27 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Seperti Naik Angkot

Oleh: Toga MH Siahaan

Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Angkot masih tetap menjadi andalan moda transportasi banyak warga kota Medan. Emak saya belanja ke pusat pasar dan kembali ke rumah, pasti naik angkot. Istri saya bekerja, juga naik angkot. Tetangga saya yang di garasinya ada tiga mobil, atas nama penghematan, pun tak sungkan untuk naik angkot.

Praktis dan murah. Itulah alasan mengapa angkot jadi pilihan penting untuk berpindah tempat. Meski istri saya agak khawatir kalau pulang kerja di malam hari. Katanya, kaca hitam di angkot itu seperti menyembunyikan sesuatu. Takut kalau-kalau kejadian seperti di Pulau Jawa terulanh di sini. Hush… Jauh-jauh lah yang seperti itu. Jawabku.

Okay. Angkot yang murah-meriah itu ternyata masih menyimpan potensi tak baik. Mudah-mudahan hilang semua kemungkinan buruk itu. Pak polisi pun tentu sudah mengantisipasinya.

Yang jadi perhatian saya sebenarnya bukan angkotnya secara fisik. Tetapi, ucapan seorang bakal calon gubernur dalam sebuah talk show di TVRI Sumut beberapa malam lalu. Dia menggambarkan, sistem yang sudah terbangun dan disepakati bersama antara sopir angkot dan penumpangnya patut ditiru. Penumpang cukup melambaikan tangan ke arah angkot yang akan lewat, naik, duduk manis dan turun setelah sampai tujuan. Jangan lupa, bayar ongkos supaya pak sopir punya setroan untuk dibagikan kepada pemilik angkutan dan anak istri di rumah. Praktis bukan?

Sistem seperti ini dijadikan contoh tokoh tersebut dalam menggambarkan mudahnya mengelola potensi ekonomi. Katanya, menarik investor itu gampang. Seperti narik angkot saja. Naik gratis, turun bayar. Setelah semua urusan administrasi calon investor selesai, baru bayar tarif yang wajar, murah sesuai kaidah bisnis yang benar. Jangan pula dipungli sejak di pintu gerbang.

Yang penting, dijaga kondusivitas usaha, investor pasti datang sendiri. Tak perlu ditarik-tarik. Jangan lupa, hilangkan pula potensi-potensi tak baik yang bisa ditimbulkan akibat ketidaktransparanan, layaknya kaca angkot yang hitam dan menimbulkan rasa galau itu.

Hmmm…. Masuk akal. Jadi, masih menurut tokoh itu, tim ekonomi di birokrasi gak usah kerja pun, pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persen, gampang saja diraih. Apalagi kalau birokrat bisa menciptakan iklim usaha sedemikian rupa, sehingga investor serasa jatuh cinta. Seperti gadis rupawan, dipoles tipis saja catiknya membuat banyak pemuda terpikat.

Kalau sudah begini, tinggal pilih busana dan aksesoris yang sesuai. Tak perlu mahal, asal pantas. Jangan pula berlebih, nanti malah norak. Dandan-mendandani inilah tugas birokrat yang sebenarnya. Bagaimana caranya menyediakan insentif dan kemudahan agar pemilik modal itu mau menitipkan uangnya untuk dikelola di provinsi yang kaya sumberdaya
ini.

Bila semua sudah tertata dengan baik, saya yakin, sistem seperti naik taksi pun akan berjalan. Bisa ditelepon, langsung datang menjemput. Buka pintu, langsung pasang tarif. Penumpang dapat layanan eksklusif, antar sampai depan kantor, depan hotel, bahkan sampai ke pintu rumah sekali pun. Orang tentu mau bayar tarif argo lebih mahal dari ongkos angkot. Bayarnya tetap, setelah sampai tujuan.

Investor yang bakal tertarik, harapannya, bukan pemodal pas-pasan, yang punya kemampuan ekonomi sekadar. Sama seperti penumpang yang rela bayar lebih mahal demi sebuah kenyamanan.

Di atas semuanya itu, tentu saja perlu dipikirkan pemerataan. Buat apa pertumbuhan ekonomi tinggi kalau cuma dinikmati segelintir orang. Supaya tidak menimbulkan kesenjangan yang mencolok, kue ekonomi yang besar itu perlu dinikmati masyarakat luas. Tidak mesti dibagi rata, sesuaikan saja dengan porsi masing-masing. Istilahnya bersikap adil: menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kalau ada kutipan dari pajak, misalnya, manfaatkan untuk sebaik-baiibiaya pembangunan. Bukan melulu masuk dompet pribadi dan atau golongan. Kondisi lapangan tetap harus dijaga, agar aksi masyarakat yang merasa diabaikan, bisa ditiadakan. Semoga saja.(*)

Oleh: Toga MH Siahaan

Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Angkot masih tetap menjadi andalan moda transportasi banyak warga kota Medan. Emak saya belanja ke pusat pasar dan kembali ke rumah, pasti naik angkot. Istri saya bekerja, juga naik angkot. Tetangga saya yang di garasinya ada tiga mobil, atas nama penghematan, pun tak sungkan untuk naik angkot.

