JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Nestapa anak-anak korban Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) tak selesai pasca santunan dari pemerintah diberikan. Alvaro Fidelis Sulu, 5, masih harus cuci darah mandiri dengan metode Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) tiap empat jam sekali. Rayvan Aji pratama, 2,5, bahkan harus berjuang di tengah vonis dokter yang menyatakan dia buta dan berpotensi tuli.
SEPTIANA Juwita Sari, ibu Alvaro Fidelis Sulu, histeris. Jantungnya rasanya berhenti berdetak sesaat ketika menyaksikan wajah sang anak tiba-tiba membiru pada Minggu (14/1) sore itu. Tubuh Alvaro dingin di tengah derasnya keringat yang mengucur. Bocah itu pun sempat mengeluh mual, bahkan muntah.
Septi tak mau ambil risiko. Ia bergegas memesan mobil lewat aplikasi penyedia layanan transportasi untuk bisa membawa sang buah hati ke rumah sakit terdekat. Saat itu, mereka tengah berada di luar karena Septi harus menghadiri sebuah acara. “Saya nggak mikir apa-apa, udah lemes lihat kondisinya begitu.. Suami akhirnya saya tinggal,” ungkapnya saat ditemui di kontrakannya, di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (14/1) malam.
Awalnya, Septi menjanjikan untuk bertemu dengan tim Jawa Pos pada Minggu sore. Namun ternyata, ia harus melarikan sang anak ke fasilitas kesehatan (faskes) terdekat untuk mendapat penanganan terlebih dahulu. Selain itu, Alvaro juga harus ganti nasogastric tube (NGT).
Ya bocah lima tahun ini masih harus dibantu selang untuk minum susu. Usai divonis GGAPA, ia hanya mengkonsumsi susu racikan khusus per tiga jam sekali dari dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Susu ini untuk mengejar ketertinggalan gizinya karena dia kesulitan menelan.
Tak hanya itu, Alvaro masih harus cuci darah. Kandungan ureum dalam darahnya masih tinggi. Sudah lebih dari satu tahun hidupnya bergantung dari cuci darah ini. Sebelumnya, ia harus cuci darah dua kali seminggu ke RSCM. Mengingat, fasilitas cuci darah untuk anak sangat terbatas. Sejauh ini hanya dua rumah sakit di kawasan Jabodetabek yang punya, yakni RSCM dan Rumah Sakit Anak & Bunda Harapan Kita.
Namun, karena sudah tak ada lagi “ruang” di tubuhnya untuk pemasangan Catheter Double Lumen (CDL) sebagai akses Hemodialysis, dokter akhirnya merekomendasikan CAPD. “Karena badannya sudah habis, mau nggak mau harus (pasang CAPD, red) di perut,” ungkap Septi.
Perjuangan mereka untuk bolak-balik RSCM memang sudah tidak seekstrim sebelumnya. Berangkat sejak pagi, pulang tengah malam. Belum lagi ketika menghadapi antrian panjang. Tapi bukan berarti “perang” ini usai. Meski bisa cuci darah mandiri di rumah, Alvaro harus CAPD empat jam sekali. Ini pun sangat rentan infeksi. Jika area kulit sekitar kateter tidak dijaga kebersihannya, bakteri dapat menginfeksi peritoneum dan menyebabkan peritonitis. Karenanya, ia pun masih harus rutin cek ke rumah sakit setiap sebulan sekali, termasuk konsultasi ke rehab medik. “Dan anak dengan kondisi seperti ini sangat rentan sekali. Bisa tiba-tiba relapse. Harus dijaga banget. Kami betul-betul 24 jam ngurusin Alvaro,” ungkapnya.
Derita ini bukan hanya milik Alvaro. Septi dan sang suami, Tey David Sulu pun habis-habisan ketika harus menghadapi dampak dari kelalaian pihak-pihak tak bertanggung jawab yang membiarkan racun dalam obat penurun panas anak. Sejak Alvaro divonis GGAPA Oktober 2022, mereka sudah berjuang mati-matian untuk kesembuhan sang anak. Enam bulan hidup mereka dihabiskan di rumah sakit untuk menjaga Alvaro yang dirawat cukup lama. Hari-hari mereka diwarnai rasa was-was karena banyak korban GGAPA meregang nyawa saat berjuang di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).
