26.7 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Pembagian Pajak Eskpor Sawit tak Jelas

Dana Bea Keluar Belum Dikembalikan ke Sumut

MEDAN- Semenjak dikeluarkan kebijakan pajak ekspor sawit atau bea keluar (BK) oleh pemerintah pusat, hingga saat ini Sumut belum pernah mencicipinya. Peraturan terkait pajak ekspor sawit ini pun tidak jelas karena belum ada kejelasan pembagian berapa besar untuk daerah dan berapa persen untuk pusat.
“Entah 70 atau 60 persen untuk daerah sisanya untuk pusat  Tapi, belum ada angka pembagian itu,” ungkap Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Laksamana Adyaksa, kemarin.

Laksamana yang juga sekretaris dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut ini menegaskan dana BK sejatinya akan dikembalikan ke daerah perkebunan. “Peraturan terkait BK itu dibuat, untuk menjaga ketersediaan CPO atau minyak goreng di tanah air tetap ada,” jelas Laksamana.

Selain itu, dalam kebijakan tersebut juga dinyatakan bahwa nantinya dana BK akan dikembalikan untuk membangun infrastruktur daerah perkebunan sawit. “Tetapi, hingga saat ini belum ada sedikitpun dana BK  dikembalikan,” tegasnya.

Laksamana menambahkan, bahwa sejak berlakunya BK yang disesuaikan dengan harga belum ada alokasi yang diterima Sumut. Padahal, pemerintah daerah sudah beberapa kali meminta ke pemerintah pusat. Tetapi, belum mendapat jawaban terkait hal tersebut. “Bahkan, kita pernah memberikan penawaran ke pemerintah pusat, untuk BK kita potong didepan, 50 persen pusat, 50 persen daerah penghasil. Tapi mereka tidak berani,” papar Laksamana. “Pemda juga tidak berani, takut dibilang kita kudeta. Padahal, niat kita hanya membutuhkan kejelasan alokasi,” paparnya.

Dirinya menambahkan, selama ini pengusaha ribut meminta pengembalian BK tersebut karena pada umumnya infrastruktur didaerah perkebunan sangat jelek. Dan seharusnya, tugas pemerintah daerah setempat yang memperbaiki. “Lihat jalanan di Asahan atau Labuhanbatu, jelek sekali. Masak pengusaha yang bangun? Itu tugas pemerintah. Kemana uang BK-nya,” tambahnya.

Laksamana menyatakan, selama ini masalah terkait dengan BK ini sudah sering sekali diributin oleh Gapki, tetapi sepertinya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak menanggapi. “Jadi kita diamkan saja untuk saat ini, tapi kesabaran kita kan ada batasnya,” tambahnya. “Pengusaha tidak protes akan pungutannya, tapi harus jelas alokasinya,” tegas.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumut, Taswin menyatakan bahwa dengan BK akan membuat harga jual sawit petani menurun. “Salah satu komponen yang membuat harga jual petani rendah di pabrikan adalah BK. Jadi, bukan hanya pengusaha yang ribut untuk pengembalian BK, kita juga petani ribut kok,” ujarnya.

Taswin menjelaskan, salah satu alasan pemerintah membuat kebijakan pajak ekspor ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri aman. “Mau tidak mau kita harus ekspor karena produksi kita sebesar 25 hingga 26 juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan kita hanya 7 juta ton per tahun,” ungkapnya.

Karena itu, dirinya berharap agar BK tersebut dapat dikembalikan terutama untuk jalanan di sekitar perkebunan. “Lihat perkebunan kita, kalau sudah musim hujan begini tidak bisa dilewati. Per mobil saja bisa putus. Karena itu, kita harapkan ketegasan pemerintah daerah untuk memperjuangkan BK. Kalau infrastruktur baik, petani tidak perlu mengeluarkan biaya lebih lagi,” tegasnya.

Dana Bagi Hasil pun Belum Jelas
Di sisi lain, tuntutan sejumlah daerah, termasuk Sumut, agar segera ada jatah Dana Bagi Hasil (DBH) perkebunan pun belum menampakan hasil Sejatinya hal ini bukan cerita baru lagi.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pun sudah menyambutnya, dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) DBH. Anggota Pansus DBH DPD, Parlindungan Purba, menjelaskan, anggota DPD yang duduk di Pansus menyuarakan kepentingan daerah masing-masing. Ada yang menuntut alokasi DBH pariwisata, ada juga yang mendesak DBH khusus migas. “Nah, saya, sebagai wakil dari Sumut, mendorong agar ada DBH perkebunan,” ujar Parlindungan Purba kepada Sumut Pos di Jakarta, Rabu (11/7).

Saat ini Pansus DBH DPD ini terus melakukan pendalaman kajian, yang hasilnya nanti disorongkan ke DPR, yang punya kewenangan membahas perubahan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan, bersama pemerintah.

