26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Endang, Please Join Us!

Jogja Endang Club (JEC), Komunitas Perempuan Bernama Endang

Di Jogjakarta, 571 orang bernama Endang berkumpul membentuk sebuah klub. Tak mau hanya besar di Jogja, mereka berancang-ancang membentuk Indonesia Endang Club.

DOAN WIDHIANDONO, Sleman

SETIAP tanggal 9 para Endang berkumpul di kediaman Endang Syahbenol, penggagas Jogja Endang Club (JEC), di Kompleks Colombo, Catur Tunggal, Sleman, Jogjakarta.

Rumah itu asri. Ruang tamu juga menyiratkan cita rasa seni pemiliknya. Di salah satu sudut ada jam besar merek Junghans. Jam buatan Jerman itu berdentang lembut setiap seperempat jam. Sejumlah pernik-pernik bernuansa Semar juga tersebar. Ada yang berupa wayang kulit, relief perak, hingga batik bergambar Semar. Sebentuk songsong (payung) susun tiga berdiri di antara tempat duduk yang diatur melingkar mengelilingi ruangan.

“Ruangan ini sengaja saya tata begini. Kalau ada pertemuan, tinggal duduk di tengah. Lesehan,” kata Endang Syahbenol.

Pagi itu, Kamis (7/6) lalu, istri Syahbenol Hasibuan, mantan kepala Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Perdagangan Koperasi Pertambangan dan Energi (Kakanwil Deperindagkoptamben) DIJ, itu mengenakan seragam batik JEC. Warnanya cokelat tua, motifnya kawung prabu. Ada motif-motif bunga besar yang ditata membentuk pola lingkaran-bujur sangkar. Sangat khas Jogja.

“Nanti, kalau terbentuk Indonesia Endang Club, seragamnya bukan ini. Tetap batik, tapi motifnya lebih menasional,” ungkap Endang Syahbenol.
JEC memang ingin lebih menasional. Setelah berhasil mengumpulkan tak kurang dari 571 orang bernama Endang di Jogja, komunitas itu melebarkan sayap ke Semarang. Ada sekitar 200 Endang yang membentuk komunitas di ibu kota Jawa Tengah tersebut.

“Dari Jogja ikut datang meresmikan. Kami berangkat nyewa dua bus,” ujar pensiunan wakil kepala SMAN 9 Jogjakarta itu.

JEC memang lahir dari pemikiran Endang Syahbenol yang merasa bahwa nama Endang sangat berjibun. Menurut dia, Endang itu nama yang populer, tapi bukan pasaran. “Populer dan pasaran itu beda, lho ya,” kata perempuan kelahiran 17 Agustus yang merahasiakan tahun lahirnya itu.

Endang Syahbenol yang lahir di Jogjakarta lama tinggal di Jakarta. Baru pada 1998 dia kembali tinggal di kota kelahirannya itu setelah merantau di ibu kota sekitar 20 tahun. Nah, di Kota Gudeg itulah dia sangat merasakan bahwa begitu banyak orang yang bernama Endang. Misalnya, saat memimpin rapat Dharma Wanita Deperindagkoptamben DIJ, ada begitu banyak anggota yang bernama Endang, atau setidaknya mengandung Endang.
Endang Syahbenol lalu berinisiatif mengumpulkan para Endang itu. “Awalnya ya iseng saja,” katanya.

Dia mengirimkan surat pembaca ke salah satu media lokal di Jogjakarta. Judulnya: Endang, please join us! Itu dilakukan pada 2004.
Eh, surat itu cespleng. Tiba-tiba ada sekitar 60 perempuan plus dua laki-laki yang datang ke rumah Endang Syahbenol. “Saya jadi geli sendiri. Endang-Endang pada kumpul. Lha, paling tidak kita bisa tertawa meski belum bisa berbuat sesuatu,” ujar ibu tiga anak itu saat menyambut para Endang tersebut.
Tapi, tak seluruh Endang yang datang diterima menjadi anggota. Dua laki-laki yang datang ditolak. Nama para pria itu memang Endang, namun dengan lafal huruf ‘e’ seperti pada kata ‘pedang’. Khas Sunda. Sedangkan Endang yang diundang adalah Endang perempuan dengan lafal ‘e’-nya seperti kata ‘tempe’ (ala Jateng-Jogja) atau ‘bebek’ (ala Jatim).

