26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Rohingya Dalam Konstalasi Politik Internasional

Oleh: Muhaimin Z.Achsin

Analisis konflik ini memakai Onion model (model yang melihat konflik sebagai bawang yang memiliki lapisan-lapisan) yang lebih kompleks dari yang diperkenalkan oleh Galtung dengan memposisikan bagian lapisan-lapisan (layers onion) sebagai tempat agent/aktor (perspektif gerak bolak-balik subjek-objek) serta posisi dan kepentingan yang terhubung agar dapat menjelaskan dimensi politik dan ekonomi pada saat yang bersamaan. Mengupas bawang dari lapisan terluar sampai kedalam.

Pada area permukaan konflik Rohingya ini menjadi isu sektarian semata (dimana mayor menyerang minor) dengan menggali sejarah dari kaum Rohingnya dan tahun pemerintah berkuasa. Pertanyaanpun kita majukan selangkah mengapa diskriminasi minoritas Rohingya “baru” mendapatkan  perhatian publik/dunia akhir-akhir ini.

Dalam tulisan ini titik analisanya untuk menjawab pertanyaan tersebut dan darinya diperoleh sebuah  hipotesa awal bahwa konflik ini melebihi dari konflik sektarian maupun rasis semata tetapi mempunyai dimensi politik dan ekonomi yang terhubung dengan konstalasi politik internasional. Hipotesa itu dibangun oleh sub-sub hipotesa sebagai berikut dengan tidak melihat trigger konflik sebagai satu-satunya causalitas:

Lapisan permukaan: sektarian/rasisme

Dari  perspektif Mayoritas melihat minoritas sebagai “threat” (ancaman). Seiring menguatnya sell jaringan komunitas Rohingnya (ARNO dan ARU) baik dari fund maupun sinyalemen interkoneksi dengan jaringan Taliban dan organisasi Islam radikal Asia Tenggara. Ancaman disini disimulasikan seperti aktivitas Moro di Filipina. Narasi pun diperkuat dengan mencoba mencari kesejarahan dan menyalahkan British Settlement yang memberikan tempat bagi mereka yang berujung pada narasi orang Rohingya bukan merupakan penduduk asli Burma akibatnya blaming the victims. Konflik sektarian/rasis sebelumnya dan stigmasisasi Muslim offensif memperparah konstruksi pemikiran mayoritas ini dan berdampak pada tindakan yang diambil.

Dari perspektif minoritas Rohingya mereka menginginkan hidup berdampingan dengan penduduk mayoritas karena keberadaan mereka sudah ada sejak lama. Perjuangan minoritas ialah mendapatkan pengakuan, perlindungan dan hak yang sama dengan mayoritas dalam territorial Burma maka dari itu mereka membuat organisasi sebagai penyatu dan berharap punya bargaining position dengan berjejaring dalam menyuarakan hak. Dan adapun perjuangan membentuk wilayah sendiri disinyalir segelintir elit politik.

Lapisan Pertengahan: Negara ( Junta vs Demokratis)

Perspektif Junta: Pemerintahan Burma yang berbentuk Junta (dipimpin oleh militer) yang sekarang menduduki posisi strategis di ASEAN berpresepsi internasionalisasi issu ini mengancam legitimasi kekuasaan mereka sebagai pemerintahan resmi negara dengan formasi Junta. Posisi ini tidak menguntungkan mereka, jika sampai digulingkan maka kantong-kantong mata pencaharian mereka juga turut hilang terkecuali memakai pola umum yaitu pihak pimpinan militer oportunis (berbisnis) ber fusi kembali ke dalam pemerintahan demokratis (menjadi koalisi palsu untuk mengamankan kepentingan).

Dengan Internasionalisasi issu ini maka Junta semakin rentan untuk mendapat intervensi maupun pressure internasional. Jadi dalam hal ini kepentingan Junta untuk melokalisasi issu menjadi perlu ataupun dengan peredaman konflik dengan memperlihatkan pihak internasional mereka bekerja keras untuk meredam konflik dengan cara mengundang organisasi internasional untuk masuk dan mengawasi.

