29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

ICW: Modus Jual Kursi Sulit Dibasmi

Tentang Kasus Penyimpangan Penerimaan Siswa Baru

JAKARTA-Kecurangan proses Penerimaan Siswa Baru (PSB) dengan modus menjual kursi ke orangtuas calon siswa, sulit dihentikan. Selama hasil ujian tulis seleksi masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak pernah dibuka secara transparan, selama itu pula praktik jual kursi oleh pihak sekolah, masih akan terus terjadi.

Jadi, menurut Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Coruption Watch (ICW) Febri Hendri, kunci untuk menghentikann
praktik busuk di tempat mendidik anak itu adalah pembenahan sistem.

“Satu-satunya cara, sistemnya yang dibenahi. Harus ada transparansi hasil ujian tertulisnya,” ujar Febri kepada Sumut Pos di Jakarta, Sabtu (7/7). Jalur bina lingkungan yang melewati tes ujian tulis, paling empuk menjadi arena ‘permainan’.

Hasil tes tertulis yang dirahasiakan, menjadi pemicu aksi tawar-menawar. Oknum dari pihak sekolah ataupun pejabat dinas terkait, dengan dalih bisa memasukkan siswa yang nilainya jeblok, minta sejumlah uang ke orangtua siswa. Sementara, si orangtua siswa tidak diberitahu berapa sebenarnya nilai hasil tes tertulis anaknya.

“Siswa dan orangtuanya tidak tahu, apa betul nilainya jelek sehingga tak lulus. Tapi tiba-tiba ada yang lulus meski selama ini calon siswa itu prestasi sekolahnya jelek. Selama hasil tes tak diumumkan, akan terjadi terus masalah ini,” ujar Febri dengan nada pesimis.

emendiknas di Jakarta, menurut Febri, juga tak serius untuk melakukan pembenahan sistem. ICW, lanjutnya, sudah sejak 2004 memberikan rekomendasi ke kementerian yang kini dipimpin Mohammad Nuh itu, agar mengeluarkan regulasi untuk pembenahan sistem penerimaan siswa baru. “Tapi rekomendasi ICW hanya dijadikan bantal saja,” cetusnya kesal.

Pihak kemdiknas berdalih bahwa urusan sekolah menjadi kewenangan pemda. Padahal, kata Febri, mestinya kemdiknas tetap bisa mengeluarkan kebijakan yang bisa menjadi acuan pemda.

Satu-satunya kebijakan yang dikeluarkan kemendiknas terkait masalah ini adalah terbitnya Permendiknas Nomor 60 Tahun 2011 tentang larangan pungutan biaya pendidikan pada Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). “Hanya sekolah dasar dan menengah saja. Itu pun ada rencana Permendiknas itu direvisi. Kemendiknas tak serius,” kata Febri.

Lantas, apa yang bisa dilakukan ICW? Seperti yang sudah kerap diberitakan, ICW bersama Ombudsman RI membuka Posko Pengaduan di sejumlah tempat, yang tersebar di sejumlah daerah.

Dia mengimbau para orangtua calon siswa agar berani melapor jika diminta uang oleh oknum pihak sekolah, atau pejabat di daerah, yang mengaku bisa meluluskan anaknya. “Tak boleh takut untuk mengungkap kebenaran,” imbaunya.

Apakah semua pengaduan akan ditindaklanjuti untuk dilaporkan ke aparat hukum? Dan apakah aparat hukum bakal menghukum si oknum nakal? Febri sendiri pesimis.

“Selagi kami bisa mengadvokasi, ya itu yang akan kami lakukan,” ucapnya. Dia mengakui, sulit untuk menciptkan efek jera hingga aksi suap, pungli, atau pun jual kursi, tidak terulang lagi di masa-masa mendatang.

“Misalnya dari kasus tahun ini ada satu dua kepala sekolah yang dipenjara, itu pun tak akan bisa menciptakan efek jera yang meluas,” ujarnya. “Karena jumlah sekolah ribuan,” imbuhnya memberikan alasan.

Di SMP N 37 Medan, Seragam Murid Baru Rp466 Ribu

Selain soal jual kursi, masih banyak modus pungutan liar (pungli) lainnya yang kerap dilakukan pihak sekolah. Salah satunya adalah melalui uang seragam bagi siswa baru.

Nah, modus ini diduga dilakukan oleh SMP Negeri 37 Medan yang berlokasi di Jalan Timor.

