26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Asuransi Karya Capai Rp93 Miliar

Repotnya Memamerkan Lukisan Raden Saleh di Galeri Nasional

Pameran tunggal lukisan Raden Saleh di Galeri Nasional Jakarta pada 3-17 Juni 2012 membutuhkan biaya miliaran rupiah. Pameran pertama setelah kematian sang maestro 132 tahun silam itu dijaga sangat ketat.

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

MATA Werner Krauss selalu berbinar setiap kali memandangi lukisan berukuran 112 x178 cm di tembok berwarna merah di gedung Galeri Nasional. Lukisan itu bercerita tentang tentara Belanda yang menjemput seseorang berjubah putih dan beserban hijau. Tampak kesedihan penduduk yang berusaha menahan sang tokoh agar tidak dibawa penjajah.

Menurut Krauss, sosok yang dilukis Raden Saleh adalah Pangeran Diponegoro, pahlawan nasional kelahiran Jogjakarta yang ditangkap Jenderal De Kock di Magelang, 28 Maret 1830. Lukisan berjudul asli Die Gefangennahme Diepo Negoros atau Penangkapan Diponegoro tersebut dibuat pada 1857, dua tahun setelah wafatnya sang pahlawan di Benteng Rotterdam, Makassar, 8 Januari 1855.

Di sebelah kanan bawah lukisan terdapat sebuah keterangan dalam kertas kecil berbunyi: Koleksi Istana Kepresidenan. “Saya butuh waktu empat bulan untuk bisa mengeluarkan lukisan ini dari istana,” ujar kurator lukisan asal Jerman itu kemarin (14/6).

Sebelum melanjutkan bicara, pria 68 tahun tersebut diam sejenak, memperhatikan lukisan yang memesonanya itu. Terlihat jelas bahwa dia jatuh cinta pada lukisan di atas kanvas dengan cat minyak tersebut. Tangannya diangkat menunjuk sisi sebelah kiri lukisan yang berwarna lebih gelap. Tempat dua tentara berkuda berbaju merah dan tiga penduduk pribumi duduk.

Tanpa menyentuhnya, dia menyebut bahwa bagian tersebut dahulu rusak parah hingga 70 persen. Lukisan itu semula menjadi koleksi Istana Kerajaan Belanda, lalu dihibahkan ke pemerintah Indonesia pada 1978. Karya lukis tersebut kemudian diperbaiki selama dua pekan, kemudian disimpan di Istana Bogor sebelum disimpan sebagai koleksi Istana Kepresidenan. “Ini karya masterpiece,” imbuhnya.

Karena itulah, saat Goethe Institut Jakarta berniat menyelenggarakan pameran tunggal karya Raden Saleh di Galeri Nasional, Krauss langsung meminta lukisan Penangkapan Diponegoro harus ikut ditampilkan. Selain Penangkapan Diponegoro, dia meminati tiga lukisan lainnya, yakni Kuda Arab Diterkam Singa, Berburu Banteng di Jawa, dan Harimau Sedang Minum.

Informasi yang dia peroleh, restorasi lukisan-lukisan Raden Saleh di Istana Negara menelan biaya hingga Rp2 miliar. Selain kanvas yang sobek, konstruksi pigura hingga warna yang memudar membuat lukisan-lukisan tersebut perlu penanganan khusus.

“Biayanya memang sangat mahal. Tapi, kalau tidak diperbaiki, masyarakat Indonesia tidak bisa ikut menikmati lukisan-lukisan luar biasa itu,” ujar warga Jerman yang fasih berbahasa Indonesia tersebut.

Apakah rata-rata kondisi lukisan Raden Saleh sudah sangat buruk karena termakan usia? Krauss menghela napas, lantas mengangguk. Misalnya, lukisan berjudul Pasangan Jawa yang dipajang berhadap-hadapan dengan lukisan Penangkapan Diponegoro. Lukisan yang dibuat pada 1857 tersebut pernah direstorasi di Singapura 20 tahun lalu, tapi sekarang sudah mulai rusak lagi.

Kerusakan juga dialami lukisan Gubernur Van den Bosch yang dibuat pada 1830-1833. Kanvasnya sobek cukup panjang. Beberapa bagiannya juga mulai retak-retak lantaran termakan usia. “Kerusakan bisa karena usia dan saat dibersihkan,” jelas direktur Pusat Seni Asia Tenggara Goethe Institut itu.
Krauss kemudian menceritakan betapa sulitnya menghimpun lukisan sang maestro hingga terkumpul 85 karya berbagai objek dan ukuran tersebut. Terutama menyangkut keamanan lukisan bernilai jual selangit itu. Apalagi, usianya sudah lebih dari seabad sehingga rawan rusak. Dengan begitu, bisa dimaklumi bila para kolektor lukisan Raden Saleh merasa waswas lantaran lukisan tersebut harus diboyong ke galeri di Jalan Merdeka Timur.

