28 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Mengabadikan Pendapat Melalui Suara

Radio Buku, Semangat Mengarsipkan Buku lewat Suara

Penggila buku di Jogjakarta Senin lalu (23/4) meramaikan peringatan enam tahun Komunitas Indonesia Buku (IBOEKOE). Lewat divisinya, Radio Buku, komunitas yang dimotori penulis Muhidin M Dahlan itu berambisi mengarsipkan suara seribu orang pencinta buku dalam tiga tahun.

HENNY GALLA PRADANA, Jakarta

“Membaca adalah tindakan yang sunyi. Tatkala kesunyian itu menyergap pedalaman hati, saat itulah pengenalan spiritual di balik lembar-lembar buku dimulai, dan berakhir dengan ingatan yang tak mudah lapuk.”

Baris-baris kalimat terkait indah, tertulis di portal www.indonesiabuku.com. Di laman web yang desainnya didominasi hijau dan putih itu segala sesuatu tentang buku sebagai jendela manusia membaca dunia disajikan.

Dalam pilihan kanal web, disuguhkan katalog buku baru, esai, resensi buku, tokoh yang bergiat dalam penulisan buku, hingga puluhan tip ringan tentang dunia buku. Misalnya, bagaimana membuat perpustakaan pribadi hingga mengapa anak sering menyobek buku. Bukan hanya itu. Saat laman portal dibuka, pengunjung situs juga langsung disambut suara streaming radio yang disematkan di pojok kanan atas portal.

Tetapi, jangan berharap radio tersebut menyuguhkan entertainment pop seperti yang terdapat di frekuensi radio pada umumnya. Sebaliknya, radio yang dapat diakses khalayak umum lewat internet dengan mudah tanpa harus diunduh ini berisi tentang arsip yang berkaitan dengan buku.

Adalah Muhidin M Dahlan yang menjadi salah seorang penggagas Radio Buku itu. Pria kelahiran Tolondo, 34 tahun silam itu, ditemui Jawa Pos di sela riuhnya pembukaan pameran seni rupa dokumentasi Re Claim sekaligus peluncuran buku The Archive Indonesia Art World karya Dr Melani W Setiawan di gedung Galeri Nasional Jakarta, Minggu (8/4).
“Nih, sedang ngrekam buat arsip di radio,” ungkap Muhidin sembari memegang recorder dan mendekatkannya dengan sound system besar.

Muhidin, yang mengenakan batik lengan pendek dan sepatu kanvas kala itu, serius mendengarkan dan merekam detik per detik berjalannya prosesi peluncuran buku Melani. Di dalam rekamannya juga tersemat beberapa testimoni tokoh tanah air, seperti kritikus seni rupa dan kurator pameran Jim Supangkat, hingga Direktur Museum Rekor Dunia Indonesia Jaya Suprana. Menurut Muhidin, tak semua acara yang terkait dunia buku dia datangi untuk dibikin arsip. “Harus ada bukunya,” jelasnya.

Radio Buku memang salah satu diversifikasi media dari portal Indonesia Buku. Portal itu merupakan media untuk menyampaikan visi, suara, dan ide-ide dari komunitas aktivis perbukuan, pencinta buku, hingga jurnalis yang peduli pada gerakan menghidupkan buku dalam tindakan. Komunitas ini berbasis di Jogjakarta, tapi jaringannya meluas ke berbagai kota di Indonesia.

Menurut Muhidin, sistem kearsipan di Indonesia saat ini masih lemah. Banyak momen yang meski terlihat kecil, namun sebenarnya penting, tak terekam oleh pemerintah dan media sekalipun.

Itulah sebabnya, dia memiliki ide untuk membangun suatu media yang berisi arsip-arsip buku dan seputar aktivitas perbukuan. Pada awalnya, Muhidin ingin mengembangkan Indonesia Buku dalam bentuk televisi buku. Sayang, lantaran tak memperoleh izin siar, dia lalu memilih radio sebagai media untuk menyampaikan arsip buku.

“Pada kisaran 2010, saya dibantu para aktivis buku membikin Radio Buku ini,” terangnya.
Dengan modal sekitar Rp5 juta Muhidin membeli peralatan siar sederhana. Dia mengaku tak kesulitan membuat program streaming radio di internet. “Banyak teman yang pintar bikin program streaming,” jelasnya. Setelah jadi, Radio Buku memulai siaran perdana pada akhir 2010. Secara teknis, radio itu tak menyiarkan acaranya secara langsung. Semua acara yang disiarkan dalam bentuk arsip (rekaman).

