26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kejar Dangdut hingga ke Belanda

Andrew Weintraub, Profesor Universitas Pittsburgh dan Vokalis Dangdut Cowboys (1)

Nama Andrew N Weintraub jelas kalah tenar dengan Rhoma Irama atau Inul Daratista. Namun, dalam dunia dangdut Indonesia, Andrew bukan orang asing. Dia adalah profesor dari Universitas Pittsburgh, AS, yang secara komperehensif meneliti dangdut. Dia juga membentuk kelompok orkes dangdut di Pitssburgh bernama Dangdut Cowboys.

HENDROMASTO, Jakarta

Pada 2010 lalu, nama Andrew melejit di sela gempita dunia dangdut tanah air. Saat itu, dia baru saja menyelesaikan bukunya berjuduln
Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia‘s Most Popular Music. Buku itu baru saja dialihbahasakan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia awal bulan ini dengan judul Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.

Perjumpaan Andrew dengan dangdut sudah terjadi pada 1985. Saat itu, sebagai mahasiswa musikologi, dia melakukan penelitian terhadap musik Sunda. Bandung menjadi kota tempat tinggalnya selama penelitian itu. Saat di Bandung dan mulai menyiapkan penelitiannya, Andrew mendapati sebuah musik yang tidak akrab di telinganya. Dia juga melihat musik itu manjur untuk membuat pendengarnya bergoyang dan begitu digilai banyak telinga.
“Saya sempat berniat mengganti penelitian saya tentang musik tradisi Sunda. Saya ingin menggantinya dengan penelitian tentang dangdut. Saat itu Evie Tamala sedang top-topnya,’’ kenang Andrew.

Namun, niat mengganti tema penelitian itu langsung ditolak dosen pembimbing Andrew. Alasannya, dangdut adalah musik pop dan bukan musik tradisi yang seusai bidang keilmuan Andrew saat itu. Walau mendapat penolakan, bukan berarti Andrew lantas meninggalkan dangdut begitu saja. Dia tetap dekat dengan dangdut sebagai penikmat.

Selama enam tahun Andrew menuntaskan penelitiannya tentang musik tradisi Sunda. Dia mendalami seluk beluk musik Sunda dengan beragam keunikan di sekitarnya. Mulai kecapi, gamelan, hingga wayang golek menjadi fokus penelitiannya saat itu.

“Saya tetap dekat dengan dangdut sebagai penggemar, belum menempatkannya sebagai objek penelitian,” beber warga negara AS yang fasih berbahasa Indonesia ini.

Ketertarikan Andrew dengan dangdut dan menempatkannya sebagai objek penelitian baru kesampaian pada 2005. Saat itu, dia sudah menyandang gelar profesor dan mendapat beasiswa untuk meneliti dangdut. Sebagai seorang profesor, Andrew tak lagi harus terkungkung pada batas-batas musikologi yang memilah musik tradisi dan pop.

Tanpa buang waktu, Andrew terbang ke Indonesia setelah menerima beasiswa dari pemerintah AS untuk mewujudkan cita-cita lamanya.
Selama enam bulan Andrew menghabiskan waktunya di Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya menghasilkan sebuah penelitian dan buku tentang dangdut. Pada awal penelitiannya, Andrew mengakui sama sekali tidak mudah untuk menjangkau sumber-sumber dangdut. Minimnya referensi tertulis tentang dangdut dan akses kepada para pelaku musik dangdut sebagai narasumber penelitian menjadi hambatannya. “Tidak mudah untuk bisa menemui dan melakukan wawancara dengan para pemusik dangdut. Harus ada yang mengantarkan,” tutur Andrew.

Namun, kesulitan menjangkau narasumber untuk wawancara itu kemudian bisa teratasi secara perlahan. Pemusik dangdut seperti Rhoma Irama, A. Rafiq, Camelia Malik, hingga Munif Bahasuan dia temui untuk interview mendalam. Andrew juga melakukan wawancara dengan para insan media seperti Ishadi SK yang dia anggap berperan membawa dangdut dekat dengan media masa, khususnya televisi.