Perspektif demokrasi: Perjuangan demokrasi di Burma di representasikan pada seorang tokoh Aung San Suu Kyi. Dalam hal ini demokrasi mendapat celah ataupun momentum untuk membeberkan kondisi objektif negaranya di bawah rezim represif militer Junta yang selama ini bekuasa. Suu Kyi dilihat sebagai tokoh politik yang mempunyai massa (dalam hal ini pihak Mayoritas) makanya dalam berbagai kesempatannya “tampaknya” Suu Kyi tidak terlalu berpihak kepada minoritas dalam pembicaraannya karena kekwatiran akan kehilangan simpati Mayoritas rakyat Burma ataupun kontra produktif dengan perjuangan demokrasi yang dibangun. Dengan hadiah Nobel tampaknya secara implicit internasional menaruh perhatian pada demokratisasi di Burma kedepannya dan khususnya kunjungannya pertamanya ke Inggris.

Lapisan Inti: Eksternalist (China-AS-UK)

Inti disini bisa diartikan yang terbesar/terdalam/yang tidak kelihatan, ketika ekonomi bertemu politik. Dari energy perspective kita dapat melihat sesuatu dari arah berbeda. Kepentingan ekonomi ada dibelakang dan sifatnya menyetir walaupun hal tersebut bukan menjadi satu-satunya faktor tetapi sangat signifikan untuk melihat ke arah mana bola panas mengarah. Untuk Myanmar/Burma sendiri khususnya Arakan yang menjadi region dimana di dalamnya konflik terjadi, menurut Arakanoilwatch.org daerahnya mengandung 22.5 trillion cubic feet (tcf) gas dan mineral berharga lainnya.

China dalam hal ini dihubungkan karena kedekatannya (baik secara geografis maupun politik) dengan pemerintahan Junta sebagai salah satu bukti perusahaan CNOOC (China memainkan peranan mayor dalam industri migas di Burma). Dalam hal domestik Burma, mengganti Junta ke Demokratis artinya menggeser posisi China ke koalisi demokrasi AS-UK (dan sekutu yang lain(pro demokratis) dengan konsesi asistensi pembangunan demokratis (utang pembangunan) dan terutama untuk pengelolaan daerah pertambangan migas dan non-migas dijanjikan lebih terbuka dan adil buat masyarakat.
Narasi ini menjadi jual-beli karena dilukiskan kondisi pemerintahan Junta penuh fraud dan corruption. Kepentingan kebebasan bersuara dan politik masyarakat domestik yang selama ini dibatasi bak bagai gayung bersambut dengan demokrasi yang dijanjikan ini.

Untuk lebih luas lagi membaca kepentingan ekonomi ini yang berusaha di kawinkan dengan politik sebagai suatu tindakan yaitu menghadirkan para “pejuang demokrasi” (AS dan sekutunya dalam hal ini UK (Inggris) karena kedekatan sejarah dan konsesi perusahaan migas) dalam konstalasi politik domestik Burma terutama pada bagian politik regional Asia Tenggara merupakan suatu ancaman bagi China. Hal ini dilihat dari naiknya tensi perebutan wilayah “Laut China Selatan” yang mengandung begitu besar potensi minyak dan gas dimana China menjadi kekuatan oposisi besar bagi ASEAN dalam menyelesaikan sengketanya berbasis normatif UNCLOS.

Posisi “Laut China Selatan” merupakan nilai ke ekonomian tingkat tertinggi dari ekspektasi berperan lebihnya para  hegemon dalam konstalasi politik Asia Tenggara.  Pendek kata dilemma domestik Myanmar kini ada di dua arah jalan serupa dengan kondisi Indonesia 1998 (otoriter atau ke demokratis-neoliberal) dan siapa pemenangnya? kita dapat melihatnya nanti tetapi jika dikalkulasi perubahan akan terjadi. Aksi menunjukkan hegemony dengan “membantu” salah satu pihak ini bukannya tindakan altruistic tetapi mempunyai kepentingan politik dan ekonomi besar dan jangka panjang
Membaca aspek transfer ide sebagai bagian yang terkadang tidak terlihat oleh umum, yaitu: pertama, jika reaksioner dari fundamentalis Islam dari berbagai jaringan yang dianggap “terrorist” ini maka akan memperkuat discourse moslem as terrorist tentunya ini akan berosonansi lebih luas dari yang di kalkulasi yaitu selain penegasan diskursus semacam itu (stigmasisasi muslim) akan memperkuat pendudukan negara-negara oleh pasukan koalisi seperti NATO (eksistensi dipertahankan) untuk terus melaksanakan kebijakan paranoia “terrorist” yang dimplementasikan di hampir semua negara sekarang ini tidak terkecuali Indonesia. Untuk bargaining NATO kita teringat oleh konflik south Ossetia 2008 lalu yang pas juga bertepatan Olimpiade di Beijing.