Alvaro sendiri sempat koma selama 1,5 bulan. Seminggu usai masuk ke RSCM, Alvaro kejang. Dokter mengatakan, racun dari zat Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) dalam obat paracetamol cair yang dikonsumsi sudah menyebar hingga kepala. Kesadarannya turun sampai akhirnya koma. Bahkan, bocah yang kala itu berusia sekitar 2,5 tahun ini sempat divonis mati batang otak. Pernapasannya pun 100 persen sudah bergantung pada mesin. Matanya terpaksa ditutup menggunakan hypafix lantaran saat tidur cenderung terbuka. Sehingga dikhawatirkan terjadi iritasi karena tak berkedip.
Septi dan David sudah berserah sepenuhnya pada Tuhan. Mereka hanya bisa berdoa untuk kesembuhan anak tersayangnya sambil mengikuti semua langkah medis yang disarankan. Belum lagi saat itu, David terpaksa tidak bekerja dua bulan untuk menemani anak dan istrinya di rumah sakit. Keuangan mereka morat-marit. “Ini mukjizat banget. Dokter sempat bilang, dari sekian temennya Alvaro, anak AKI (Acute kidney injury, red) yang terburuk Alvaro. Tapi saya yakin anak saya akan kembali seperti dulu dan Puji Tuhan dia bisa sadar,” kenangnya.
Bangun dari koma, perjalanan panjang masih menanti. Alvaro sempat apatis. Dia seolah kembali seperti bayi. Linglung dan kesulitan melakukan apapun. Belum lagi, kondisinya sering ngedrop yang mengharuskannya dilarikan ke IGD.
Masa-masa itu begitu sulit dilalui. Apalagi, Septi tengah mengandung kala itu. Beratnya trimester awal dijalaninya di rumah sakit sambil menunggu keajaiban Tuhan untuk buah hatinya.
Badai ternyata tak kunjung reda. Septi dan David kembali diterpa topan. Usai Alvaro boleh dinyatakan pulang pada April 2023, Septi justru harus kehilangan anak ke-duanya. Selang beberapa hari usai lahiran, sang putri dipanggil Tuhan. Ia meninggal dunia di meja operasi karena kelainan jantung. Septi pasrah. “Saya gak nangis waktu dikabarin papanya dari rumah sakit. Saya kan jaga Alvaro di rumah,”ujarnya.
Tangisnya pecah ketika Joy, nama putrinya, dimandikan untuk kemudian dimakamkan. Saat itu, ia melihat perban yang masih menempel ditubuh putrinya. Sontak isak tangisnya tak tertahan. Dia tak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit sang anak yang masih berusia tiga hari harus menjalani operasi. “Mungkin itu yang terbaik buat kami. Tuhan ingin kami fokus pada kakaknya,” ungkap Septi mencoba berbesar hati.
Perjuangan mereka bertiga memang masih panjang. Kebutuhan CAPD dan susu Alvaro masih harus dipenuhi. Rehabilitasi medic pun masih terus dilakukan guna memastikan Alvaro benar-benar pulih seperti sedia kala.
Santunan dari pemerintah pun bukan tujuannya. Ia hanya berharap, pemerintah betul-betul memenuhi janjinya dan berempati pada para korban atas lalainya pemerintah dalam melakukan pengawasan peredaran obat-obatan.
Pasalnya, hingga kini janji-janji itu dinilainya hanya isapan jempol belaka. Biaya premi BPJS Kesehatan yang dijanjikan ternyata masih dipotong dari gaji bulanan sang suami. Begitu pula fasilitas transportasi. Mereka kerap tak mendapatkan bantuan untuk mempermudah perjalanan dalam pengobatan ke RSCM seperti yang dijanjikan.
“Saya sudah menghubungi asisten Pak Menkes yang waktu itu dikasih kontaknya. Tapi tidak direspon sampai sekarang. Tolong jangan mentang-mentang pejabat, banyak uang. Coba coba sekali-sekali datang, lihat kami para korban. Nggak pernah sekalipun ada,” pungkasnya.
Kondisi Rayvan Aji Pratama, 2,5, pun tak jauh dari kata memilukan. Meski lolos dari maut setelah dirawat 2,5 bulan di RSCM, pada sekitar Mei 2022 lalu, kini bocah malang itu masih harus menghadapi kenyataan-kenyataan pahit. Hingga kini, ia masih kesulitan untuk makan. Ia terpaksa menggunakan NGT, sama seperti Alvaro.
Mirisnya lagi, dokter telah memvonis bocah mungil ini buta. Menurut sang ibu, Resti Safitri, sudah tiga dokter yang menyatakan demikian usai melakukan pemeriksaan mata pada buah hatinya. Bahkan, pendengarannya pun juga kabur. Hati ibu mana yang tak mencelos mendengar hal itu.
