26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Benang Kusut Pendidikan Indonesia

Oleh:Benni Sinaga

Sejatinya Indonesia sedang dilanda multi krisis, ketidakstabilan dan tengah mengalami restruktuisasi global dunia yang sedang berjalan ditandai dengan perubahan paradigma di semua aspek kehidupan.

Krisis kompleks yang menjadi fenomena membawa tantangan berat bagi bangsa Indonesia sebagai negara berkembang yang seringnya berada dalam posisi terancam, terlebih menghadapai globalisasi yang mengharuskan perubahan paradigma, peniadaan sekat-sekat ideologis politik, budaya bahkan substansi kehidupan yang nyaris sama.

Mampu bermain dalam kancah percaturan dunia (globalisasi) adalah agenda masa depan yang harus dimiliki bangsa Indonesia. Hanya saja agenda masa depan ini  terkesan muluk-muluk untuk kita bahas ketika pendidikan nasional bangsa kita pun masih dalam kondisi sakit, yang seyogiyanya pendidikan adalah barometer kemajuan suatu bangsa.

Merenungi masalah pembangunan  pendidikan Indonesia, mengundang kita semua mencermati betapa pendidikan nasional masih baru sekadar mampu memberi sumbangsih pendidikan yang diwujudkan dengan ijazah dan titel tapi masih belum  mampu melahirkan SDM yang  memiliki potensi sebagai kader-kader bangsa yang tangguh dan profesional untuk memenuhi tuntutan agenda masa depan.

Sehingga kenyataan berkata saat ini kredibilitas bangsa Indonesia di mata masyarakat dunia tidak semakin memuncak tapi justru belakangan terakhir semakin memudar, maka tidak heran jika beberapa tahun terakhir survei yang dilakukan Badan Internasional UNESCO menjelaskan tidak ada prestasi terbaik yang pernah dicatat Indonesia baik di bidang politik, sosial, ekonomi dan bidang lainnya.

Pertanyaannya, ada apa dengan Indonesia? Jawabannya, Indonesia sedang terpuruk dan kehilangan kader bangsa yang tangguh dan siap bersaing, mengapa demikian? Tentunya ada banyak variabel yang menjadi determinan penyebabnya tapi sejatinya ada variabel yang fundamental sebagai penyebab keterpurukan ini, yaitu ketidakberhasilan pendidikan nasional kita. Ketidakberhasilan pendidikan nasional berpotensi besar sebagai variabel akibat yang  fundamental atas keterpurukan bangsa ini. Seberapa jauh andil pendidikan dalam mewujudkan agenda masa depan?

Pertanyaan yang kerap dilontarkan, terkesan bernada klise tapi sejatinya memerlukan jawaban pasti yang harus diterjemahkan dalam tindakan. Karena pendidikan bersinggungan langsung dengan SDM yang merupakan output pendidikan itu sendiri, dan nyatanya di bangsa ini SDM-nya  yang sedang bermasalah inilah alasan mengapa pendidikan sesungguhnya adalah akar masalah dari keterpurukan yang tengah kita alami.

Seyogianya hari ini bangsa kita tengah menuai dampak panjang atas ketidakberhasilan pendidikan, sejenak memutar kembali rekaman memori dunia pendidikan di masa lampau maka kita menyadari banwa sesungguhnya selama ini kita tidak pernah sungguh-sungguh mengurusi pendidikan bahkan masih dipandang sebelah mata.

Selama ini pemerintah dan masyarakat belum mengelola pendidikan dengan optimal terlihat dari anggaran pendidikan yang sebelumnya tidak pernah benar-benar terealisasikan untuk kepentingan pendidikan dan persentasenya dari total RAPBN pun masih lebih rendah dari sektor lainnya.