Setelah berkumpul, para Endang itu menyepakati terbentuknya sebuah klub. Hari jadi klub itu dipaskan 17 Agustus seperti tanggal kelahiran Endang Syahbenol. Sejak 2004, jumlah anggota JEC kian banyak. Pada 2008, misalnya, JEC tercatat di rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) dengan jumlah Endang sebanyak 320 orang. Endang Syahbenol sendiri juga dicatat di Muri sebagai penggagas komunitas unik itu.

Lalu, bagaimana para Endang itu saling memanggil nama saat berkomunikasi? Ternyata masing-masing memilih nama panggilan sendiri. Ada yang menggabungkan dengan profesi, misalnya Endang Notaris atau Endang Penjahit. Ada yang memakai daerah asal. Misalnya, Endang Cebongan yang berasal dari Kampung Cebongan, Jogjakarta.

“Ini lucu. Lha kalau cebongnya segede itu, kodoknya seberapa?” kata Endang Syahbenol, lantas terkekeh.

Para Endang itu pun tak sekadar berhaha-hihi dalam komunitas tersebut. Mereka berusaha saling berbagi dan saling menguntungkan. Kartu tanda anggota (KTA) kelompok itu, misalnya, menjadi kartu diskon para Endang. Misalnya, salah satu Endang ingin menjahitkan baju ke Endang Penjahit. Dengan kartu anggota, bisa jadi ongkos jasa jahitnya dikorting.

“Saya kalau periksa ke dokter gigi Endang juga gratis. Sepanjang tidak ada tindakan medis tertentu,” ungkap Endang Syahbenol yang mengaku berusia di atas 60 tahun itu.

Lebih dari itu, JEC juga berupaya membuat kehadiran mereka bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Misalnya, dalam hal lingkungan hidup. Untuk mengurangi sampah plastik, mereka membagi-bagikan tas dari kain blacu. Tentu, tas dengan hiasan bordiran JEC itu dijahit di Endang Penjahit. Tas-tas blacu itu juga dibagi-bagikan bersamaan dengan anggota JEC menyalurkan zakat mal. Itu sudah berlangsung lebih dari lima kali.

Selain itu, mereka memberikan bantuan pengobatan kepada orang-orang bernama Endang yang sakit. Kalau di surat kabar ada berita tentang orang bernama Endang sedang terbaring sakit, anggota JEC langsung turun tangan membantu.

Nah, untuk melestarikan nama Endang, mereka membiayai orang tidak mampu yang melahirkan. Syaratnya, kalau anak yang lahir perempuan, namanya harus mengandung unsur Endang. “Saya punya tukang. Anaknya kami beri nama Risa Endang Juliati. Bagus, to,” katanya.

Endang Syahbenol menuturkan, nama Endang berkesan sangat ‘tante-tante’. Kini sudah jarang anak muda yang bernama Endang. Bahkan, bisa jadi nama Endang tak banyak dicantumkan dalam buku-buku daftar nama bayi yang banyak beredar di toko buku. Kalaupun ada, besar kemungkinan nama Endang tak bakal dipilih.

Padahal, Endang adalah nama yang mengandung makna indah. Di jagat pewayangan, Endang selalu dipakai untuk nama putri seorang pertapa atau resi. Perempuan bernama Endang selalu digambarkan sebagai orang yang jujur, santun, kelakuannya baik, dan suka menolong.
“Eh, ada lho, anggota yang setelah tahu makna Endang itu jadi berubah sifatnya. Jadi lebih baik,” kata Endang Syahbenol.

Sifat-sifat Endang itu juga diejawantahkan dalam setiap pertemuan JEC. Pertemuan itu bersahaja, dengan hidangan-hidangan khas semacam ketela, ubi, hingga buah-buah lokal.

“Saya pernah sangat nelangsa. Saya lihat orang jual buah. Yang laris malah buah impor. Sedangkan apel Malang-nya pada busuk semua. Kasihan betul,” ujarnya. Karena itu, kecintaan terhadap produk-produk lokal selalu ditekankan kepada setiap anggota JEC.

Kalau di kisah pewayangan, anak pertapa selalu punya nama khas. Yang perempuan Endang, yang laki-laki Bambang. Lalu, sudahkah terbentuk Bambang Club? “Wah, kalau itu belum. Tapi, kami pernah didatangi orang bernama Joko. Dia disuruh atasannya yang juga bernama Joko. Dia ingin tanya cara membentuk klub Joko. Hahaha,” cerita Endang Syahbenol.