Sembari melakukan kajian, lobi-lobi informal terus dilakukan, baik dengan para anggota DPR maupun ke pihak pemerintah. Menkeu Agus Martowardojo, menurut Parlindungan, dalam pembicaraan informal dengannya, menyatakan setuju ada alokasi DBH perkebunan. “Menkeu bilang, boleh saja ada DBH perkebunan. Tapi kata Menkeu, ini menyangkut UU. Jadi UU-nya harus direvisi dulu,” terang Parlindungan.

Bagaimana komposisi pembagian hasil perkebunan pusat dengan daerah penghasil? Parlindungan mengatakan, Pansus DBH DPD belum sampai membahas soal angka. “Kita belum masuk ke hitung-hitungan angka,” cetusnya.

Selain Sumut, daerah lain yang juga getol memperjuangkan DBH perkebunan adalah Kalimantan Tengah (Kalteng). Anggota Pansus DBH DPD asal Kalteng, Hamdani pernah mengatakan, UU Nomor 33 Tahun 2004 tidak secara khusus mengatur tentang sektor perkebunan. Yang ada hanya secara umum yakni DBH sumber daya alam (SDA). Total perkebunan di Kalteng berjumlah 316 unit dengan luas 3.755.068 hektar.

DPR sendiri sudah menyalakan ‘lampu hijau’ untuk masalah DBH perkebunan ini. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz pernah mengatkan, area perkebunan kelapa sawit di Sumatera, khususnya Sumut dan Riau, terus berkembang pesat. Begitu pun di Kalimantan. Sementara, belum ada diatur secara khusus DBH perkebunan, terutama dari hasil ekspor CPO.

Sementara itu, Kepala Dinas (Kadis) Perkebunan Sumut, Aspan Sopian Batubara, mengatakan tidak adanya DBH perkebunan untuk Sumut karena tidak adanya respon Kemenkeu.
“Kita sudah memiliki kesepakatan dengan para gubernur lainnya, dan kita telah mengajukan ke pusat. Tapi belum direspon oleh Kemenkeu sampai saat ini,” akunya.

Desakan agar Pemprovsu mengupayakan dana bagi hasil perkebunan tersebut, dikemukakan anggota DPRD Sumut yang juga Wakil Ketua DPRD Sumut, HM Affan SS. “Kita jangan hanya memberikan hasil namun tidak menikmati hasil itu. Karena itu untuk pembangunan di Sumut,” tukasnya. (ram/sam/ari)

Dana Bea Keluar Belum Dikembalikan ke Sumut

MEDAN- Semenjak dikeluarkan kebijakan pajak ekspor sawit atau bea keluar (BK) oleh pemerintah pusat, hingga saat ini Sumut belum pernah mencicipinya. Peraturan terkait pajak ekspor sawit ini pun tidak jelas karena belum ada kejelasan pembagian berapa besar untuk daerah dan berapa persen untuk pusat.
“Entah 70 atau 60 persen untuk daerah sisanya untuk pusat  Tapi, belum ada angka pembagian itu,” ungkap Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Laksamana Adyaksa, kemarin.

Laksamana yang juga sekretaris dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut ini menegaskan dana BK sejatinya akan dikembalikan ke daerah perkebunan. “Peraturan terkait BK itu dibuat, untuk menjaga ketersediaan CPO atau minyak goreng di tanah air tetap ada,” jelas Laksamana.

Selain itu, dalam kebijakan tersebut juga dinyatakan bahwa nantinya dana BK akan dikembalikan untuk membangun infrastruktur daerah perkebunan sawit. “Tetapi, hingga saat ini belum ada sedikitpun dana BK  dikembalikan,” tegasnya.

Laksamana menambahkan, bahwa sejak berlakunya BK yang disesuaikan dengan harga belum ada alokasi yang diterima Sumut. Padahal, pemerintah daerah sudah beberapa kali meminta ke pemerintah pusat. Tetapi, belum mendapat jawaban terkait hal tersebut. “Bahkan, kita pernah memberikan penawaran ke pemerintah pusat, untuk BK kita potong didepan, 50 persen pusat, 50 persen daerah penghasil. Tapi mereka tidak berani,” papar Laksamana. “Pemda juga tidak berani, takut dibilang kita kudeta. Padahal, niat kita hanya membutuhkan kejelasan alokasi,” paparnya.

Dirinya menambahkan, selama ini pengusaha ribut meminta pengembalian BK tersebut karena pada umumnya infrastruktur didaerah perkebunan sangat jelek. Dan seharusnya, tugas pemerintah daerah setempat yang memperbaiki. “Lihat jalanan di Asahan atau Labuhanbatu, jelek sekali. Masak pengusaha yang bangun? Itu tugas pemerintah. Kemana uang BK-nya,” tambahnya.