Dari informasi yang didapat, sekolah tersebut mengutip biaya Rp466 ribu dengan dalih biaya baju seragam putih dan celana biru (1 pasang), baju batik, baju pramuka, dan baju olahraga. Pengakuan ini didapat dari dua siswa baru SMPN 37 yang telah lulus dalam PPDB 2012 lewat jalur NEM. Keduanya yakni YS warga Setiabudi Sampali, dan NM Warga Jalan Pendidikan Sampali Medan.

“Bahkan untuk bisa sekolah, orangtua kami harus mencicil biaya itu Rp200 ribu agar kami tetap bisa bersekolah seperti teman yang lain,” ucap YS kepada Sumut Pos, Minggu (8/7).

Sebelumnya Kepala Informasi dan Humas Kemendikbud, Ibnu Hamad mengatakan bahwa dalam Permendikbud Nomor 60 tertuang sanksi bagi siapa saja yang melakukan pungli di sekolah. “Yang pertama itu, pungutan itu harus dikembalikan penuh. Akan ada sanksi teguran tertulis sampai mutasi, dan tindakan administrasi lainnya,” ujar Ibnu.

Permendikbud Nomor 60 itu adalah larangan pungli kepada sekolah-sekolah yang sudah mendapat Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), seperti SD dan SMP, baik negeri maupun swasta.

Sementara Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Rajab Lubis saat dimintai konfirmasi mengenai pengutipan tersebut tetap tak bisa dihubungi karena telepon selulernya yang tak pernah aktif.

Menyikapi hal itu Ketua Komisi B DPRD Medan Surianda Lubis meminta agar Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan untuk lebih kooperatif dan komitmen dalam menjalankan Permendikbud. “Jika memang terbukti harusnya sekolah diberikan sanksi tegas jangan sampai masalah ini dianggap sepele,”tegasnya.

Terkait susahnya Kadisdik Medan dihubungi dimasa penerimaan siswa baru, Surianda juga meminta agar Kadisdik Medan bisa kooperatif serta membuka diri dan langsung turun ke masyarakat untuk mendengarkan pengaduan-pengaduan yang merugikan masyarakat.

“Jika kadisdik tidak kooperatif dalam PSB berarti dia betul-betul tidak memiliki akuntabilitas yang tinggi. Seharusnya jika terdengar ada pungutan liar yang merugikan masyarakat kadisdik Medan tidak perlu menunggu lama untuk melakukan penindakan. Jangan pula kadisdik merasa lebih tinggi dari kepaka daerah,”sebutnya.(sam/uma)

Tentang Kasus Penyimpangan Penerimaan Siswa Baru

JAKARTA-Kecurangan proses Penerimaan Siswa Baru (PSB) dengan modus menjual kursi ke orangtuas calon siswa, sulit dihentikan. Selama hasil ujian tulis seleksi masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak pernah dibuka secara transparan, selama itu pula praktik jual kursi oleh pihak sekolah, masih akan terus terjadi.

Jadi, menurut Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Coruption Watch (ICW) Febri Hendri, kunci untuk menghentikann
praktik busuk di tempat mendidik anak itu adalah pembenahan sistem.

“Satu-satunya cara, sistemnya yang dibenahi. Harus ada transparansi hasil ujian tertulisnya,” ujar Febri kepada Sumut Pos di Jakarta, Sabtu (7/7). Jalur bina lingkungan yang melewati tes ujian tulis, paling empuk menjadi arena ‘permainan’.

Hasil tes tertulis yang dirahasiakan, menjadi pemicu aksi tawar-menawar. Oknum dari pihak sekolah ataupun pejabat dinas terkait, dengan dalih bisa memasukkan siswa yang nilainya jeblok, minta sejumlah uang ke orangtua siswa. Sementara, si orangtua siswa tidak diberitahu berapa sebenarnya nilai hasil tes tertulis anaknya.

“Siswa dan orangtuanya tidak tahu, apa betul nilainya jelek sehingga tak lulus. Tapi tiba-tiba ada yang lulus meski selama ini calon siswa itu prestasi sekolahnya jelek. Selama hasil tes tak diumumkan, akan terjadi terus masalah ini,” ujar Febri dengan nada pesimis.

emendiknas di Jakarta, menurut Febri, juga tak serius untuk melakukan pembenahan sistem. ICW, lanjutnya, sudah sejak 2004 memberikan rekomendasi ke kementerian yang kini dipimpin Mohammad Nuh itu, agar mengeluarkan regulasi untuk pembenahan sistem penerimaan siswa baru. “Tapi rekomendasi ICW hanya dijadikan bantal saja,” cetusnya kesal.

Pihak kemdiknas berdalih bahwa urusan sekolah menjadi kewenangan pemda. Padahal, kata Febri, mestinya kemdiknas tetap bisa mengeluarkan kebijakan yang bisa menjadi acuan pemda.

