25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Nasib Pekerja Outsourcing

Oleh:Dr Suhrawardi K Lubis,SH SpN MH & I Anhar Nasution, SH

Persaingan dalam dunia bisnis membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dampak dari persaingan tersebut mendorong perusahaan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan efisiensi atau bahkan menekan biaya produksi sedemikian rupa.

Salah satu alternatif yang dilakukan perusahaan untuk menekan biaya tersebut adalah melakukan penghematan dalam pembiayaan sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan. Solusi mudah dan cepat untuk memenuhi keperluan SDM dengan biaya murah tersebut adalah dengan cara melakukan hubungan kerja sama dengan perusahaan penyedia jasa  tenaga kerja  (perusahaan outsourcing).

Dewasa ini banyak perusahaan yang tenaga kerjanya berasal dari tenaga outsourcing atau tenaga kontrak. Di suatu sore beberapa waktu lalu, penulis melewati daerah Kawasan Industri Medan (KIM).

Ketika itu terlihat banyak pekerja yang baru pulang dengan berjalan kaki menyusuri Jalan Medan-Belawan. Tampilan wajah mereka beragam, ada yang menatap dengan tatapan kosong, ada yang bercanda dan bergembira ria (kemungkinan besar mereka baru saja menerima gaji). Namun, di balik canda dan gembira ria tersebut terbersit raut wajah penuh kegetiran dalam menghadapi samudera kehidupan sebagai pekerja (buruh) kontrak/outsorcing.

Outsorcing Makin Marak
Saat ini, semakin banyak perusahaan memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya dengan cara mempekerjakan karyawan kontrak dan karyawan outsourcing. Pengadaan karyawan dengan cara ini, bila dilihat dari sudut pandang hukum formal Indonesia merupakan sesuatu yang wajar. Sebab apabila ditinjau dari segi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, rekruitmen tenaga kerja dengan cara itu dibolehkan.

Namun demikian, apabila diperhatikan dari sudut kemanusiaan, khususnya masa depan pekerja kontrak dan outsourcing akan penuh dengan ketidak pastian, demikin juga keluarganya. Sebab dengan status karyawan kontrak dan outsourcing, karyawan tidak mendapat kepastian kerja dari perusahaan di tempat mana ia bekerja. Sebab pekerja kontrak dan outsourcing dengan leluasa dapat digonta-ganti apabila perusahaan tidak puas ataupun disebabkan ada faktor like and dislike.

Selain itu, perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerja sama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan agar apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource.

Lazimnya pula, upah kerja dalam hubungan kerja outsourcing sangat minim. Untuk itu sering dipelesetkan bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi upah Maksimum Provinsi. Intinya, tidak ada peningkatan penghasilan dan jaminan sosial. Kalaupun ada hanya sebatas minimal.

Selain itu, pekerja kontrak dan outsourcing tidak memiliki jaminan pengembangan karir, sehingga benar adanya kalau dikatakan bahwa praktek outsourcing akan membuat kaburnya hubungan industrial. Kaburnya hubungan industrial akan mengakibatkan kaburnya masa depan pekerja dan keluarganya.

Pernahkah terpikir bagaimana masa depan seseorang pekerja dan keluarganya jika menjadi karyawan outsourcing? Bila usia pekerja outsourcing sudah mendekati usia 50 tahun, apakah ada lagi perusahaan yang mau mempekerjakan mereka pada usia tersebut? Tentu saja sudah jarang! Coba bayangkan bagaimana masa depan pekerja tersebut dan keluarganya.

Padahal, pada masa bekerjapun ia tidak dapat menyisihkan gajinya untuk simpanan hari tua. Bagaimana mungkin dapat menyimpan, karena kebutuhan hidup yang dapat dipenuhipun hanya kebutuhan minimum saja. Pendek kata, sistem outsourcing yang terjadi di Indonesia dapat diibaratkan sebagai perbudakan modern dengan mengatasnamakan globalisasi dan kepastian investasi.