Sekalipun saat ini pemerintah dan masyarakat telah menyadari esensi pendidikan yang terlihat dari kondisi dimana pemerintah sedang getol-getolnya mengenjot pendidikan tapi tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Kesalahan terdahulu telah mendarah daging dan dampaknya sangat signifikan untuk hari ini maka tidak heran jika pendidikan terlihat bagai benang kusut. Depolitasi kebijakan pendidikan kerap terjadi dalam pendidikan, secara filosofi kebijakan yang diambil seperti pergantian kurikulum sebagai contoh konkrit berada dalam kerangka perbaikan mutu pendidikan tapi pengalaman menggambarkan hal yang berbanding terbalik dimana setiap perubahan kebijakan bernuansa “politis” bahkan istilah tambal sulam kebijakan di dunia pendidikan sebagai hal yang lumrah seperti penetapan KBK yang belum seumur jagung dan belum dirasakan kontribusinya sudah diganti dengan KTSP sebagai kurikulum baru, sehingga asumsi “lain pemimpin lain kebijakan” terlontar begitu saja.

Selain itu sentralisasi juga menjebak pendidikan terperangkap dalam praktik bisnis, terlebih sejak terealisasinya anggaran pendidikan sebesar 20 persen menjadikan pendidikan sebagai ladang uang bagi mereka yang memilki kekuasaan dan sampai saat ini anggaran 20 persen pun belum mampu mengatasi kegagalan pendidikan dari segi finansial karena dalam realisasinya anggaran 20 persen  mengalami sikat-sikut sana-sini wujud praktik KKN dunia pendidikan lagi-lagi ini terjadi karena SDM bangsa kita yang rendah sehingga pendidikan pun masih pragmatis.

Ironisnya juga kita baru juga sadar bahwa yang bertanggungjawab atas kegagalan pendidikan menghasilkan SDM yang tangguh dan profesional adalah tenaga didik yaitu guru, apapun alasannya guru merupakan titik sentral dalam pendidikan tapi guru pun sebenarnya selama ini masih tertindas karena hanya dipandang sebagai alat politik kekuasaan terdahulu maka guru tidak memiliki wewenang dalam dunianya sendiri dan kita juga tidak dapat menuntut banyak dari guru karena selama ini kesejahteraan guru pun tidak begitu diperhitungkan berbeda dengan negara lain, omong kosong seorang guru bersikap profesional ketika kesejahteraannya pun terancam sampai masih ada guru yang menerima gaji dibawah UMR.  Maka tak heran dengan kualitas guru yang kesejahteraannya terancam dan tidak profesional kualitas SDM yang dihasilkan pun biasa-biasa saja sekadar tamat dan guru pun dengan nyaman berperan sebagai transfer of knowledge bukan transfer of value tanpa menyadari sesungguhnya pendidikan sebagai proses rekonstruksi bukan sebatas belajar.

Dan saat ini bangsa kita sedang demam sertifikasi yang disinyalirkan sebagai solusi kesejahteraan guru memang mendongkrak popularitas guru tapi sejauh ini belum dirasakan kontribusinya sebagai solusi mengatasi ketidakberhasilan pendidikan, benarkah sertifikasi adalah solusinya sampai saat ini masih dipertanyakan.

Deskripsi panggung dunia pendidikan menjadi refleksi bagi kita bersama bahwa menyadari pendidikan sebagai motor yang juga memegang andil yang cukup besar dalam kemajuan bangsa mencapai agenda masa depan ternyata sedang mengalami sakit yang berada dalam kategori komplikasi, namun sekalipun terlambat mempososisikan pendidikan sebagai solusi keterpurukan bangsa ini tidak salah kiranya kita segenap bangsa Indonesia melakukan berbagai koreksi terhadap kekeliruan dalam kebijakan pendidikan selama ini, sembari secara sungguh-sungguh melakukan perbaikan menuju masyarakat terdidik sebagai kader bangsa yang tangguh dan profesional, karena lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Maju pendidikan bangsaku. (*)

Penulis Adalah Dosen STIE IBMI Medan Ketua KPP (Komunitas Peduli Pendidikan)

Oleh:Benni Sinaga

Sejatinya Indonesia sedang dilanda multi krisis, ketidakstabilan dan tengah mengalami restruktuisasi global dunia yang sedang berjalan ditandai dengan perubahan paradigma di semua aspek kehidupan.