Nah, kalau para Endang sudah membentuk klub yang sedemikian besar, bisa jadi lama-kelamaan para Bambang juga ikut bersatu. Kalau itu terjadi, pasti terbentuk suatu komunitas yang endaang bambaaang…. (*)

Jogja Endang Club (JEC), Komunitas Perempuan Bernama Endang

Di Jogjakarta, 571 orang bernama Endang berkumpul membentuk sebuah klub. Tak mau hanya besar di Jogja, mereka berancang-ancang membentuk Indonesia Endang Club.

DOAN WIDHIANDONO, Sleman

SETIAP tanggal 9 para Endang berkumpul di kediaman Endang Syahbenol, penggagas Jogja Endang Club (JEC), di Kompleks Colombo, Catur Tunggal, Sleman, Jogjakarta.

Rumah itu asri. Ruang tamu juga menyiratkan cita rasa seni pemiliknya. Di salah satu sudut ada jam besar merek Junghans. Jam buatan Jerman itu berdentang lembut setiap seperempat jam. Sejumlah pernik-pernik bernuansa Semar juga tersebar. Ada yang berupa wayang kulit, relief perak, hingga batik bergambar Semar. Sebentuk songsong (payung) susun tiga berdiri di antara tempat duduk yang diatur melingkar mengelilingi ruangan.

“Ruangan ini sengaja saya tata begini. Kalau ada pertemuan, tinggal duduk di tengah. Lesehan,” kata Endang Syahbenol.

Pagi itu, Kamis (7/6) lalu, istri Syahbenol Hasibuan, mantan kepala Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Perdagangan Koperasi Pertambangan dan Energi (Kakanwil Deperindagkoptamben) DIJ, itu mengenakan seragam batik JEC. Warnanya cokelat tua, motifnya kawung prabu. Ada motif-motif bunga besar yang ditata membentuk pola lingkaran-bujur sangkar. Sangat khas Jogja.

“Nanti, kalau terbentuk Indonesia Endang Club, seragamnya bukan ini. Tetap batik, tapi motifnya lebih menasional,” ungkap Endang Syahbenol.
JEC memang ingin lebih menasional. Setelah berhasil mengumpulkan tak kurang dari 571 orang bernama Endang di Jogja, komunitas itu melebarkan sayap ke Semarang. Ada sekitar 200 Endang yang membentuk komunitas di ibu kota Jawa Tengah tersebut.

“Dari Jogja ikut datang meresmikan. Kami berangkat nyewa dua bus,” ujar pensiunan wakil kepala SMAN 9 Jogjakarta itu.

JEC memang lahir dari pemikiran Endang Syahbenol yang merasa bahwa nama Endang sangat berjibun. Menurut dia, Endang itu nama yang populer, tapi bukan pasaran. “Populer dan pasaran itu beda, lho ya,” kata perempuan kelahiran 17 Agustus yang merahasiakan tahun lahirnya itu.

Endang Syahbenol yang lahir di Jogjakarta lama tinggal di Jakarta. Baru pada 1998 dia kembali tinggal di kota kelahirannya itu setelah merantau di ibu kota sekitar 20 tahun. Nah, di Kota Gudeg itulah dia sangat merasakan bahwa begitu banyak orang yang bernama Endang. Misalnya, saat memimpin rapat Dharma Wanita Deperindagkoptamben DIJ, ada begitu banyak anggota yang bernama Endang, atau setidaknya mengandung Endang.
Endang Syahbenol lalu berinisiatif mengumpulkan para Endang itu. “Awalnya ya iseng saja,” katanya.

Dia mengirimkan surat pembaca ke salah satu media lokal di Jogjakarta. Judulnya: Endang, please join us! Itu dilakukan pada 2004.
Eh, surat itu cespleng. Tiba-tiba ada sekitar 60 perempuan plus dua laki-laki yang datang ke rumah Endang Syahbenol. “Saya jadi geli sendiri. Endang-Endang pada kumpul. Lha, paling tidak kita bisa tertawa meski belum bisa berbuat sesuatu,” ujar ibu tiga anak itu saat menyambut para Endang tersebut.
Tapi, tak seluruh Endang yang datang diterima menjadi anggota. Dua laki-laki yang datang ditolak. Nama para pria itu memang Endang, namun dengan lafal huruf ‘e’ seperti pada kata ‘pedang’. Khas Sunda. Sedangkan Endang yang diundang adalah Endang perempuan dengan lafal ‘e’-nya seperti kata ‘tempe’ (ala Jateng-Jogja) atau ‘bebek’ (ala Jatim).