Kesulitan mendapat narasumber dari pelaku dangdut tidak lantas diikuti dengan kemudahan mendapatkan referensi tertulis tentang dangdut. Andrew harus melakukan perjalanan hingga negeri Belanda untuk mendapatkan data-data tertulis tentang dangdut dan segala macam pernik di sekitarnya.
Tentang gegap gempita dangdut yang terekam dalam pemberitaan media justru diperoleh Andrew di Belanda. Di Indonesia, sumber tertulis semacam itu termasuk langka. Jerih payah Andrew mencari sumber-sumber tersebut terbayar dengan buku yang dia hasilkan. Buku tersebut tidak hanya melulu berisi tentang dangdut sebagai musik.

“Saya menulis buku tentang dangdut agar bisa dibaca para mahasiswa, peneliti lain, dan siapa saja yang hendak meneliti musik, antropologi, dan studi-studi Asia Tenggara,” sambung Andrew.

Isi buku Andrew memang lintas disiplin. Sebagai sebuah buku tentang musik, jelas Andrew menuliskannya dengan komperehensif. Sebagai buku tentang fenomena sosial kaum urban Indonesia, buku Andrew juga pantas diandalkan.

Menurutnya, dangdut memang bukan sekadar musik. Apa yang tertulis dalam syair dangdut adalah cerminan realitas sosial yang ada saat lagu itu tercipta. Tentang susahnya hidup jadi gelandangan atau bebas merdekanya seorang bujangan hingga derita dan bahagia cinta ada dalam dangdut. Semuanya disampaikan dengan rasa dangdut yang khas hingga membuat pendengarnya tetap bergoyang walau lirik lagunya sedih merintih-rintih.
Bagi Andrew, dangdut di Indonesia memiliki keunikan-keunikan yang tidak dimiliki oleh musik lain di tanah air. Kedekatan Andrew dengan dangdut tidak hanya berhenti pada buku. Pada 2007 lalu, dia membentuk sebuah grup dangdut di Pittsburgh. Grup dangdut itu diberi nama Dangdut Cowboys. Seperti apa? (bersambung)

Andrew Weintraub, Profesor Universitas Pittsburgh dan Vokalis Dangdut Cowboys (1)

Nama Andrew N Weintraub jelas kalah tenar dengan Rhoma Irama atau Inul Daratista. Namun, dalam dunia dangdut Indonesia, Andrew bukan orang asing. Dia adalah profesor dari Universitas Pittsburgh, AS, yang secara komperehensif meneliti dangdut. Dia juga membentuk kelompok orkes dangdut di Pitssburgh bernama Dangdut Cowboys.

HENDROMASTO, Jakarta

Pada 2010 lalu, nama Andrew melejit di sela gempita dunia dangdut tanah air. Saat itu, dia baru saja menyelesaikan bukunya berjuduln
Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia‘s Most Popular Music. Buku itu baru saja dialihbahasakan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia awal bulan ini dengan judul Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.

Perjumpaan Andrew dengan dangdut sudah terjadi pada 1985. Saat itu, sebagai mahasiswa musikologi, dia melakukan penelitian terhadap musik Sunda. Bandung menjadi kota tempat tinggalnya selama penelitian itu. Saat di Bandung dan mulai menyiapkan penelitiannya, Andrew mendapati sebuah musik yang tidak akrab di telinganya. Dia juga melihat musik itu manjur untuk membuat pendengarnya bergoyang dan begitu digilai banyak telinga.
“Saya sempat berniat mengganti penelitian saya tentang musik tradisi Sunda. Saya ingin menggantinya dengan penelitian tentang dangdut. Saat itu Evie Tamala sedang top-topnya,’’ kenang Andrew.

Namun, niat mengganti tema penelitian itu langsung ditolak dosen pembimbing Andrew. Alasannya, dangdut adalah musik pop dan bukan musik tradisi yang seusai bidang keilmuan Andrew saat itu. Walau mendapat penolakan, bukan berarti Andrew lantas meninggalkan dangdut begitu saja. Dia tetap dekat dengan dangdut sebagai penikmat.