Krisis kompleks yang menjadi fenomena membawa tantangan berat bagi bangsa Indonesia sebagai negara berkembang yang seringnya berada dalam posisi terancam, terlebih menghadapai globalisasi yang mengharuskan perubahan paradigma, peniadaan sekat-sekat ideologis politik, budaya bahkan substansi kehidupan yang nyaris sama.

Mampu bermain dalam kancah percaturan dunia (globalisasi) adalah agenda masa depan yang harus dimiliki bangsa Indonesia. Hanya saja agenda masa depan ini  terkesan muluk-muluk untuk kita bahas ketika pendidikan nasional bangsa kita pun masih dalam kondisi sakit, yang seyogiyanya pendidikan adalah barometer kemajuan suatu bangsa.

Merenungi masalah pembangunan  pendidikan Indonesia, mengundang kita semua mencermati betapa pendidikan nasional masih baru sekadar mampu memberi sumbangsih pendidikan yang diwujudkan dengan ijazah dan titel tapi masih belum  mampu melahirkan SDM yang  memiliki potensi sebagai kader-kader bangsa yang tangguh dan profesional untuk memenuhi tuntutan agenda masa depan.

Sehingga kenyataan berkata saat ini kredibilitas bangsa Indonesia di mata masyarakat dunia tidak semakin memuncak tapi justru belakangan terakhir semakin memudar, maka tidak heran jika beberapa tahun terakhir survei yang dilakukan Badan Internasional UNESCO menjelaskan tidak ada prestasi terbaik yang pernah dicatat Indonesia baik di bidang politik, sosial, ekonomi dan bidang lainnya.

Pertanyaannya, ada apa dengan Indonesia? Jawabannya, Indonesia sedang terpuruk dan kehilangan kader bangsa yang tangguh dan siap bersaing, mengapa demikian? Tentunya ada banyak variabel yang menjadi determinan penyebabnya tapi sejatinya ada variabel yang fundamental sebagai penyebab keterpurukan ini, yaitu ketidakberhasilan pendidikan nasional kita. Ketidakberhasilan pendidikan nasional berpotensi besar sebagai variabel akibat yang  fundamental atas keterpurukan bangsa ini. Seberapa jauh andil pendidikan dalam mewujudkan agenda masa depan?

Pertanyaan yang kerap dilontarkan, terkesan bernada klise tapi sejatinya memerlukan jawaban pasti yang harus diterjemahkan dalam tindakan. Karena pendidikan bersinggungan langsung dengan SDM yang merupakan output pendidikan itu sendiri, dan nyatanya di bangsa ini SDM-nya  yang sedang bermasalah inilah alasan mengapa pendidikan sesungguhnya adalah akar masalah dari keterpurukan yang tengah kita alami.

Seyogianya hari ini bangsa kita tengah menuai dampak panjang atas ketidakberhasilan pendidikan, sejenak memutar kembali rekaman memori dunia pendidikan di masa lampau maka kita menyadari banwa sesungguhnya selama ini kita tidak pernah sungguh-sungguh mengurusi pendidikan bahkan masih dipandang sebelah mata.

Selama ini pemerintah dan masyarakat belum mengelola pendidikan dengan optimal terlihat dari anggaran pendidikan yang sebelumnya tidak pernah benar-benar terealisasikan untuk kepentingan pendidikan dan persentasenya dari total RAPBN pun masih lebih rendah dari sektor lainnya.

