Ramadhan Batubara
Indah hidup adalah ketika semuanya bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Ya, ketika tak ada uang, bisa utang di kantor; ketika hari panas, bisa kredit AC; ketika bulan puasa, jam kerja dikurangi secara legal; dan sebagainya. Hm, adakah yang lebih indah daripada itu?
Terus terang ini soal pengurangan jam kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) terkait Bulan Ramadan.
Ceritanya, selama bulan puasa para PNS dilegalkan untuk mempercepat jam kerjanya. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN&RB) Azwar Abubakar telah mengeluarkan surat edaran soal pengurangan jam kerja tersebut. Jam kerja kantor berkurang 1,5 jam dibanding biasanya. “Khususnya bagi PNS yang beragam Islam,” begitu katanya.
Membaca kabar itu saya sempat iri. Bagaimana tidak, bukankah sangat nikmat menjadi PNS? Ayolah, semua orang paham kalau PNS itu berseragam (konon di beberapa daerah ada yang mau tidak bergaji asal bekerja dengan seragam PNS), gaji naik tiap tahun (walau selalu diikuti kenaikan harga barang), gampang kredit (katanya karena bisa menggadaikan SK), terpandang di masyarakat (banyak orangtua mau anak gadisnya dilamar dengan PNS), dan sebagainya. Mungkin beberapa alasan di ataslah yang membuat posisi sebagai PNS begitu diincar. Maka, tidak berlebihan ketika ada lowongan menjadi PNS, orang berebut. Masalah hilang ladang di kampung untuk bisa masuk pun bukan masalah lagi.
Kini, dengan segala kemudahan dan marwah, PNS kembali mendapat kemudahan. Jam kerja dikurangi 1,5 jam. “Jangan sampai orang buka puasa di tengah jalan. Ini namanya toleransi, jadi wajar kalau lebih cepat satu jam (pulangnya),” tambah si bapak menteri.
Pertanyaannya, adakah itu tidak mengganggu kinerja? Terus terang, bagi saya, menjawab pertanyaan barusan bukanlah hal yang sulit. Jawabnya adalah tidak mengganggu. Pasalnya, pengurangan inikan hanya untuk yang Muslim, jadi yang bukan Muslim wajib kerja dengan jam normal. Kasarnya, beban kerja bisa dilimpahkan kepada para PNS yang bukan Muslim. Selesai.
Tapi, apakah yang bukan Muslim terima dengan hal itu? Maaf, ini bukan soal SARA. Ini lebih pada keprofesionalismean semata.
Nah, jika begitu pertanyaan ini yang repot dijawab. Pasalnya, ketika tidak ada insentif, maka mereka bisa saja menolak. Satu setengah jam itu kan bukan waktu yang singkat. Jadi, kapan mereka bisa mendapat kesempatan yang sama seperti yang Muslim? Ingat, ini soal masa kerja sebulan! Seandainya pemerintah menyediakan insentif, tentunya bukan masalah lagi bukan? Belum tentu, si Muslim juga bisa protes. Ya, sejauh mana pengawasan terhadap jam kerja itu pada yang bukan Muslim.
Bisa sajakan mereka mangkir. Maksudnya, mereka juga bisa pulang lebih cepat satu setengah jam seperti para Muslim. Dan, mereka akan dapat insentif. Tidak adilkan? Para Muslim tentu saja protes.
Repot juga memang menjadi PNS, eh, maksudnya berbicara soal jam kerja.
Meski begitu, yang menjadi catatan saya adalah soal pengurangan jam kerja pada PNS sejatinya tidak serumit itu. Secara umum PNS bukanlah pekerja yang berhubungan barang produksi bukan? Jadi, dia bisa mengeset kerjanya. Tidak seperti pekerja pabrik yang memang harus memproduksi barang dalam jam kerja yang ketat. Begitu juga dengan wartawan yang korannya tiap hari harus terbit. Nah, seandainya dia mangkir, maka produksi akan terhenti.
PNS cenderung berhubungan dengan pelayanan publik. Ketika pelayanan yang berhubungan dengan kesehatan dan sejenisnya, mungkin agak repot juga. Tapi, ketika pelayanan publik yang berurusan dengan surat menyurat, bukankah pemotongan jam kerja selama 1, 5 jam tidak begitu bermasalah?
“Ealah, hari biasa saja pulang jam dua!” teriak sisi otak saya yang lain. Bah, darimana pula saya bisa berpikir seperti itu, saya kan bukan PNS. Soal PNS kan harusnya PNS yang lebih tahu apa yang dia maui dan yang tidak dia maui. Jadi, kenapa saya sok tahu?
“Kalau tiap puasa berkurang satu jam, itu wajar dong. Itu bukan pemangkasan,” bela si bapak menteri. (*)