MEDAN – Ekstrak sambiloto diakui bisa mengobati penyakit malaria dan meningkatkan daya tahan tubuh. Hal ini dibuktikan lewat penelitian dan disertasi yang dilakukan Dr dr Umar Zein DTM&H SpPD KPTI tentang penggunaan ekstrak sambiloto (andrographis paniculata).
“Hasil penelitian yang saya lakukan, ekstrak sambiloto itu bisa dijadikan obat untuk penyakit malaria. Malah tidak hanya sebagai obat, sambiloto itu juga bisa meningkatkan daya tahan tubuh,” ungkap Umar Zein di Medan, Rabu (6/6).
Hasil penelitiannya itu juga bilang Umar, sudah dipatenkan ke Dirjen HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) dengan nomor HKI.3 HI.05.01.02.2044.
“Kita sudah lakukan penelitian. Kita berharap, penelitian ini bisa dikembangkan perusahaan farmasi agar bisa diproduksi skala besar. Kalau berhasil, maka Indonesia sangat terbantu. Karena tidak perlu mengimpor obat dan meningkatkan nilai ekonomis di masyarakat,” jelas Umar.
Sejauh ini bilang Umar, kasus malaria di Indonesia masih belum ditangani dengan baik. Terbukti, kasusnya tetap tinggi tiap tahun. Diperkirakan penyakit ini bisa membunuh 30 ribu orang dan menyebabkan 10-12 juta orang jatuh sakit tiap tahun.
“Sejak dari zaman penjajahan Belanda hingga saat ini, wilayah endemis malaria di Indonesia masih belum bisa dibebaskan dari penyakit itu,” katanya.
Indonesia sendiri lanjutnya, estimasi malaria ada 1,96 per 10 ribu penduduk. Pada 2011, setidaknya ada 1,8 juta kasus malaria klinis yang mendapat pengobatan.
“Belum lagi mereka yang tidak dapat pengobatan,” ungkapnya.
Provinsi Sumatera Utara sendiri, sebut Konsultan Penyakit Tropik Indonesia ini, pada 2009 ada 102.446 kasus malaria yang diobati.
Fakta lain, lanjutnya, anak-anak yang selamat dari malaria akut dapat mengalami gangguan belajar, anemia, dan gangguan tumbuh kembang. Bagi ibu hamil, malaria bisa menginfeksi janin. Akibatnya, bayi berisiko terpapar anemia dan berat badan lahir rendah (BBLR).
“Artinya, 50 persen populasi rawan terinfeksi malaria, terutama pedesaan dan wilayah masyarakat miskin. Secara global, penyakit ini merupakan salah satu faktor utama penyebab kemiskinan. Karena, banyaknya penderita, akan menurunkan produktivitas kerja,” sebutnya.
Tingginya kasus malaria, tambah Umar, tidak berbanding lurus dengan manajemen penanggulangan dan pengobatan. Dari sisi pengobatan konvensional yang menggunakan obat kloropin, sulpadokdsin-pirimetamin, kina ternyata sudah resisten bagi parasit malaria.
“Obat yang direkomendasikan WHO saat ini ACT (artemisin combination therapy) yang berasal dari China. Kita menggunakannya sejak 2006. Tetapi, distribusinya masih belum merata. Padahal, ada bantuan asing dari Global Fund bidang malaria,” sebut Umar lagi.
Karenanya, sambungnya, sudah sepantasnya Indonesia memproduksi sendiri obat malaria dari bahan baku yang ada di negeri ini yakni ekstrak sambiloto. (uma)