oleh: Iwan Niswanto, Analis Kebijakan, Kementerian Koordiantor Bidang Perekonomian
Amanah Konstitusi pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Salah satu dari komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) harus diselenggarakan berdasarkan asas ekonomi kerakyatan, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat. Dalam melaksanakan ketersediaan BBM, Pemerintah hadir dalam memberikan aksesibilitas energi untuk penyediaan BBM.
Bila kita lihat dalam jangka dua dekade terakhir, penyediaan dan pendistribusian BBM menjadi hal yang krusial sebagai salah satu faktor pertumbuhan ekonomi baik dari konsumsi masyarakat maupun dari government spending. Pengelolaan subsidi BBM menjadikan hal krusial khususnya dalam proses penyusunan APBN setiap tahunnya. Selain sisi keuangan pemerintah, subsidi BBM juga tetap digunakan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Setiap kebijakan pemerintah memang memiliki kelebihan dan kekurangan, pemerintahan mempunyai kebijakan berbeda dalam melaksanakan subsidi BBM hal ini tergantung pada kondisi saat itu baik itu kondisi ekonomi dalam dan luar negeri maupun kondisi geopolitik. Faktor utama dari setiap penentuan kebijakan subsidi tidak lepas dari harga minyak dunia termasuk harga Indonesian Crude Price (ICP) serta kurs rupiah terhadap dolar saat itu.
Sumber: Kemenkeu, 2024 (diolah)
Kebijakan BBM dan besaran subsidi energi masa Kabinet Indonesia Bersatu II 2009-2014
Pada masa ini, Pemerintah memberikan subsidi terhadap Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) yaitu Solar dan Premium dan Minyak Tanah melalui Perpres Nomor 71 tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak, selain itu juga pemerintah memberikan subsidi LPG 3 Kg yang merupakan hasil konversi minyak tanah ke LPG khususnya untuk sektor rumah tangga dan usaha mikro melalui Perpres Nomor 104 tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Penetapan Harga LPG 3 Kg.
Pada awal periode ini subsidi energi mencapai angka 94,6 Triliun di tahun 2009 atau 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan realisasi ICP dia angka 61,6 USD/Barrel dan kurs Rp 10.398, subsidi energi mencapai puncaknya pada tahun 2014 dengan angka mencapai Rp 341,8 Triliun atau 3,7% dari PDB dengan ICP 105,9 USD/Barrel dan kurs Rp 12.440, rerata persentase subsidi terhadap PDB pada tahun 2006-2014 adalah 3,7%. Dengan angka subsidi energi yang besar, pertumbuhan ekonomi pada periode ini juga beberapa kali berhasil menembus angka 6%. Prestasi puncaknya tercatat pada 2007, ketika ekonomi nasional tumbuh 6,35%.
Pengaruh harga minyak dunia dan kurs terhadap harga jual sangat besar, tercatat beberapa penyesuaian harga BBM dilakukan pada periode ini. Hal ini dilakukan untuk menahan beban subsidi yang keseluruhannya berada pada postur APBN. Â Selain penyesuaian harga, beberapa pengendalian penyaluran dan pendistibusian BBM adalah dengan beberapa program diantaranya pelarangan BBM bersubsidi untuk kendaraan pemerintah dan BUMN dan BUMD, pelarangan BBM bersubsidi untuk perkebunan dan pertambangan. Selain itu juga dimulai beberapa inisiasi baru dalam menekan subsdi energi dengan beberapa program energi alternatif diantaranya konvesi BBG sektor transportasi dengan Compress Natural Gas (CNG), Konversi Minyak Tanah dengan LPG 3 kg di sektor rumah tangga dan usaha mikro, pemanfaatan biofuel untuk pencampuran BBM dsb.
Kebijakan BBM dan besaran subsidi energi masa Kabinet Kerja dan Kabinet Indonesia Maju 2014-2024
Pada awal Pemerintahan Kabinet Kerja, kebijakan penyediaan dan pendistribusian BBM dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Perbedaan perpres ini dengan perpres sebelumnya di era Kabinet Indonesia Bersatu adalah adanya reformasi energi salah satunya adalah dengan adanya Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), perbedaan skema subsidi JBT dan JBKP diantaranya adalah penghapusan subsidi untuk JBKP dan dialihkan dengan mekanisme kompensasi, subsidi JBT tertuang langsung pada porsi APBN sedangkan kompensasi ditagihkan langsung oleh Badan Usaha Penugasan kepada Kementerian Keuangan.
