Bank Indonesia telah menerbitkan kebijakan baru terkait dengan kredit kepemilikan. Kebijakan tersebut mengatur down payment (DP) kepemilikan kendaraan bermotor dan properti tipe 70 ke atas sebesar 30 persen. Kebijakan itu untuk pengamanan bank, karena setiap bulannya permintaan untuk kreditn
kendaraan bermotor dan perumahan terus meningkat. Berikut wawancara wartawan Sumut Pos, Juli Ramadhani Rambe dengan praktisi ekonomi, M Ishak.
Apa pendapat Anda soal kebijakan ini?
Kredit konsumsi untuk properti mungkin turun, tapi pihak BI harus ingat bahwa kredit untuk konsumsi itu tidak hanya di sektor properti saja. Jadi, bukan kreditnya yang diperhatikan tapi aspek perilaku masyarakat yang masih konsumtif. Nah, semestinya fokusnya ke aspek perilaku itu. Tapi aku yakin, kebijakan ini bukan terletak pada masalah penurunan kredit konsumsi, tetapi lebih pada penurunan pola urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota) dimana kita ketahui bahwa orang-orang desa yang punya banyak uang (terutama dari hasil penjualan lahannya dan hsail perkebunannya) cenderung untuk beli rumah di kota. Akibatnya, kota semakin padat dan desa semakin tak dihuni. Kalo kondisi seperti ini dibiarkan, maka pembangunan secara nasional cenderung gagal. Sebab, selain tidak ada orang di desa, lahan-lahan pertanian pun mulai beralih fungsi menjadi lahan pabrik dan lain-lain.
Apakah kebijakan ini bisa menurunkan harga?
Secara keseluruhan tidak bisa. Sebab, konsumen akan membeli dalam kondisi persyaratan yang sesuai dengan kebijakan tersebut, itu berarti konsumen yang benar-benar punya uang atau ada sedikit uang tetapi tingkat kebutuhannya mendesak. Jadi, kebijakan itu, lebih bersifat mengerem pola konsumsi masyarakat di bidang perumahan atau pemerintah mencoba mengalihkan pola konsumsi dari perumahan ke bentuk lainnya.
Apa dampak kebijakan ini pada masyarakat?
Masyarakat kecil tak berdampak. Nah, masyarakat menengah dampaknya menjadi penuh ketidakpastian. Mau beli rumah atau nutupi kebituhan lainnya dulu. Sebab mereka punya yang terbatas (berada di tengah-tengah). Dampak yang paling terasa ada di masyarakat sebagai pegembang dan masyarakat yang ingin memiliki rumah yang berlebih (biasanya para pengusaha). Mereka itu pingin punya rumah lebih dari satu tetapi tidak mau kalau dana yang mereka miliki tidak produktif. Kalo beli rumah dengan syarat seperti yang ditetapkan BI, maka mereka harus menambah uang mereka yang tidak produktif. Ini yang merugikan mereka.
Bagaimana masyarakat kecil memandangnya?
Secara umum tidak tidak masalah. Masyarakat kecil itu cenderung untuk memilih kontrakan dibanding membeli. Sebab, kebutuhan mereka itu banyak yang terwujud karena penghasilan yang sangat terbatas. Jadi masyarakat bawah ini memandang untuk memiliki rumah masih merupakan sesuatu yang mewah. Apalagi kebijakan itu diberlakukan seiring dengan dimulainya masuk sekolah tahun ajaran baru. (*)