Dia mencontohkan kekhawatiran yang ditunjukkan seorang kolektor asal Surabaya. Awalnya sang kolektor bersedia meminjamkan lukisan mahal tersebut untuk dipamerkan. Namun, beberapa hari menjelang hari H, mendadak dia membatalkan. Alasannya, dia tidak mau mengambil risiko atas kemungkinan terjadinya kerusakan pada lukisan koleksinya saat dibawa ke Jakarta.

“Lukisan yang di Surabaya itu the most expensive one (salah satu yang termahal),” terangnya.

Begitu juga dengan beberapa kolektor lain di luar negeri. Mereka khawatir lukisannya rusak atau dicuri. Padahal, Krauss rela meluangkan waktu untuk menemui pemilik lukisan atau mengirimkan surat permohonan peminjaman lukisan. Bahkan, dia rela melakukan apa saja untuk ‘mendapatkan’ lukisan Raden Saleh.

Beruntung, pendiri Department of Southeast Asian Studies di Passau University, Jerman, tersebut sudah bisa memahami kultur orang Indonesia. Karena itu, dia menggunakan unggah-ungguh ala Indonesia untuk merayu kolektor lukisan Raden Saleh. Sebanyak 85 lukisan berhasil dikumpulkan dalam setahun. Kebanyakan milik kolektor Indonesia. Ada juga empat lukisan yang diterbangkan dari Jerman. Sedangkan 120 lukisan lainnya belum diketahui keberadaannya.

“Can you guarantee (bisakah kamu menggaransi)? Begitulah para kolektor meminta jaminan keselamatan lukisannya,” papar dia.
Karena itu, pameran yang dibuka pada 3 Juni lalu tersebut pun dijaga amat ketat. Tim sekuriti dari Kedutaan Jerman di Indonesia serta pihak Istana Negara dan Galeri Nasional dilibatkan untuk menjaga lukisan-lukisan berharga miliaran rupiah tersebut.
“Seluruh lukisan itu juga kami asuransikan. USD 10 million (setara Rp93 miliar) for all painting,” terangnya.
Menurut dia, wajar bila tanggungan asuransinya amat besar. Untuk lukisan Penangkapan Diponegoro saja, misalnya, kurator yang mengaku sudah 20 tahun mempelajari lukisan-lukisan Raden Saleh tersebut menaksir harganya saat ini menembus USD 3 juta atau Rp27,9 miliar.
Karena itu, banyak aturan yang diterapkan untuk para pengunjung pameran. Di antaranya, pengunjung tidak boleh membawa tas, tidak boleh menyentuh lukisan, bahkan memotret lukisan dengan flash.
Serangkaian acara juga disiapkan selama pameran, termasuk fashion show yang desain bajunya terinspirasi lukisan Raden Saleh. Menurut Krauss, pelukis kelahiran Semarang pada 1811 itu bisa disebut sebagai fashion designer Indonesia pertama.
“Dia peduli dengan pakaian karena dulu orang Indonesia mengenakan baju berdasar kasta,” terangnya.
Krauss menilai pelukis yang gemar menggambar singa dan harimau itu adalah sosok yang menularkan virus positif bagi dunia seni lukis. Sebab, dengan bangga dia berani menyebut dirinya sebagai pelukis dan hidupnya dibiayai melukis.
Sikap seperti itu sebelumnya tidak pernah dilakukan para pelukis di eranya. Apalagi setelah Raden Saleh mampu menunjukkan bahwa melukis bisa membuat derajatnya menjadi sangat tinggi karena bisa bergaul dengan raja-raja Eropa. Hal yang hampir mustahil bisa dilakukan warga pribumi saat itu.
Satu hal yang Krauss kagumi, meski hijrah ke Eropa, Raden Saleh tidak pernah mengubah gaya melukisnya. Unsur Jawa seperti gunung, sawah, petani, peralatan mencangkul, hingga suasana berburu tetap dipertahankan.
“Itulah yang membuatnya menarik di Eropa. Banyak yang penasaran untuk dilukis dan membeli karyanya,” tegasnya.
Krauss berharap agar pemerintah Indonesia bisa makin menghargai karya Raden Saleh. Misalnya, menyiapkan ruang khusus untuk memamerkan lukisan Raden Saleh secara permanen.
“Sayang kalau lukisan sebagus ini dibiarkan begitu saja tersimpan di Istana Negara atau dikoleksi pribadi,” harapnya. (*)

Repotnya Memamerkan Lukisan Raden Saleh di Galeri Nasional

Pameran tunggal lukisan Raden Saleh di Galeri Nasional Jakarta pada 3-17 Juni 2012 membutuhkan biaya miliaran rupiah. Pameran pertama setelah kematian sang maestro 132 tahun silam itu dijaga sangat ketat.