Dari sisi kepentingan pengusaha, tentulah perusahaan akan lebih senang mempekerjakan karyawan secara outsourcing. Sebab, dengan cara ini perusahaan dapat melakukan efiensi bahkan menekan biaya untuk sumber daya manusianya dan tetunya ini akan sangat menguntungkan bagi pengusaha. Sebaliknya menurut pemikiran pengusaha, apabila tenaga kerja merupakan tenaga tetap, maka pekerja selalu menuntut gaji yang lebih tinggi tanpa meningkatkan produktivitasnya.

Menururt pikiran pengusaha, dengan status karyawan tetap akan kesulitan melakukan pemutusan hubungan kerja, karena harus membayar banyak kewajiban seperti uang pesangon dan lain- lain.

Inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa pengusaha enggan mempekerjakan karyawan dengan status karyawan tetap dan kemudian ini pulalah yang menjadi pendorong suburnya bisnis penyediaan jasa tenaga outsourcing.

Dari paparan diatas, dapat dikemukakan bahwa apa yang menjadi tuntutan para pekerja Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk merubah UU Ketenagakerjaan, terutama menghapuskan sistem rekruitmen pekerja dengan cara outsourcing merupakan sesuatu yang wajar.

Sebab Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 ternyata belum mampu untuk melindungi kepentingan pekerja terutama pekerja kontrak atau outsourcing. Artinya  undang-undang yang ada masih perlu dilakukan penyempurnaan sedemikian rupa, sehingga menjadi Undang-Undang yang berkeadilan untuk semua.

Salah satu harapan untuk melindungi kepentingan pekerja terutama pekerja kontrak/outsourcing tentunya tertuju kepada Pemerintah dan DPR. Pemerintah dan DPR diharapkan rela hati untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia. Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia diharapkan bukan hanya dapat mengakomodir kepentingan pengusaha, akan tetapi juga dapat melindungi kepentingan pekerja dan keluarganya.

Bila revisi Undang-Undang tenaga kerja ini tidak mendapat perhatian dari Pemerintah dan DPR dan/atau tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap kesejahteraan buruh/pekerja, harapan hanya mungkin dapat digantungkan pada Mahkamah Konstitusi.

Penulis adalah Dosen & mahasiswa PMIH UMSU

Oleh:Dr Suhrawardi K Lubis,SH SpN MH & I Anhar Nasution, SH

Persaingan dalam dunia bisnis membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dampak dari persaingan tersebut mendorong perusahaan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan efisiensi atau bahkan menekan biaya produksi sedemikian rupa.

Salah satu alternatif yang dilakukan perusahaan untuk menekan biaya tersebut adalah melakukan penghematan dalam pembiayaan sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan. Solusi mudah dan cepat untuk memenuhi keperluan SDM dengan biaya murah tersebut adalah dengan cara melakukan hubungan kerja sama dengan perusahaan penyedia jasa  tenaga kerja  (perusahaan outsourcing).

Dewasa ini banyak perusahaan yang tenaga kerjanya berasal dari tenaga outsourcing atau tenaga kontrak. Di suatu sore beberapa waktu lalu, penulis melewati daerah Kawasan Industri Medan (KIM).

Ketika itu terlihat banyak pekerja yang baru pulang dengan berjalan kaki menyusuri Jalan Medan-Belawan. Tampilan wajah mereka beragam, ada yang menatap dengan tatapan kosong, ada yang bercanda dan bergembira ria (kemungkinan besar mereka baru saja menerima gaji). Namun, di balik canda dan gembira ria tersebut terbersit raut wajah penuh kegetiran dalam menghadapi samudera kehidupan sebagai pekerja (buruh) kontrak/outsorcing.

Outsorcing Makin Marak
Saat ini, semakin banyak perusahaan memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya dengan cara mempekerjakan karyawan kontrak dan karyawan outsourcing. Pengadaan karyawan dengan cara ini, bila dilihat dari sudut pandang hukum formal Indonesia merupakan sesuatu yang wajar. Sebab apabila ditinjau dari segi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, rekruitmen tenaga kerja dengan cara itu dibolehkan.