Satu-satunya kebijakan yang dikeluarkan kemendiknas terkait masalah ini adalah terbitnya Permendiknas Nomor 60 Tahun 2011 tentang larangan pungutan biaya pendidikan pada Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). “Hanya sekolah dasar dan menengah saja. Itu pun ada rencana Permendiknas itu direvisi. Kemendiknas tak serius,” kata Febri.

Lantas, apa yang bisa dilakukan ICW? Seperti yang sudah kerap diberitakan, ICW bersama Ombudsman RI membuka Posko Pengaduan di sejumlah tempat, yang tersebar di sejumlah daerah.

Dia mengimbau para orangtua calon siswa agar berani melapor jika diminta uang oleh oknum pihak sekolah, atau pejabat di daerah, yang mengaku bisa meluluskan anaknya. “Tak boleh takut untuk mengungkap kebenaran,” imbaunya.

Apakah semua pengaduan akan ditindaklanjuti untuk dilaporkan ke aparat hukum? Dan apakah aparat hukum bakal menghukum si oknum nakal? Febri sendiri pesimis.

“Selagi kami bisa mengadvokasi, ya itu yang akan kami lakukan,” ucapnya. Dia mengakui, sulit untuk menciptkan efek jera hingga aksi suap, pungli, atau pun jual kursi, tidak terulang lagi di masa-masa mendatang.

“Misalnya dari kasus tahun ini ada satu dua kepala sekolah yang dipenjara, itu pun tak akan bisa menciptakan efek jera yang meluas,” ujarnya. “Karena jumlah sekolah ribuan,” imbuhnya memberikan alasan.

Di SMP N 37 Medan, Seragam Murid Baru Rp466 Ribu

Selain soal jual kursi, masih banyak modus pungutan liar (pungli) lainnya yang kerap dilakukan pihak sekolah. Salah satunya adalah melalui uang seragam bagi siswa baru.

Nah, modus ini diduga dilakukan oleh SMP Negeri 37 Medan yang berlokasi di Jalan Timor.

Dari informasi yang didapat, sekolah tersebut mengutip biaya Rp466 ribu dengan dalih biaya baju seragam putih dan celana biru (1 pasang), baju batik, baju pramuka, dan baju olahraga. Pengakuan ini didapat dari dua siswa baru SMPN 37 yang telah lulus dalam PPDB 2012 lewat jalur NEM. Keduanya yakni YS warga Setiabudi Sampali, dan NM Warga Jalan Pendidikan Sampali Medan.

“Bahkan untuk bisa sekolah, orangtua kami harus mencicil biaya itu Rp200 ribu agar kami tetap bisa bersekolah seperti teman yang lain,” ucap YS kepada Sumut Pos, Minggu (8/7).

Sebelumnya Kepala Informasi dan Humas Kemendikbud, Ibnu Hamad mengatakan bahwa dalam Permendikbud Nomor 60 tertuang sanksi bagi siapa saja yang melakukan pungli di sekolah. “Yang pertama itu, pungutan itu harus dikembalikan penuh. Akan ada sanksi teguran tertulis sampai mutasi, dan tindakan administrasi lainnya,” ujar Ibnu.

Permendikbud Nomor 60 itu adalah larangan pungli kepada sekolah-sekolah yang sudah mendapat Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), seperti SD dan SMP, baik negeri maupun swasta.

Sementara Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Rajab Lubis saat dimintai konfirmasi mengenai pengutipan tersebut tetap tak bisa dihubungi karena telepon selulernya yang tak pernah aktif.

Menyikapi hal itu Ketua Komisi B DPRD Medan Surianda Lubis meminta agar Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan untuk lebih kooperatif dan komitmen dalam menjalankan Permendikbud. “Jika memang terbukti harusnya sekolah diberikan sanksi tegas jangan sampai masalah ini dianggap sepele,”tegasnya.

Terkait susahnya Kadisdik Medan dihubungi dimasa penerimaan siswa baru, Surianda juga meminta agar Kadisdik Medan bisa kooperatif serta membuka diri dan langsung turun ke masyarakat untuk mendengarkan pengaduan-pengaduan yang merugikan masyarakat.

“Jika kadisdik tidak kooperatif dalam PSB berarti dia betul-betul tidak memiliki akuntabilitas yang tinggi. Seharusnya jika terdengar ada pungutan liar yang merugikan masyarakat kadisdik Medan tidak perlu menunggu lama untuk melakukan penindakan. Jangan pula kadisdik merasa lebih tinggi dari kepaka daerah,”sebutnya.(sam/uma)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/