Selama enam tahun Andrew menuntaskan penelitiannya tentang musik tradisi Sunda. Dia mendalami seluk beluk musik Sunda dengan beragam keunikan di sekitarnya. Mulai kecapi, gamelan, hingga wayang golek menjadi fokus penelitiannya saat itu.

“Saya tetap dekat dengan dangdut sebagai penggemar, belum menempatkannya sebagai objek penelitian,” beber warga negara AS yang fasih berbahasa Indonesia ini.

Ketertarikan Andrew dengan dangdut dan menempatkannya sebagai objek penelitian baru kesampaian pada 2005. Saat itu, dia sudah menyandang gelar profesor dan mendapat beasiswa untuk meneliti dangdut. Sebagai seorang profesor, Andrew tak lagi harus terkungkung pada batas-batas musikologi yang memilah musik tradisi dan pop.

Tanpa buang waktu, Andrew terbang ke Indonesia setelah menerima beasiswa dari pemerintah AS untuk mewujudkan cita-cita lamanya.
Selama enam bulan Andrew menghabiskan waktunya di Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya menghasilkan sebuah penelitian dan buku tentang dangdut. Pada awal penelitiannya, Andrew mengakui sama sekali tidak mudah untuk menjangkau sumber-sumber dangdut. Minimnya referensi tertulis tentang dangdut dan akses kepada para pelaku musik dangdut sebagai narasumber penelitian menjadi hambatannya. “Tidak mudah untuk bisa menemui dan melakukan wawancara dengan para pemusik dangdut. Harus ada yang mengantarkan,” tutur Andrew.

Namun, kesulitan menjangkau narasumber untuk wawancara itu kemudian bisa teratasi secara perlahan. Pemusik dangdut seperti Rhoma Irama, A. Rafiq, Camelia Malik, hingga Munif Bahasuan dia temui untuk interview mendalam. Andrew juga melakukan wawancara dengan para insan media seperti Ishadi SK yang dia anggap berperan membawa dangdut dekat dengan media masa, khususnya televisi.

Kesulitan mendapat narasumber dari pelaku dangdut tidak lantas diikuti dengan kemudahan mendapatkan referensi tertulis tentang dangdut. Andrew harus melakukan perjalanan hingga negeri Belanda untuk mendapatkan data-data tertulis tentang dangdut dan segala macam pernik di sekitarnya.
Tentang gegap gempita dangdut yang terekam dalam pemberitaan media justru diperoleh Andrew di Belanda. Di Indonesia, sumber tertulis semacam itu termasuk langka. Jerih payah Andrew mencari sumber-sumber tersebut terbayar dengan buku yang dia hasilkan. Buku tersebut tidak hanya melulu berisi tentang dangdut sebagai musik.

“Saya menulis buku tentang dangdut agar bisa dibaca para mahasiswa, peneliti lain, dan siapa saja yang hendak meneliti musik, antropologi, dan studi-studi Asia Tenggara,” sambung Andrew.

Isi buku Andrew memang lintas disiplin. Sebagai sebuah buku tentang musik, jelas Andrew menuliskannya dengan komperehensif. Sebagai buku tentang fenomena sosial kaum urban Indonesia, buku Andrew juga pantas diandalkan.

Menurutnya, dangdut memang bukan sekadar musik. Apa yang tertulis dalam syair dangdut adalah cerminan realitas sosial yang ada saat lagu itu tercipta. Tentang susahnya hidup jadi gelandangan atau bebas merdekanya seorang bujangan hingga derita dan bahagia cinta ada dalam dangdut. Semuanya disampaikan dengan rasa dangdut yang khas hingga membuat pendengarnya tetap bergoyang walau lirik lagunya sedih merintih-rintih.
Bagi Andrew, dangdut di Indonesia memiliki keunikan-keunikan yang tidak dimiliki oleh musik lain di tanah air. Kedekatan Andrew dengan dangdut tidak hanya berhenti pada buku. Pada 2007 lalu, dia membentuk sebuah grup dangdut di Pittsburgh. Grup dangdut itu diberi nama Dangdut Cowboys. Seperti apa? (bersambung)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/