Dengan dialihkannya subsidi khususnya Premium menjadi kompensasi di tahun 2015, subsidi energi berkurang dari Rp 341,8 Triliun menjadi Rp 119,1 Triliun, atau secara persentase PDB berkurang dari 3,7% menjadi 1,6%. Periode 2015-2019 harga ICP berfluktuasi dari 96,5 USD/barrel di 2015 cenderung menurun di 2016 pada 40,2 USD/barrel dan sejak 2027 merangkak naik sampai pada angka 62,4 USD/barrel, nilai kurs rupiah terhadap dollar AS juga terus melemah dari Rp 13.795 di 2015 menjadi Rp 14.274 di 2019.
Pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4,8—5,3%. Kondisi tidak normal sempat terjadi pada 2020—2021, saat Indonesia dilanda pandemi Covid-19. Situasi pandemi ketika itu membatasi pergerakan manusia, sehingga pertumbuhan ekonomi nasional jatuh ke angka minus pada 2020, dan baru mulai pulih pada 2021, pada masa pandemi covid pun harga minyak dunia turun sampai mendekati nol bahkan berada pada angka negatif.
Harga minyak dunia di tahun 2021 dan 2022 mulai mengalami kenaikan sejalan dengan pergerakan manusia pasca pandemi covid dan dampak dari perang Rusia-Ukraina, saat itu harga minyak dunia mencapai angka 110 USD/barrel, efek ini membuat Pemerintah pada  September 2022 melakukan penyesuaian harga jual eceran BBM khususnya untuk Biosolar dan Pertalite.
Untuk menekan beban masyarakat rentan, Pemerintah juga mengeluarkan beberapa program sebagai bantalan bagi masyarakat rentan. Beban subsidi dan kompensasi di tahun 2022 meningkat menjadi 632,1 Triliun dari tahun 2021 yang berjumlah 288,8 Triliun, persentase jumlah subsidi dan kompensasi terhadap PDB pun naik dari 1,7% di 2021 menjadi 3,2% di 2022.
Rerata persentase 2022-2023 ada berada pada angka 2,7% lebih kecil bila dibandingkan dengan rerata tahun 2006-2014 yaitu sekitar 3,7% terhadap PDB. Meskipun lebih kecil dari tahun 2006-2014, tren subsidi dan kompensasi setelah pandemi terus mengalami kenaikan baik dari segi jumlah maupun persentase terhadap PDB. Pemerintah senantiasa memberikan subsidi lebih besar, tetapi belum tentu tepat sasaran. Oleh karena itu, di akhir masa kabinet ini pemerintah sedang menyiapkan perubahan regulasi terkait kebijakan BBM salah satunya merevisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
Saran untuk Kebijakan BBM dan skema subsidi kedepan.
Sudah kita ketahui bahwa beberapa program Presiden dan Wakil Presiden terpilih, akan melanjutkan beberapa kebijakan yang telah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Dari beberapa praktik terdahulu, Pemerintahan baru senantiasa merevisi peraturan mengenai kebijakan BBM sebelumnya.
Untuk mengoptimalkan belanja subsidi agar dapat tetap sasaran dan berdampak pada perekonomian, maka pemerintah harus berani untuk meninjau ulang regulasi yang ada diantaranya adalah pengaturan ulang jenis konsumen pengguna BBM baik JBT maupun JBKP khususnya untuk kendaraan pribadi. Selain itu, penyaluran BBM menggunakan aplikasi online untuk memudahkan pemantauan dan pengendalian subsidi. Â untuk itu, PT Pertamina sebagai Badan penyalur BBM subsidi, dapat menyediakan aplikasi yang handal serta user friendly.
Selain pengaturan ulang jenis konsumen dan pengendalian elektronik yang dilakukan oleh Pemerintah dan Badan Usaha, masyarakat juga harus memahami bahwa belanja subsidi BBM harus digunakan secara tepat sasaran, karena diperkirakan sebagian besar subsidi BBM saat ini masih dinikmati oleh rumah tangga mampu dan dunia usaha.
Semoga kedepannya anggaran subsidi BBM dapat disalurkan dengan tepat sasaran dan tepat volume, sehingga anggaran APBN dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap perekonomian nasional dan menjadi shock absorber bagi masyarakat rentan.(rel)