25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Korban Konflik Lahan Labuhanbatu Ngadu ke Setwapres

KPA Desak Poldasu Ubah Model Penanganan

JAKARTA-Merasa percuma jika mengadu ke polisi setempat, sebanyak 10 warga petani korban konflik lahan di Labuhanbatu, Sumut, langsung mengadukan nasibnya ke Kantor Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) di Jakarta.

Didampingi LSM Lentera, warga yang berkonflik dengan PT Smart itu juga lapor ke Komnas HAM dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Para korban ini juga sempat mampir ke Sekretariat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) untuk mengadukan nasibnya, pada Rabu (6/6) lalun
Menurut Deputi Sekjen KPA, Iwan Nurdin, para korban ini mengaku diperlakukan semena-mena oleh aparat kepolisian. “Beberapa orang ditangkap dan satu ditembak. Ini sangat rumit. Mereka minta KPA mengadvokasi,” ujar Iwan kepada Sumut Pos, kemarin.

Pendamping warga dari LSM Lentera Medan, Saurli, seperti diberitakan KBR68H, menjelaskan, tujuh warga yang ditahan polisi belum bisa ditemui. Dikatakan, situasi di lapangan tegang karena banyak buldozer masuk ke lahan konflik.

Konflik antara perusahaan sawit tersebut dengan warga sudah terjadi bertahun-tahun. Berawal dari penggusuran warga dari lahan yang mereka miliki secara sah oleh perusahaan di sekitar tahun 1969. Pasca reformasi 1998, masyarakat berupaya meminta kembali lahan mereka namun tidak pernah mendapat respon dari pemerintah.

Iwan Nurdin mengatakan, sikap keras aparat kepolisian kepada petani dalam kasus di Labuhanbatu ini menunjukkan aparat kepolisian memang lebih berpihak ke perusahaan, dibanding kepada warga yang menjadi korban.

Sikap polisi yang seperti itu sangat berbahaya, karena bisa memancing aksi amuk massa petani, seperti yang terjadi di Kutalimbaru beberapa hari lalu. “Konflik bisa makin pelik, bukan sekedar bakar truk,” kata Iwan.

Dia menyebut, konflik lahan terbaru yang masuk pengaduannya ke KPA adalah konflik lahan antara warga Desa Hutabalang, Kecamatam Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, berhadapan dengan PT AEP, yang dulunya bernama PT Cahaya Pelita Andika.

“Di sana tanah warga diserobot, warga lapor polisi, tapi malah ditangkap, termasuk Ketua Forum Pembela Tanah Rakyat, Adianto Simatupang,” ungkap Iwan.

KPA mendesak Kapoldasu Irjen (Pol) Wisjnu Amat Sastro untuk mengevaluasi kinerja jajarannya dan mengubah pola penanganan konflik tanah. Dikatakan Iwan, konflik tanah merupakan persoalan perdata. Jika aparat kepolisian bertindak semena-mena, maka konflik bakal makin tajam.
Kepolisian diminta untuk mengacu pola penanganan sebagaimana sudah tertuang dalam MoU antara kepolisian dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2007. “Yakni model penanganan dengan mengedepankan mediasi,” ujar Iwan Nurdin. (sam)

KPA Desak Poldasu Ubah Model Penanganan

JAKARTA-Merasa percuma jika mengadu ke polisi setempat, sebanyak 10 warga petani korban konflik lahan di Labuhanbatu, Sumut, langsung mengadukan nasibnya ke Kantor Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) di Jakarta.

Didampingi LSM Lentera, warga yang berkonflik dengan PT Smart itu juga lapor ke Komnas HAM dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Para korban ini juga sempat mampir ke Sekretariat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) untuk mengadukan nasibnya, pada Rabu (6/6) lalun
Menurut Deputi Sekjen KPA, Iwan Nurdin, para korban ini mengaku diperlakukan semena-mena oleh aparat kepolisian. “Beberapa orang ditangkap dan satu ditembak. Ini sangat rumit. Mereka minta KPA mengadvokasi,” ujar Iwan kepada Sumut Pos, kemarin.

Pendamping warga dari LSM Lentera Medan, Saurli, seperti diberitakan KBR68H, menjelaskan, tujuh warga yang ditahan polisi belum bisa ditemui. Dikatakan, situasi di lapangan tegang karena banyak buldozer masuk ke lahan konflik.

Konflik antara perusahaan sawit tersebut dengan warga sudah terjadi bertahun-tahun. Berawal dari penggusuran warga dari lahan yang mereka miliki secara sah oleh perusahaan di sekitar tahun 1969. Pasca reformasi 1998, masyarakat berupaya meminta kembali lahan mereka namun tidak pernah mendapat respon dari pemerintah.

Iwan Nurdin mengatakan, sikap keras aparat kepolisian kepada petani dalam kasus di Labuhanbatu ini menunjukkan aparat kepolisian memang lebih berpihak ke perusahaan, dibanding kepada warga yang menjadi korban.

Sikap polisi yang seperti itu sangat berbahaya, karena bisa memancing aksi amuk massa petani, seperti yang terjadi di Kutalimbaru beberapa hari lalu. “Konflik bisa makin pelik, bukan sekedar bakar truk,” kata Iwan.

Dia menyebut, konflik lahan terbaru yang masuk pengaduannya ke KPA adalah konflik lahan antara warga Desa Hutabalang, Kecamatam Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, berhadapan dengan PT AEP, yang dulunya bernama PT Cahaya Pelita Andika.

“Di sana tanah warga diserobot, warga lapor polisi, tapi malah ditangkap, termasuk Ketua Forum Pembela Tanah Rakyat, Adianto Simatupang,” ungkap Iwan.

KPA mendesak Kapoldasu Irjen (Pol) Wisjnu Amat Sastro untuk mengevaluasi kinerja jajarannya dan mengubah pola penanganan konflik tanah. Dikatakan Iwan, konflik tanah merupakan persoalan perdata. Jika aparat kepolisian bertindak semena-mena, maka konflik bakal makin tajam.
Kepolisian diminta untuk mengacu pola penanganan sebagaimana sudah tertuang dalam MoU antara kepolisian dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2007. “Yakni model penanganan dengan mengedepankan mediasi,” ujar Iwan Nurdin. (sam)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/