamat hukum juga angkat bicara mengultimatum agar jangan coba-coba melakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN karena ketahuan saja melakukan kecurangan bisa dipidana. Asalkan, itu cukup bukti-bukti yang mendukung kecurangan tersebut.

Kata pengamat hukum tadi mereka yang curang ini kan sama dengan membocorkan dokumen negara. Naskah soal UN tersebut merupakan dokumen negara dan ini bisa saja dipenjara.

Sibuk soal curang UN, seorang teman saya nyeletuk. “Dulu zaman saya tak ada seperti sekarang ini ujian dijaga polisi, karena takut curang,” katanya membuka komentar.

“Emangnya kok curang kenapa? Toh hasil UN kan hanya untuk penilaian kelulusan. Biar kan saja mereka curang kan semua lulus, sekolah tak rugi malah diapresiasi baik,” sambungnya.

Teman saya pun melanjutkan pembicaraan. Menurutnya, di zamannya sekolah dulu semua siswa bisa saling tukar jawaban walaupun sembunyi-sembunyi atau berbisik-bisik. Tak ada dijaga polisi, tak ada pengawalan soal. Tapi, jarang siswa yang tak lulus.

Jadi menurut saya biarkan saja siswa mau curang atau tidak, toh hasil UN kan hanya menentukan lulus dan tak lulus.
Itupun, katanya, penilaiannya tak adil. Masak sekolahnya tiga tahun yang dinilai hanya hasil ujian yang hanya tiga sampai empat hari.
Selain itu, katanya, kalau siswa memang pintar tak perlu curang pun bakal bisa menjawab soal. Begitu juga yang bodoh, kalaupun curang pasti nanti saat mengikuti pelajaran ke jenjang yang lebih tinggi bakal tak sanggup juga dan berhenti sendiri.
“Udahlah urusi aja yang lain,” katanya.

Mendengar ocehan kawan saya tadi, saya juga teringat saat masih di bangku SMA. Memang hasil UN (dulu EBTANAS) itu hanya penilaian lulus atau tidak. Selebihnya tak ada pengaruhnya.

Kalau nilainya tinggi belum tentu juga bisa lolos ke perguruan tinggi negeri, kalau nilainya pas-pasan terkadang bisa lulus ke perguruan tinggi melalui SNMPTN (dulu UMPTN).

Jadi, saya pikir biarkan saja mau curang mau tidak. Siswa juga kan tak bodoh. Kalau dikasih kunci jawaban baik melalui SMS dan sebagainya, pelajar juga kan pasti berpikir apakah jawaban itu benar atau tidak.

Pelajar itu pasti berpikir untuk membahas soal sendiri. Kan pelajar itu tak mau konyol tak lulus sudah belajar selama tiga tahun gara-gara bocoran jawaban soal yang tak tentu asal rimbanya. Kalaupun percaya biarkan saja, toh nanti pelajar itu pasti menyesal karena bukan hasil kemampuannya.
Yang penting harus diurusi itu adalah mengajarkan anak didik jangan berbuat curang sejak dini. Kalau sudah diajarkan meskipun ada yang mengajak untuk curang pasti diabaikannya. (*)

Faliruddin Lubis
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Ujian Nasional (UN) setiap tahun digelar. Nah, setiap penyelenggaraan UN pasti ada kecurangan. Akibatnya, pemerintah mati-matian untuk mengantisipasi agar tak terjadi kecurangan UN. Sampai-sampai polisi pun ikut disiagakan untuk menjaga pelaksanaan UN.

Bahkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh mengancam akan langsung mencoret jika ditemukan ada siswa berbuat curang saat penyelenggaran UN.

Selain mencoret siswa yang berbuat curang saat UN, Departemennya juga memberi sanksi berat jika ada guru atau kepala sekolah yang melakukan manipulasi dengan ujian sekolah yang berkontribusi 40 persen dalam kelulusan siswa, maka kontribusi 40 persen tersebut dicoret atau dianggap tidak ada.

Pengamat hukum juga angkat bicara mengultimatum agar jangan coba-coba melakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN karena ketahuan saja melakukan kecurangan bisa dipidana. Asalkan, itu cukup bukti-bukti yang mendukung kecurangan tersebut.

Kata pengamat hukum tadi mereka yang curang ini kan sama dengan membocorkan dokumen negara. Naskah soal UN tersebut merupakan dokumen negara dan ini bisa saja dipenjara.

Sibuk soal curang UN, seorang teman saya nyeletuk. “Dulu zaman saya tak ada seperti sekarang ini ujian dijaga polisi, karena takut curang,” katanya membuka komentar.

“Emangnya kok curang kenapa? Toh hasil UN kan hanya untuk penilaian kelulusan. Biar kan saja mereka curang kan semua lulus, sekolah tak rugi malah diapresiasi baik,” sambungnya.

Teman saya pun melanjutkan pembicaraan. Menurutnya, di zamannya sekolah dulu semua siswa bisa saling tukar jawaban walaupun sembunyi-sembunyi atau berbisik-bisik. Tak ada dijaga polisi, tak ada pengawalan soal. Tapi, jarang siswa yang tak lulus.

Jadi menurut saya biarkan saja siswa mau curang atau tidak, toh hasil UN kan hanya menentukan lulus dan tak lulus.
Itupun, katanya, penilaiannya tak adil. Masak sekolahnya tiga tahun yang dinilai hanya hasil ujian yang hanya tiga sampai empat hari.
Selain itu, katanya, kalau siswa memang pintar tak perlu curang pun bakal bisa menjawab soal. Begitu juga yang bodoh, kalaupun curang pasti nanti saat mengikuti pelajaran ke jenjang yang lebih tinggi bakal tak sanggup juga dan berhenti sendiri.
“Udahlah urusi aja yang lain,” katanya.

Mendengar ocehan kawan saya tadi, saya juga teringat saat masih di bangku SMA. Memang hasil UN (dulu EBTANAS) itu hanya penilaian lulus atau tidak. Selebihnya tak ada pengaruhnya.

Kalau nilainya tinggi belum tentu juga bisa lolos ke perguruan tinggi negeri, kalau nilainya pas-pasan terkadang bisa lulus ke perguruan tinggi melalui SNMPTN (dulu UMPTN).

Jadi, saya pikir biarkan saja mau curang mau tidak. Siswa juga kan tak bodoh. Kalau dikasih kunci jawaban baik melalui SMS dan sebagainya, pelajar juga kan pasti berpikir apakah jawaban itu benar atau tidak.

Pelajar itu pasti berpikir untuk membahas soal sendiri. Kan pelajar itu tak mau konyol tak lulus sudah belajar selama tiga tahun gara-gara bocoran jawaban soal yang tak tentu asal rimbanya. Kalaupun percaya biarkan saja, toh nanti pelajar itu pasti menyesal karena bukan hasil kemampuannya.
Yang penting harus diurusi itu adalah mengajarkan anak didik jangan berbuat curang sejak dini. Kalau sudah diajarkan meskipun ada yang mengajak untuk curang pasti diabaikannya. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/