Laksamana menyatakan, selama ini masalah terkait dengan BK ini sudah sering sekali diributin oleh Gapki, tetapi sepertinya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak menanggapi. “Jadi kita diamkan saja untuk saat ini, tapi kesabaran kita kan ada batasnya,” tambahnya. “Pengusaha tidak protes akan pungutannya, tapi harus jelas alokasinya,” tegas.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumut, Taswin menyatakan bahwa dengan BK akan membuat harga jual sawit petani menurun. “Salah satu komponen yang membuat harga jual petani rendah di pabrikan adalah BK. Jadi, bukan hanya pengusaha yang ribut untuk pengembalian BK, kita juga petani ribut kok,” ujarnya.

Taswin menjelaskan, salah satu alasan pemerintah membuat kebijakan pajak ekspor ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri aman. “Mau tidak mau kita harus ekspor karena produksi kita sebesar 25 hingga 26 juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan kita hanya 7 juta ton per tahun,” ungkapnya.

Karena itu, dirinya berharap agar BK tersebut dapat dikembalikan terutama untuk jalanan di sekitar perkebunan. “Lihat perkebunan kita, kalau sudah musim hujan begini tidak bisa dilewati. Per mobil saja bisa putus. Karena itu, kita harapkan ketegasan pemerintah daerah untuk memperjuangkan BK. Kalau infrastruktur baik, petani tidak perlu mengeluarkan biaya lebih lagi,” tegasnya.

Dana Bagi Hasil pun Belum Jelas
Di sisi lain, tuntutan sejumlah daerah, termasuk Sumut, agar segera ada jatah Dana Bagi Hasil (DBH) perkebunan pun belum menampakan hasil Sejatinya hal ini bukan cerita baru lagi.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pun sudah menyambutnya, dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) DBH. Anggota Pansus DBH DPD, Parlindungan Purba, menjelaskan, anggota DPD yang duduk di Pansus menyuarakan kepentingan daerah masing-masing. Ada yang menuntut alokasi DBH pariwisata, ada juga yang mendesak DBH khusus migas. “Nah, saya, sebagai wakil dari Sumut, mendorong agar ada DBH perkebunan,” ujar Parlindungan Purba kepada Sumut Pos di Jakarta, Rabu (11/7).

Saat ini Pansus DBH DPD ini terus melakukan pendalaman kajian, yang hasilnya nanti disorongkan ke DPR, yang punya kewenangan membahas perubahan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan, bersama pemerintah.

Sembari melakukan kajian, lobi-lobi informal terus dilakukan, baik dengan para anggota DPR maupun ke pihak pemerintah. Menkeu Agus Martowardojo, menurut Parlindungan, dalam pembicaraan informal dengannya, menyatakan setuju ada alokasi DBH perkebunan. “Menkeu bilang, boleh saja ada DBH perkebunan. Tapi kata Menkeu, ini menyangkut UU. Jadi UU-nya harus direvisi dulu,” terang Parlindungan.

Bagaimana komposisi pembagian hasil perkebunan pusat dengan daerah penghasil? Parlindungan mengatakan, Pansus DBH DPD belum sampai membahas soal angka. “Kita belum masuk ke hitung-hitungan angka,” cetusnya.

Selain Sumut, daerah lain yang juga getol memperjuangkan DBH perkebunan adalah Kalimantan Tengah (Kalteng). Anggota Pansus DBH DPD asal Kalteng, Hamdani pernah mengatakan, UU Nomor 33 Tahun 2004 tidak secara khusus mengatur tentang sektor perkebunan. Yang ada hanya secara umum yakni DBH sumber daya alam (SDA). Total perkebunan di Kalteng berjumlah 316 unit dengan luas 3.755.068 hektar.

DPR sendiri sudah menyalakan ‘lampu hijau’ untuk masalah DBH perkebunan ini. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz pernah mengatkan, area perkebunan kelapa sawit di Sumatera, khususnya Sumut dan Riau, terus berkembang pesat. Begitu pun di Kalimantan. Sementara, belum ada diatur secara khusus DBH perkebunan, terutama dari hasil ekspor CPO.

Sementara itu, Kepala Dinas (Kadis) Perkebunan Sumut, Aspan Sopian Batubara, mengatakan tidak adanya DBH perkebunan untuk Sumut karena tidak adanya respon Kemenkeu.
“Kita sudah memiliki kesepakatan dengan para gubernur lainnya, dan kita telah mengajukan ke pusat. Tapi belum direspon oleh Kemenkeu sampai saat ini,” akunya.

Desakan agar Pemprovsu mengupayakan dana bagi hasil perkebunan tersebut, dikemukakan anggota DPRD Sumut yang juga Wakil Ketua DPRD Sumut, HM Affan SS. “Kita jangan hanya memberikan hasil namun tidak menikmati hasil itu. Karena itu untuk pembangunan di Sumut,” tukasnya. (ram/sam/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/