Praktis dan murah. Itulah alasan mengapa angkot jadi pilihan penting untuk berpindah tempat. Meski istri saya agak khawatir kalau pulang kerja di malam hari. Katanya, kaca hitam di angkot itu seperti menyembunyikan sesuatu. Takut kalau-kalau kejadian seperti di Pulau Jawa terulanh di sini. Hush… Jauh-jauh lah yang seperti itu. Jawabku.

Okay. Angkot yang murah-meriah itu ternyata masih menyimpan potensi tak baik. Mudah-mudahan hilang semua kemungkinan buruk itu. Pak polisi pun tentu sudah mengantisipasinya.

Yang jadi perhatian saya sebenarnya bukan angkotnya secara fisik. Tetapi, ucapan seorang bakal calon gubernur dalam sebuah talk show di TVRI Sumut beberapa malam lalu. Dia menggambarkan, sistem yang sudah terbangun dan disepakati bersama antara sopir angkot dan penumpangnya patut ditiru. Penumpang cukup melambaikan tangan ke arah angkot yang akan lewat, naik, duduk manis dan turun setelah sampai tujuan. Jangan lupa, bayar ongkos supaya pak sopir punya setroan untuk dibagikan kepada pemilik angkutan dan anak istri di rumah. Praktis bukan?

Sistem seperti ini dijadikan contoh tokoh tersebut dalam menggambarkan mudahnya mengelola potensi ekonomi. Katanya, menarik investor itu gampang. Seperti narik angkot saja. Naik gratis, turun bayar. Setelah semua urusan administrasi calon investor selesai, baru bayar tarif yang wajar, murah sesuai kaidah bisnis yang benar. Jangan pula dipungli sejak di pintu gerbang.

Yang penting, dijaga kondusivitas usaha, investor pasti datang sendiri. Tak perlu ditarik-tarik. Jangan lupa, hilangkan pula potensi-potensi tak baik yang bisa ditimbulkan akibat ketidaktransparanan, layaknya kaca angkot yang hitam dan menimbulkan rasa galau itu.

Hmmm…. Masuk akal. Jadi, masih menurut tokoh itu, tim ekonomi di birokrasi gak usah kerja pun, pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persen, gampang saja diraih. Apalagi kalau birokrat bisa menciptakan iklim usaha sedemikian rupa, sehingga investor serasa jatuh cinta. Seperti gadis rupawan, dipoles tipis saja catiknya membuat banyak pemuda terpikat.

Kalau sudah begini, tinggal pilih busana dan aksesoris yang sesuai. Tak perlu mahal, asal pantas. Jangan pula berlebih, nanti malah norak. Dandan-mendandani inilah tugas birokrat yang sebenarnya. Bagaimana caranya menyediakan insentif dan kemudahan agar pemilik modal itu mau menitipkan uangnya untuk dikelola di provinsi yang kaya sumberdaya
ini.

Bila semua sudah tertata dengan baik, saya yakin, sistem seperti naik taksi pun akan berjalan. Bisa ditelepon, langsung datang menjemput. Buka pintu, langsung pasang tarif. Penumpang dapat layanan eksklusif, antar sampai depan kantor, depan hotel, bahkan sampai ke pintu rumah sekali pun. Orang tentu mau bayar tarif argo lebih mahal dari ongkos angkot. Bayarnya tetap, setelah sampai tujuan.

Investor yang bakal tertarik, harapannya, bukan pemodal pas-pasan, yang punya kemampuan ekonomi sekadar. Sama seperti penumpang yang rela bayar lebih mahal demi sebuah kenyamanan.

Di atas semuanya itu, tentu saja perlu dipikirkan pemerataan. Buat apa pertumbuhan ekonomi tinggi kalau cuma dinikmati segelintir orang. Supaya tidak menimbulkan kesenjangan yang mencolok, kue ekonomi yang besar itu perlu dinikmati masyarakat luas. Tidak mesti dibagi rata, sesuaikan saja dengan porsi masing-masing. Istilahnya bersikap adil: menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kalau ada kutipan dari pajak, misalnya, manfaatkan untuk sebaik-baiibiaya pembangunan. Bukan melulu masuk dompet pribadi dan atau golongan. Kondisi lapangan tetap harus dijaga, agar aksi masyarakat yang merasa diabaikan, bisa ditiadakan. Semoga saja.(*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/