Namun demikian, apabila diperhatikan dari sudut kemanusiaan, khususnya masa depan pekerja kontrak dan outsourcing akan penuh dengan ketidak pastian, demikin juga keluarganya. Sebab dengan status karyawan kontrak dan outsourcing, karyawan tidak mendapat kepastian kerja dari perusahaan di tempat mana ia bekerja. Sebab pekerja kontrak dan outsourcing dengan leluasa dapat digonta-ganti apabila perusahaan tidak puas ataupun disebabkan ada faktor like and dislike.

Selain itu, perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerja sama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan agar apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource.

Lazimnya pula, upah kerja dalam hubungan kerja outsourcing sangat minim. Untuk itu sering dipelesetkan bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi upah Maksimum Provinsi. Intinya, tidak ada peningkatan penghasilan dan jaminan sosial. Kalaupun ada hanya sebatas minimal.

Selain itu, pekerja kontrak dan outsourcing tidak memiliki jaminan pengembangan karir, sehingga benar adanya kalau dikatakan bahwa praktek outsourcing akan membuat kaburnya hubungan industrial. Kaburnya hubungan industrial akan mengakibatkan kaburnya masa depan pekerja dan keluarganya.

Pernahkah terpikir bagaimana masa depan seseorang pekerja dan keluarganya jika menjadi karyawan outsourcing? Bila usia pekerja outsourcing sudah mendekati usia 50 tahun, apakah ada lagi perusahaan yang mau mempekerjakan mereka pada usia tersebut? Tentu saja sudah jarang! Coba bayangkan bagaimana masa depan pekerja tersebut dan keluarganya.

Padahal, pada masa bekerjapun ia tidak dapat menyisihkan gajinya untuk simpanan hari tua. Bagaimana mungkin dapat menyimpan, karena kebutuhan hidup yang dapat dipenuhipun hanya kebutuhan minimum saja. Pendek kata, sistem outsourcing yang terjadi di Indonesia dapat diibaratkan sebagai perbudakan modern dengan mengatasnamakan globalisasi dan kepastian investasi.

Dari sisi kepentingan pengusaha, tentulah perusahaan akan lebih senang mempekerjakan karyawan secara outsourcing. Sebab, dengan cara ini perusahaan dapat melakukan efiensi bahkan menekan biaya untuk sumber daya manusianya dan tetunya ini akan sangat menguntungkan bagi pengusaha. Sebaliknya menurut pemikiran pengusaha, apabila tenaga kerja merupakan tenaga tetap, maka pekerja selalu menuntut gaji yang lebih tinggi tanpa meningkatkan produktivitasnya.

Menururt pikiran pengusaha, dengan status karyawan tetap akan kesulitan melakukan pemutusan hubungan kerja, karena harus membayar banyak kewajiban seperti uang pesangon dan lain- lain.

Inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa pengusaha enggan mempekerjakan karyawan dengan status karyawan tetap dan kemudian ini pulalah yang menjadi pendorong suburnya bisnis penyediaan jasa tenaga outsourcing.

Dari paparan diatas, dapat dikemukakan bahwa apa yang menjadi tuntutan para pekerja Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk merubah UU Ketenagakerjaan, terutama menghapuskan sistem rekruitmen pekerja dengan cara outsourcing merupakan sesuatu yang wajar.

Sebab Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 ternyata belum mampu untuk melindungi kepentingan pekerja terutama pekerja kontrak atau outsourcing. Artinya  undang-undang yang ada masih perlu dilakukan penyempurnaan sedemikian rupa, sehingga menjadi Undang-Undang yang berkeadilan untuk semua.

Salah satu harapan untuk melindungi kepentingan pekerja terutama pekerja kontrak/outsourcing tentunya tertuju kepada Pemerintah dan DPR. Pemerintah dan DPR diharapkan rela hati untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia. Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia diharapkan bukan hanya dapat mengakomodir kepentingan pengusaha, akan tetapi juga dapat melindungi kepentingan pekerja dan keluarganya.

Bila revisi Undang-Undang tenaga kerja ini tidak mendapat perhatian dari Pemerintah dan DPR dan/atau tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap kesejahteraan buruh/pekerja, harapan hanya mungkin dapat digantungkan pada Mahkamah Konstitusi.

Penulis adalah Dosen & mahasiswa PMIH UMSU

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/