JAKARTA-Calon Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sukses mempermalukan lembaga survei yang menjagokan Fauzi Bowo bakal unggul dalam perolehan suara Pilkada DKI Jakarta. Seluruh hasil perhitungan cepat menunjukkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) mengungguli Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli (Foke-Nara) dengan selisih suara hingga sembilan persen. Keduanya dipastikan bertarung di putaran kedua pilkada pada September mendatang.
Perhitungan cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyatakan Jokowi-Ahok memimpin perolehan suara dengan 43,04 persen, unggul sembilan persen diatas petahana Foke-Nara dengan perolehan suara 34,17 persen. Pasangan Hidayat Nurwahid-Didik Rachbini berada di peringkat ketiga dengan 11,77 persen, disusul pasangan independen Faisal Basri-Biem Benyamin dengan 4,83 persen. Secara mengejutkan, pasangan Alex Nurdin-Nono Sampono hanya meraih 4,34 persen suara dan pasangan Hendardji Supandji-Riza Patria berada di nomor buncit dengan 1,80 persen.
Hasil ini berbeda jauh dengan jajak pendapat seluruh lembaga survei yang mengunggulkan Fauzi Bowo bakal memimpin perolehan suara. Survei Lingkaran Survei Indonesia pada 22-27 Juni lalu menyatakan Foke-Nara bakal menang besar dengan meraup 43,7 persen jauh mengungguli pasangan Jokowi-Ahok yang hanya meraup 14,4 persen di nomor dua.
Survei Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) pada 2-7 Juli lalu bahkan menyatakan Foke-Nara meraup 47,2 persen, jauh meninggalkan Jokowi-Nara yang hanya meraup 15,2 persen di peringkat dua.
Perolehan suara Jokowi-Ahok ini luar biasa besar. Berdasarkan survey internal PDI Perjuangan, pada Desember lalu, ketika Jokowi ditetapkan sebagai calon gubernur, popularitasnya hanya enam persen. Sebulan kemudian, popularitasnya naik menjadi tujuh belas persen.
Akhir Juni lalu, popularitas Jokowi di survei internal PDI Perjuangan-Gerindra meningkat lagi menjadi tiga puluh tiga persen, masih jauh dibawah Foke yang berada di kisaran 43 persen. Kini, perolehan suaranya justru berbalik, Jokowi memperoleh suara 43 persen sementara Foke melorot menjadi 34 persen.
Direktur Eksekutif Puskaptis Yusin Yazid mengatakan, melorotnya suara Foke disebabkan kinerja tim sukses yang tidak profesional, kurang kreatif, dan buruk pendekatannya pada media massa karena hanya mengandalkan sejumlah media tertentu. Selain itu, partai pengusung Foke juga tidak bekerja karena konflik internal maupun mendukung calon lain. Sebagai petahana, Foke juga lebih senang berada di belakang meja dibandingkan turun ke lapangan mendekati masyarakat secara langsung.
“Sebenarnya Partai Demokrat (Foke-Nara) dan PDI Perjuangan (Jokowi-Ahok) sama-sama tidak bekerja di lapangan. Hanya massa PKS (Hidayat-Didik) yang efektif bekerja. Namun, kunci kemenangan Jokowi adalah kampanye denan model pendekatan langsung ke masyarakat, sehingga warga Jakarta merasa sosok seperti Jokowi yang mereka butuhkan,” tuturnya.
Pakar politik Universitas Indonesia, Budyatna, menilai Fauzi Bowo dihukum kalangan menengah ke atas yang tidak peduli dengan stigma kesukuan yang selalu diusung Foke-Nara. Mereka lebih mementingkan calon yang mengusung program-program yang diharapkan mampu mengentaskan masalah Jakarta.
“Di pilkada (2008) lalu, terjadi pertarungan ideologis dan kesukuan. Namun, kini warga Jakarta sudah cerdas, mereka menginginkan perubahan karena sudah tidak percaya lagi dengan incumbent,” tuturnya.
Kordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai masyarakat tidak peduli lagi dengan hasil survei karena menilai lembaga survey sekadar korporasi pencari untung dari demokrasi. Warga Jakarta juga cerdas karena tidak lagi mengandalkan pertimbangan agama atau etnis dalam memilih. “Masyarakat sudah tidak peduli itu semua,” tegasnya.
Direktur Executive Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia, Toto Izul Fatah, mengatakan tiga hasil survei lembaganya memang menunjukkan Foke-Nara paling unggul, namun Jokowi-Ahok mendapatkan peningkatan elektibilitas yang sangat signifikan.
“Selalu terjadi margin antara survei dan quick count karena survei didasarkan pada opini dari responden yang selalu berubah, sementara quick count berdasarkan fakta perhitungan suara TPS, sehingga tidak bisa dijadikan patokan,” terangnya.
Toto menilai keunggulan Jokowi juga disebabkan banyaknya golongan putih yang mencapai 40 persen, naik lima persen dari pilkada lima tahun sebelumnya. Golongan putih ini diperkirakan pemilih tradisional Foke di pemilu sebelumnya, namun kali ini tidak menggunakan suaranya karena berbagai alasan.
“Foke cenderung tidak terlalu banyak manuver, bahkan cenderung menjauhi publik, menjauhi pers, dan malah melepaskan kampanye kepada Nahrowi. Mungkin disebabkan percaya diri terlalu tinggi karena banyak survei yang mendukung kemenangannya,” terang Toto.
Sementara, suara Jokowi berasal dari swing voters atau massa mengambang yang jumlahnya mencapai 30 persen. Massa mengambang ini baru menjatuhkan pilihan pada hari pencoblosan karena sejumlah faktor, seperti pencitraaan positif Jokowi yang merakyat maupun pakaian khas kotak-kotak merah yang gampang diingat publik.
Terkait putaran dua, Toto menilai Foke akan meraup suara limpahan dari pemilih Hidayat-Didik karena basis ideolog nasional religius pemilih Hidayat-Didik yang sulit menerima calon berbeda agama, seperti Ahok yang berpasangan dengan Jokowi. “Massa PKS sulit mendukung Jokowi yang abangan. Namun seberapa banyak yang pindah sulit diperhitungkan,” terangnya.
Hal berbeda disampaikan Budyatna. Dia menilai Jokowi-Ahok akan memperoleh limpahan suara dari pendukung empat kandidat yang kalah namun tetap menginginkan perubahan di Jakarta. “Saya melihat, dari enam kontestan, lima calon selalu mengkritik Foke. Jadi ada kemungkinan suara yang tidak menang, sebagian besar akan mengarahkan ke Jokowi,” tutur Budyatna. (ind/dai/dim/jpnn)