“Dia anak pertama saya, mbak. Harapan saya tinggi banget (padanya, red). Cita-cita dia, saya enggak tahu apakah dia bisa wujudkan dengan kondisinya seperti ini,” ujarnya terbata sambil sesekali mengusap air matanya, saat bercerita pada Jawa Pos, Rabu (10/1).
Hatinya kian merintih kala melihat anak-anak sebaya Rayvan yang sudah berlari ke sana kemari. Sebab, anaknya masih terbaring karena cerebral palsy. Memang, tak banyak yang tahu jika EG dan DEG dalam sirup penurun panas itu bukan hanya menyerang ginjal anak-anak tak berdosa ini. Racun itu menjalar ke seluruh bagian tubuh dan menyebabkan kerusakan di sana. “Itu bukan obat tetapi racun,” ungkapnya.
Kisah Rayvan tak jauh beda dengan korban GGAPA lainnya. Ia divonis GGAPA usai mengkonsumsi obat paracetamol sirup buatan PT Afi Farma. Bukannya sembuh, ia justru mengalami pembengkakan, yang terjadi akibat gagal ginjal. Ia pun terpaksa harus cuci darah dan terbaring di PICU selama kurang lebih 45 hari. Usai keluar dari PICU, Rayvan masih harus dirawat selama dua bulan. Bayi 9 bulan itu pun kerap drop meski sudah boleh pulang.
Kini, ia masih harus rutin ke rumah sakit 2-3 kali seminggu. Rutinitas ini sudah mereka jalani kurang lebih 1,5 tahun terakhir. Karena kondisi sang buah hati yang benar-benar perlu perawatan khusus ini, sang suami Riang Traji, terpaksa harus keluar dari pekerjaannya demi merawat buah hati mereka satu-satunya itu. Mereka sekeluarga pun terpaksa pindah ke rumah orang tua Resti di Kemayoran agar bisa lebih mudah menjangkau RSCM. “Karena sebelumnya rumah saya di Bekasi. Cukup jauh kalau harus bolak-balik RSCM,” tuturnya.
Karena harus bekerja sendiri, Resti pun harus pontang-panting demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan Rayvan. Mengingat, tidak semua obat dan alat kesehatan ditanggung BPJS Kesehatan. Belum lagi jika obat atau alat kesehatan yang dibutuhkan ternyata habis di RSCM. “Sebulan saya harus mengeluarkan uang Rp 7 juta sampai Rp 8 juta hanya untuk kebutuhan Reyvan. Selang NGT harus diganti seminggu sekali. Lalu, obat syaraf yang tidak ditanggung, padahal itu penting. Belum lagi akomodasi bolak-balik rumah sakit. Saya gali lubang tutup lubang,” tuturnya.
Yang disayangkan olehnya, selama ini tak ada perhatian apapun dari pemerintah. Padahal, mereka adalah korban. Bantuan baru diterima dari santunan yang baru cair setelah 1,5 tahun. Tapi lebih dari itu, yang paling membuatnya bersedih adalah tak ada perwakilan pemerintah yang datang melihat kondisi anaknya.
“Pemerintah, BPOM atau Afi Farma tak pernah beri bantuan selama ini, apalagi lihat kondisi Rayvan. Bahkan Kemensos yang mendata (untuk santunan, red), saya sudah bilang datang ke rumah, nengok, lihat kondisi anak saya. Tapi hanya data lewat RT,” keluhnya.
Tak hanya itu, kekecewaan mendalam pun dirasakannya usai hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan kepada pejabat PT Afi Farma. Menurutnya, vonis itu tidak adil. Harusnya, para pihak terkait yang sudah lalai dan menyebabkan ratusan anak menjadi korban dihukum lebih berat. “Coba gantiin posisi anak saya, mau tidak hah,” tegasnya.
Saat ini, sekitar 25 orang tua korban yang tergabung dalam action class masih berjuang menuntut keadilan di PN Jakarta Pusat. Mereka menggugat beberapa produsen obat, seperti PT Afi Farma Pharmaceutical Industry hingga PT. Universal Pharmaceutical Industry. Selain itu, pihak lain yang ikut menjadi tergugat adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan. Gugatan class action ini juga menuntut ganti rugi miliaran rupiah atas kelalaian mereka terkait obat “racun” yang beredar dan menimbulkan korban. (mia)