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

MATA Werner Krauss selalu berbinar setiap kali memandangi lukisan berukuran 112 x178 cm di tembok berwarna merah di gedung Galeri Nasional. Lukisan itu bercerita tentang tentara Belanda yang menjemput seseorang berjubah putih dan beserban hijau. Tampak kesedihan penduduk yang berusaha menahan sang tokoh agar tidak dibawa penjajah.

Menurut Krauss, sosok yang dilukis Raden Saleh adalah Pangeran Diponegoro, pahlawan nasional kelahiran Jogjakarta yang ditangkap Jenderal De Kock di Magelang, 28 Maret 1830. Lukisan berjudul asli Die Gefangennahme Diepo Negoros atau Penangkapan Diponegoro tersebut dibuat pada 1857, dua tahun setelah wafatnya sang pahlawan di Benteng Rotterdam, Makassar, 8 Januari 1855.

Di sebelah kanan bawah lukisan terdapat sebuah keterangan dalam kertas kecil berbunyi: Koleksi Istana Kepresidenan. “Saya butuh waktu empat bulan untuk bisa mengeluarkan lukisan ini dari istana,” ujar kurator lukisan asal Jerman itu kemarin (14/6).

Sebelum melanjutkan bicara, pria 68 tahun tersebut diam sejenak, memperhatikan lukisan yang memesonanya itu. Terlihat jelas bahwa dia jatuh cinta pada lukisan di atas kanvas dengan cat minyak tersebut. Tangannya diangkat menunjuk sisi sebelah kiri lukisan yang berwarna lebih gelap. Tempat dua tentara berkuda berbaju merah dan tiga penduduk pribumi duduk.

Tanpa menyentuhnya, dia menyebut bahwa bagian tersebut dahulu rusak parah hingga 70 persen. Lukisan itu semula menjadi koleksi Istana Kerajaan Belanda, lalu dihibahkan ke pemerintah Indonesia pada 1978. Karya lukis tersebut kemudian diperbaiki selama dua pekan, kemudian disimpan di Istana Bogor sebelum disimpan sebagai koleksi Istana Kepresidenan. “Ini karya masterpiece,” imbuhnya.

Karena itulah, saat Goethe Institut Jakarta berniat menyelenggarakan pameran tunggal karya Raden Saleh di Galeri Nasional, Krauss langsung meminta lukisan Penangkapan Diponegoro harus ikut ditampilkan. Selain Penangkapan Diponegoro, dia meminati tiga lukisan lainnya, yakni Kuda Arab Diterkam Singa, Berburu Banteng di Jawa, dan Harimau Sedang Minum.

Informasi yang dia peroleh, restorasi lukisan-lukisan Raden Saleh di Istana Negara menelan biaya hingga Rp2 miliar. Selain kanvas yang sobek, konstruksi pigura hingga warna yang memudar membuat lukisan-lukisan tersebut perlu penanganan khusus.

“Biayanya memang sangat mahal. Tapi, kalau tidak diperbaiki, masyarakat Indonesia tidak bisa ikut menikmati lukisan-lukisan luar biasa itu,” ujar warga Jerman yang fasih berbahasa Indonesia tersebut.

Apakah rata-rata kondisi lukisan Raden Saleh sudah sangat buruk karena termakan usia? Krauss menghela napas, lantas mengangguk. Misalnya, lukisan berjudul Pasangan Jawa yang dipajang berhadap-hadapan dengan lukisan Penangkapan Diponegoro. Lukisan yang dibuat pada 1857 tersebut pernah direstorasi di Singapura 20 tahun lalu, tapi sekarang sudah mulai rusak lagi.

Kerusakan juga dialami lukisan Gubernur Van den Bosch yang dibuat pada 1830-1833. Kanvasnya sobek cukup panjang. Beberapa bagiannya juga mulai retak-retak lantaran termakan usia. “Kerusakan bisa karena usia dan saat dibersihkan,” jelas direktur Pusat Seni Asia Tenggara Goethe Institut itu.
Krauss kemudian menceritakan betapa sulitnya menghimpun lukisan sang maestro hingga terkumpul 85 karya berbagai objek dan ukuran tersebut. Terutama menyangkut keamanan lukisan bernilai jual selangit itu. Apalagi, usianya sudah lebih dari seabad sehingga rawan rusak. Dengan begitu, bisa dimaklumi bila para kolektor lukisan Raden Saleh merasa waswas lantaran lukisan tersebut harus diboyong ke galeri di Jalan Merdeka Timur.