“Setiap kata yang dilontarkan oleh announcer (penyiar radio)-nya pun diarsipkan terlebih dahulu, baru diputar di live streaming,” ungkap penulis buku Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, dan salah satu penulis: Lekra Tak Membakar Buku itu.
Karena semua prosedur teknis menggunakan arsip, dokumentasi suara dalam bentuk MP3 bisa diunduh pendengarnya pada situs website Radio Buku.

Diferensiasi antara Radio Buku dan radio populer, antara lain, dari sisi konten. Muhidin menyebutkan, beberapa konten radio yang dianggap nyeleneh adalah rubrik pembacaan cerita dan wawancara. Hingga saat ini, radio buku telah mengarsipkan wawancara dengan kurang lebih 80 narasumber.

Memang, tak semua yang diwawancarai adalah orang populer. Misalnya,  warga di sekitar markas Radio Buku di Jalan Patehan, yang jaraknya tak lebih dari 200 meter dari dua pohon beringin Alun-Alun Selatan Keraton Jogjakarta.

“Bu, buku yang pernah dibaca dan disukai apa?” ujar Muhidin menirukan wawancaranya dengan seorang ibu rumah tangga di Jalan Patehan, yang ternyata sangat cinta dengan buku resep masakan.

“Kami abadikan pendapat mereka dalam bentuk suara,” jelasnya sambil menyendok nasi uduk yang dibungkus daun.

Dalam dua tahun perjalanannya, Radio Buku juga mewawancarai sejumlah tokoh dari berbagai bidang. Misalnya, Bondan Nusantara, seniman dan penulis buku ketoprak, hingga seorang eksplorer, Agustinus Wibowo, si penulis buku Selimut Debu. Dari mancanegara, Radio Buku pernah mewawancarai penulis serta peneliti dari Australia Savitri Scherer; Annie Tucker, peneliti UCLA Los Angeles; hingga kurator sekaligus antropolog Anton Lorenz.

Kendati demikian, Muhidin menuturkan, semangat Radio Buku justru tak seperti media populer lain yang mengunggulkan unsur bombastis dan profil para tokoh terkenal.
“Kami pilih metode jurnalis partikelir (semiprofesional). Yang kami utamakan justru orang-orang biasa saja,” jelasnya.

Mengapa demikian? “Karena akan jadi arsip besar ketika orang yang kami wawancarai pada suatu saat ternyata menjadi orang besar. Padahal, sebelumnya orang biasa saja,” ujarnya (*)

Radio Buku, Semangat Mengarsipkan Buku lewat Suara

Penggila buku di Jogjakarta Senin lalu (23/4) meramaikan peringatan enam tahun Komunitas Indonesia Buku (IBOEKOE). Lewat divisinya, Radio Buku, komunitas yang dimotori penulis Muhidin M Dahlan itu berambisi mengarsipkan suara seribu orang pencinta buku dalam tiga tahun.

HENNY GALLA PRADANA, Jakarta

“Membaca adalah tindakan yang sunyi. Tatkala kesunyian itu menyergap pedalaman hati, saat itulah pengenalan spiritual di balik lembar-lembar buku dimulai, dan berakhir dengan ingatan yang tak mudah lapuk.”

Baris-baris kalimat terkait indah, tertulis di portal www.indonesiabuku.com. Di laman web yang desainnya didominasi hijau dan putih itu segala sesuatu tentang buku sebagai jendela manusia membaca dunia disajikan.

Dalam pilihan kanal web, disuguhkan katalog buku baru, esai, resensi buku, tokoh yang bergiat dalam penulisan buku, hingga puluhan tip ringan tentang dunia buku. Misalnya, bagaimana membuat perpustakaan pribadi hingga mengapa anak sering menyobek buku. Bukan hanya itu. Saat laman portal dibuka, pengunjung situs juga langsung disambut suara streaming radio yang disematkan di pojok kanan atas portal.

Tetapi, jangan berharap radio tersebut menyuguhkan entertainment pop seperti yang terdapat di frekuensi radio pada umumnya. Sebaliknya, radio yang dapat diakses khalayak umum lewat internet dengan mudah tanpa harus diunduh ini berisi tentang arsip yang berkaitan dengan buku.

Adalah Muhidin M Dahlan yang menjadi salah seorang penggagas Radio Buku itu. Pria kelahiran Tolondo, 34 tahun silam itu, ditemui Jawa Pos di sela riuhnya pembukaan pameran seni rupa dokumentasi Re Claim sekaligus peluncuran buku The Archive Indonesia Art World karya Dr Melani W Setiawan di gedung Galeri Nasional Jakarta, Minggu (8/4).
“Nih, sedang ngrekam buat arsip di radio,” ungkap Muhidin sembari memegang recorder dan mendekatkannya dengan sound system besar.