Sekalipun saat ini pemerintah dan masyarakat telah menyadari esensi pendidikan yang terlihat dari kondisi dimana pemerintah sedang getol-getolnya mengenjot pendidikan tapi tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Kesalahan terdahulu telah mendarah daging dan dampaknya sangat signifikan untuk hari ini maka tidak heran jika pendidikan terlihat bagai benang kusut. Depolitasi kebijakan pendidikan kerap terjadi dalam pendidikan, secara filosofi kebijakan yang diambil seperti pergantian kurikulum sebagai contoh konkrit berada dalam kerangka perbaikan mutu pendidikan tapi pengalaman menggambarkan hal yang berbanding terbalik dimana setiap perubahan kebijakan bernuansa “politis” bahkan istilah tambal sulam kebijakan di dunia pendidikan sebagai hal yang lumrah seperti penetapan KBK yang belum seumur jagung dan belum dirasakan kontribusinya sudah diganti dengan KTSP sebagai kurikulum baru, sehingga asumsi “lain pemimpin lain kebijakan” terlontar begitu saja.

Selain itu sentralisasi juga menjebak pendidikan terperangkap dalam praktik bisnis, terlebih sejak terealisasinya anggaran pendidikan sebesar 20 persen menjadikan pendidikan sebagai ladang uang bagi mereka yang memilki kekuasaan dan sampai saat ini anggaran 20 persen pun belum mampu mengatasi kegagalan pendidikan dari segi finansial karena dalam realisasinya anggaran 20 persen  mengalami sikat-sikut sana-sini wujud praktik KKN dunia pendidikan lagi-lagi ini terjadi karena SDM bangsa kita yang rendah sehingga pendidikan pun masih pragmatis.

Ironisnya juga kita baru juga sadar bahwa yang bertanggungjawab atas kegagalan pendidikan menghasilkan SDM yang tangguh dan profesional adalah tenaga didik yaitu guru, apapun alasannya guru merupakan titik sentral dalam pendidikan tapi guru pun sebenarnya selama ini masih tertindas karena hanya dipandang sebagai alat politik kekuasaan terdahulu maka guru tidak memiliki wewenang dalam dunianya sendiri dan kita juga tidak dapat menuntut banyak dari guru karena selama ini kesejahteraan guru pun tidak begitu diperhitungkan berbeda dengan negara lain, omong kosong seorang guru bersikap profesional ketika kesejahteraannya pun terancam sampai masih ada guru yang menerima gaji dibawah UMR.  Maka tak heran dengan kualitas guru yang kesejahteraannya terancam dan tidak profesional kualitas SDM yang dihasilkan pun biasa-biasa saja sekadar tamat dan guru pun dengan nyaman berperan sebagai transfer of knowledge bukan transfer of value tanpa menyadari sesungguhnya pendidikan sebagai proses rekonstruksi bukan sebatas belajar.

Dan saat ini bangsa kita sedang demam sertifikasi yang disinyalirkan sebagai solusi kesejahteraan guru memang mendongkrak popularitas guru tapi sejauh ini belum dirasakan kontribusinya sebagai solusi mengatasi ketidakberhasilan pendidikan, benarkah sertifikasi adalah solusinya sampai saat ini masih dipertanyakan.

Deskripsi panggung dunia pendidikan menjadi refleksi bagi kita bersama bahwa menyadari pendidikan sebagai motor yang juga memegang andil yang cukup besar dalam kemajuan bangsa mencapai agenda masa depan ternyata sedang mengalami sakit yang berada dalam kategori komplikasi, namun sekalipun terlambat mempososisikan pendidikan sebagai solusi keterpurukan bangsa ini tidak salah kiranya kita segenap bangsa Indonesia melakukan berbagai koreksi terhadap kekeliruan dalam kebijakan pendidikan selama ini, sembari secara sungguh-sungguh melakukan perbaikan menuju masyarakat terdidik sebagai kader bangsa yang tangguh dan profesional, karena lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Maju pendidikan bangsaku. (*)

Penulis Adalah Dosen STIE IBMI Medan Ketua KPP (Komunitas Peduli Pendidikan)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/