Dia mencontohkan kekhawatiran yang ditunjukkan seorang kolektor asal Surabaya. Awalnya sang kolektor bersedia meminjamkan lukisan mahal tersebut untuk dipamerkan. Namun, beberapa hari menjelang hari H, mendadak dia membatalkan. Alasannya, dia tidak mau mengambil risiko atas kemungkinan terjadinya kerusakan pada lukisan koleksinya saat dibawa ke Jakarta.

“Lukisan yang di Surabaya itu the most expensive one (salah satu yang termahal),” terangnya.

Begitu juga dengan beberapa kolektor lain di luar negeri. Mereka khawatir lukisannya rusak atau dicuri. Padahal, Krauss rela meluangkan waktu untuk menemui pemilik lukisan atau mengirimkan surat permohonan peminjaman lukisan. Bahkan, dia rela melakukan apa saja untuk ‘mendapatkan’ lukisan Raden Saleh.

Beruntung, pendiri Department of Southeast Asian Studies di Passau University, Jerman, tersebut sudah bisa memahami kultur orang Indonesia. Karena itu, dia menggunakan unggah-ungguh ala Indonesia untuk merayu kolektor lukisan Raden Saleh. Sebanyak 85 lukisan berhasil dikumpulkan dalam setahun. Kebanyakan milik kolektor Indonesia. Ada juga empat lukisan yang diterbangkan dari Jerman. Sedangkan 120 lukisan lainnya belum diketahui keberadaannya.

“Can you guarantee (bisakah kamu menggaransi)? Begitulah para kolektor meminta jaminan keselamatan lukisannya,” papar dia.
Karena itu, pameran yang dibuka pada 3 Juni lalu tersebut pun dijaga amat ketat. Tim sekuriti dari Kedutaan Jerman di Indonesia serta pihak Istana Negara dan Galeri Nasional dilibatkan untuk menjaga lukisan-lukisan berharga miliaran rupiah tersebut.
“Seluruh lukisan itu juga kami asuransikan. USD 10 million (setara Rp93 miliar) for all painting,” terangnya.
Menurut dia, wajar bila tanggungan asuransinya amat besar. Untuk lukisan Penangkapan Diponegoro saja, misalnya, kurator yang mengaku sudah 20 tahun mempelajari lukisan-lukisan Raden Saleh tersebut menaksir harganya saat ini menembus USD 3 juta atau Rp27,9 miliar.
Karena itu, banyak aturan yang diterapkan untuk para pengunjung pameran. Di antaranya, pengunjung tidak boleh membawa tas, tidak boleh menyentuh lukisan, bahkan memotret lukisan dengan flash.
Serangkaian acara juga disiapkan selama pameran, termasuk fashion show yang desain bajunya terinspirasi lukisan Raden Saleh. Menurut Krauss, pelukis kelahiran Semarang pada 1811 itu bisa disebut sebagai fashion designer Indonesia pertama.
“Dia peduli dengan pakaian karena dulu orang Indonesia mengenakan baju berdasar kasta,” terangnya.
Krauss menilai pelukis yang gemar menggambar singa dan harimau itu adalah sosok yang menularkan virus positif bagi dunia seni lukis. Sebab, dengan bangga dia berani menyebut dirinya sebagai pelukis dan hidupnya dibiayai melukis.
Sikap seperti itu sebelumnya tidak pernah dilakukan para pelukis di eranya. Apalagi setelah Raden Saleh mampu menunjukkan bahwa melukis bisa membuat derajatnya menjadi sangat tinggi karena bisa bergaul dengan raja-raja Eropa. Hal yang hampir mustahil bisa dilakukan warga pribumi saat itu.
Satu hal yang Krauss kagumi, meski hijrah ke Eropa, Raden Saleh tidak pernah mengubah gaya melukisnya. Unsur Jawa seperti gunung, sawah, petani, peralatan mencangkul, hingga suasana berburu tetap dipertahankan.
“Itulah yang membuatnya menarik di Eropa. Banyak yang penasaran untuk dilukis dan membeli karyanya,” tegasnya.
Krauss berharap agar pemerintah Indonesia bisa makin menghargai karya Raden Saleh. Misalnya, menyiapkan ruang khusus untuk memamerkan lukisan Raden Saleh secara permanen.
“Sayang kalau lukisan sebagus ini dibiarkan begitu saja tersimpan di Istana Negara atau dikoleksi pribadi,” harapnya. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/