Muhidin, yang mengenakan batik lengan pendek dan sepatu kanvas kala itu, serius mendengarkan dan merekam detik per detik berjalannya prosesi peluncuran buku Melani. Di dalam rekamannya juga tersemat beberapa testimoni tokoh tanah air, seperti kritikus seni rupa dan kurator pameran Jim Supangkat, hingga Direktur Museum Rekor Dunia Indonesia Jaya Suprana. Menurut Muhidin, tak semua acara yang terkait dunia buku dia datangi untuk dibikin arsip. “Harus ada bukunya,” jelasnya.

Radio Buku memang salah satu diversifikasi media dari portal Indonesia Buku. Portal itu merupakan media untuk menyampaikan visi, suara, dan ide-ide dari komunitas aktivis perbukuan, pencinta buku, hingga jurnalis yang peduli pada gerakan menghidupkan buku dalam tindakan. Komunitas ini berbasis di Jogjakarta, tapi jaringannya meluas ke berbagai kota di Indonesia.

Menurut Muhidin, sistem kearsipan di Indonesia saat ini masih lemah. Banyak momen yang meski terlihat kecil, namun sebenarnya penting, tak terekam oleh pemerintah dan media sekalipun.

Itulah sebabnya, dia memiliki ide untuk membangun suatu media yang berisi arsip-arsip buku dan seputar aktivitas perbukuan. Pada awalnya, Muhidin ingin mengembangkan Indonesia Buku dalam bentuk televisi buku. Sayang, lantaran tak memperoleh izin siar, dia lalu memilih radio sebagai media untuk menyampaikan arsip buku.

“Pada kisaran 2010, saya dibantu para aktivis buku membikin Radio Buku ini,” terangnya.
Dengan modal sekitar Rp5 juta Muhidin membeli peralatan siar sederhana. Dia mengaku tak kesulitan membuat program streaming radio di internet. “Banyak teman yang pintar bikin program streaming,” jelasnya. Setelah jadi, Radio Buku memulai siaran perdana pada akhir 2010. Secara teknis, radio itu tak menyiarkan acaranya secara langsung. Semua acara yang disiarkan dalam bentuk arsip (rekaman).

“Setiap kata yang dilontarkan oleh announcer (penyiar radio)-nya pun diarsipkan terlebih dahulu, baru diputar di live streaming,” ungkap penulis buku Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, dan salah satu penulis: Lekra Tak Membakar Buku itu.
Karena semua prosedur teknis menggunakan arsip, dokumentasi suara dalam bentuk MP3 bisa diunduh pendengarnya pada situs website Radio Buku.

Diferensiasi antara Radio Buku dan radio populer, antara lain, dari sisi konten. Muhidin menyebutkan, beberapa konten radio yang dianggap nyeleneh adalah rubrik pembacaan cerita dan wawancara. Hingga saat ini, radio buku telah mengarsipkan wawancara dengan kurang lebih 80 narasumber.

Memang, tak semua yang diwawancarai adalah orang populer. Misalnya,  warga di sekitar markas Radio Buku di Jalan Patehan, yang jaraknya tak lebih dari 200 meter dari dua pohon beringin Alun-Alun Selatan Keraton Jogjakarta.

“Bu, buku yang pernah dibaca dan disukai apa?” ujar Muhidin menirukan wawancaranya dengan seorang ibu rumah tangga di Jalan Patehan, yang ternyata sangat cinta dengan buku resep masakan.

“Kami abadikan pendapat mereka dalam bentuk suara,” jelasnya sambil menyendok nasi uduk yang dibungkus daun.

Dalam dua tahun perjalanannya, Radio Buku juga mewawancarai sejumlah tokoh dari berbagai bidang. Misalnya, Bondan Nusantara, seniman dan penulis buku ketoprak, hingga seorang eksplorer, Agustinus Wibowo, si penulis buku Selimut Debu. Dari mancanegara, Radio Buku pernah mewawancarai penulis serta peneliti dari Australia Savitri Scherer; Annie Tucker, peneliti UCLA Los Angeles; hingga kurator sekaligus antropolog Anton Lorenz.

Kendati demikian, Muhidin menuturkan, semangat Radio Buku justru tak seperti media populer lain yang mengunggulkan unsur bombastis dan profil para tokoh terkenal.
“Kami pilih metode jurnalis partikelir (semiprofesional). Yang kami utamakan justru orang-orang biasa saja,” jelasnya.

Mengapa demikian? “Karena akan jadi arsip besar ketika orang yang kami wawancarai pada suatu saat ternyata menjadi orang besar. Padahal, sebelumnya orang biasa saja,” ujarnya (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/