Setelah berkumpul, para Endang itu menyepakati terbentuknya sebuah klub. Hari jadi klub itu dipaskan 17 Agustus seperti tanggal kelahiran Endang Syahbenol. Sejak 2004, jumlah anggota JEC kian banyak. Pada 2008, misalnya, JEC tercatat di rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) dengan jumlah Endang sebanyak 320 orang. Endang Syahbenol sendiri juga dicatat di Muri sebagai penggagas komunitas unik itu.

Lalu, bagaimana para Endang itu saling memanggil nama saat berkomunikasi? Ternyata masing-masing memilih nama panggilan sendiri. Ada yang menggabungkan dengan profesi, misalnya Endang Notaris atau Endang Penjahit. Ada yang memakai daerah asal. Misalnya, Endang Cebongan yang berasal dari Kampung Cebongan, Jogjakarta.

“Ini lucu. Lha kalau cebongnya segede itu, kodoknya seberapa?” kata Endang Syahbenol, lantas terkekeh.

Para Endang itu pun tak sekadar berhaha-hihi dalam komunitas tersebut. Mereka berusaha saling berbagi dan saling menguntungkan. Kartu tanda anggota (KTA) kelompok itu, misalnya, menjadi kartu diskon para Endang. Misalnya, salah satu Endang ingin menjahitkan baju ke Endang Penjahit. Dengan kartu anggota, bisa jadi ongkos jasa jahitnya dikorting.

“Saya kalau periksa ke dokter gigi Endang juga gratis. Sepanjang tidak ada tindakan medis tertentu,” ungkap Endang Syahbenol yang mengaku berusia di atas 60 tahun itu.

Lebih dari itu, JEC juga berupaya membuat kehadiran mereka bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Misalnya, dalam hal lingkungan hidup. Untuk mengurangi sampah plastik, mereka membagi-bagikan tas dari kain blacu. Tentu, tas dengan hiasan bordiran JEC itu dijahit di Endang Penjahit. Tas-tas blacu itu juga dibagi-bagikan bersamaan dengan anggota JEC menyalurkan zakat mal. Itu sudah berlangsung lebih dari lima kali.

Selain itu, mereka memberikan bantuan pengobatan kepada orang-orang bernama Endang yang sakit. Kalau di surat kabar ada berita tentang orang bernama Endang sedang terbaring sakit, anggota JEC langsung turun tangan membantu.

Nah, untuk melestarikan nama Endang, mereka membiayai orang tidak mampu yang melahirkan. Syaratnya, kalau anak yang lahir perempuan, namanya harus mengandung unsur Endang. “Saya punya tukang. Anaknya kami beri nama Risa Endang Juliati. Bagus, to,” katanya.

Endang Syahbenol menuturkan, nama Endang berkesan sangat ‘tante-tante’. Kini sudah jarang anak muda yang bernama Endang. Bahkan, bisa jadi nama Endang tak banyak dicantumkan dalam buku-buku daftar nama bayi yang banyak beredar di toko buku. Kalaupun ada, besar kemungkinan nama Endang tak bakal dipilih.

Padahal, Endang adalah nama yang mengandung makna indah. Di jagat pewayangan, Endang selalu dipakai untuk nama putri seorang pertapa atau resi. Perempuan bernama Endang selalu digambarkan sebagai orang yang jujur, santun, kelakuannya baik, dan suka menolong.
“Eh, ada lho, anggota yang setelah tahu makna Endang itu jadi berubah sifatnya. Jadi lebih baik,” kata Endang Syahbenol.

Sifat-sifat Endang itu juga diejawantahkan dalam setiap pertemuan JEC. Pertemuan itu bersahaja, dengan hidangan-hidangan khas semacam ketela, ubi, hingga buah-buah lokal.

“Saya pernah sangat nelangsa. Saya lihat orang jual buah. Yang laris malah buah impor. Sedangkan apel Malang-nya pada busuk semua. Kasihan betul,” ujarnya. Karena itu, kecintaan terhadap produk-produk lokal selalu ditekankan kepada setiap anggota JEC.

Kalau di kisah pewayangan, anak pertapa selalu punya nama khas. Yang perempuan Endang, yang laki-laki Bambang. Lalu, sudahkah terbentuk Bambang Club? “Wah, kalau itu belum. Tapi, kami pernah didatangi orang bernama Joko. Dia disuruh atasannya yang juga bernama Joko. Dia ingin tanya cara membentuk klub Joko. Hahaha,” cerita Endang Syahbenol.

Nah, kalau para Endang sudah membentuk klub yang sedemikian besar, bisa jadi lama-kelamaan para Bambang juga ikut bersatu. Kalau itu terjadi, pasti terbentuk suatu komunitas yang endaang bambaaang…. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/