Kedua, transfer ide akan semakin menguatkan discource  dalam termin democratic peace theory yang dianut baik regional maupun global. Yaitu dibawah kondisi demokratis negara lebih stabil, konflik ataupun ancaman perang negara dapat dikurangi. Akibatnya transfer ide pembenaran peperangan atas nama  demokrasi baik secara moral dan etika terjadi. Demokrasi yang dipraktekkan negara-negara berkembangpun terlalu banyak bermain di lapisan permukaan yaitu kebebasan berbicara dan berpolitik secara emosional serta mengesampingkan partisipasi rasional aktif rakyat untuk mengawasi masyarakat untuk mencegah keadaan social-economic injustice dan mewujudkan distribusi kekayaan merata untuk mengurangi kemiskinan.

Sebagai solusi jangka pendek bagi individu dengan keterbatasan ruang dan gerak bisa memberikan bantuan solidaritas ke organ-organ sosial yang akan/telah masuk ke wilayah konflik yang difasilitasi kedutaan untuk melakukan kerja sosial dan tim pemantau. Untuk pemerintah pusat ataupun daerah selain “mengutuk” ialah memperbolehkan/menampung para refugees/pengungsi dimanapun pengungsi berlabuh walaupun dapat menimbulkan konflik lebih kecil tetapi demi kemanusiaan hal itu harus dilakukan.

Tulisan ini untuk menambah daya analisis wacana agar tidak terjebak apalagi sampai memproduksi embrio kebencian kemudian menyalahkan “agama” karena tindakan ini merupakan suatu Fatalis. Mengajak untuk tetap membaca kondisi objektif  lebih dalam dengan melihat aktornya dan struktur konfliknya terlebih pada produksi konflik serta masalah sosial dan ekonomi lainnya. Keharusan untuk meng counter narasi dominan Hungtington tentang “clash of civilization” usaha membenturkan agama, mendekonstruksinya agar menjadi “Harmony of civilization” karena dunia milik semua mahluk hidup dan essensi dari toleransi ialah Majority for minority (mayoritas melindungi minoritas/ kuat melindungi yang lemah).

Penulis: Mahasiswa pasca-Sarjana Hubungan Internasional Fisip UGM

Oleh: Muhaimin Z.Achsin

Analisis konflik ini memakai Onion model (model yang melihat konflik sebagai bawang yang memiliki lapisan-lapisan) yang lebih kompleks dari yang diperkenalkan oleh Galtung dengan memposisikan bagian lapisan-lapisan (layers onion) sebagai tempat agent/aktor (perspektif gerak bolak-balik subjek-objek) serta posisi dan kepentingan yang terhubung agar dapat menjelaskan dimensi politik dan ekonomi pada saat yang bersamaan. Mengupas bawang dari lapisan terluar sampai kedalam.

Pada area permukaan konflik Rohingya ini menjadi isu sektarian semata (dimana mayor menyerang minor) dengan menggali sejarah dari kaum Rohingnya dan tahun pemerintah berkuasa. Pertanyaanpun kita majukan selangkah mengapa diskriminasi minoritas Rohingya “baru” mendapatkan  perhatian publik/dunia akhir-akhir ini.

Dalam tulisan ini titik analisanya untuk menjawab pertanyaan tersebut dan darinya diperoleh sebuah  hipotesa awal bahwa konflik ini melebihi dari konflik sektarian maupun rasis semata tetapi mempunyai dimensi politik dan ekonomi yang terhubung dengan konstalasi politik internasional. Hipotesa itu dibangun oleh sub-sub hipotesa sebagai berikut dengan tidak melihat trigger konflik sebagai satu-satunya causalitas:

Lapisan permukaan: sektarian/rasisme

Dari  perspektif Mayoritas melihat minoritas sebagai “threat” (ancaman). Seiring menguatnya sell jaringan komunitas Rohingnya (ARNO dan ARU) baik dari fund maupun sinyalemen interkoneksi dengan jaringan Taliban dan organisasi Islam radikal Asia Tenggara. Ancaman disini disimulasikan seperti aktivitas Moro di Filipina. Narasi pun diperkuat dengan mencoba mencari kesejarahan dan menyalahkan British Settlement yang memberikan tempat bagi mereka yang berujung pada narasi orang Rohingya bukan merupakan penduduk asli Burma akibatnya blaming the victims. Konflik sektarian/rasis sebelumnya dan stigmasisasi Muslim offensif memperparah konstruksi pemikiran mayoritas ini dan berdampak pada tindakan yang diambil.

Dari perspektif minoritas Rohingya mereka menginginkan hidup berdampingan dengan penduduk mayoritas karena keberadaan mereka sudah ada sejak lama. Perjuangan minoritas ialah mendapatkan pengakuan, perlindungan dan hak yang sama dengan mayoritas dalam territorial Burma maka dari itu mereka membuat organisasi sebagai penyatu dan berharap punya bargaining position dengan berjejaring dalam menyuarakan hak. Dan adapun perjuangan membentuk wilayah sendiri disinyalir segelintir elit politik.

Lapisan Pertengahan: Negara ( Junta vs Demokratis)

Perspektif Junta: Pemerintahan Burma yang berbentuk Junta (dipimpin oleh militer) yang sekarang menduduki posisi strategis di ASEAN berpresepsi internasionalisasi issu ini mengancam legitimasi kekuasaan mereka sebagai pemerintahan resmi negara dengan formasi Junta. Posisi ini tidak menguntungkan mereka, jika sampai digulingkan maka kantong-kantong mata pencaharian mereka juga turut hilang terkecuali memakai pola umum yaitu pihak pimpinan militer oportunis (berbisnis) ber fusi kembali ke dalam pemerintahan demokratis (menjadi koalisi palsu untuk mengamankan kepentingan).

Dengan Internasionalisasi issu ini maka Junta semakin rentan untuk mendapat intervensi maupun pressure internasional. Jadi dalam hal ini kepentingan Junta untuk melokalisasi issu menjadi perlu ataupun dengan peredaman konflik dengan memperlihatkan pihak internasional mereka bekerja keras untuk meredam konflik dengan cara mengundang organisasi internasional untuk masuk dan mengawasi.

Perspektif demokrasi: Perjuangan demokrasi di Burma di representasikan pada seorang tokoh Aung San Suu Kyi. Dalam hal ini demokrasi mendapat celah ataupun momentum untuk membeberkan kondisi objektif negaranya di bawah rezim represif militer Junta yang selama ini bekuasa. Suu Kyi dilihat sebagai tokoh politik yang mempunyai massa (dalam hal ini pihak Mayoritas) makanya dalam berbagai kesempatannya “tampaknya” Suu Kyi tidak terlalu berpihak kepada minoritas dalam pembicaraannya karena kekwatiran akan kehilangan simpati Mayoritas rakyat Burma ataupun kontra produktif dengan perjuangan demokrasi yang dibangun. Dengan hadiah Nobel tampaknya secara implicit internasional menaruh perhatian pada demokratisasi di Burma kedepannya dan khususnya kunjungannya pertamanya ke Inggris.

Lapisan Inti: Eksternalist (China-AS-UK)

Inti disini bisa diartikan yang terbesar/terdalam/yang tidak kelihatan, ketika ekonomi bertemu politik. Dari energy perspective kita dapat melihat sesuatu dari arah berbeda. Kepentingan ekonomi ada dibelakang dan sifatnya menyetir walaupun hal tersebut bukan menjadi satu-satunya faktor tetapi sangat signifikan untuk melihat ke arah mana bola panas mengarah. Untuk Myanmar/Burma sendiri khususnya Arakan yang menjadi region dimana di dalamnya konflik terjadi, menurut Arakanoilwatch.org daerahnya mengandung 22.5 trillion cubic feet (tcf) gas dan mineral berharga lainnya.

China dalam hal ini dihubungkan karena kedekatannya (baik secara geografis maupun politik) dengan pemerintahan Junta sebagai salah satu bukti perusahaan CNOOC (China memainkan peranan mayor dalam industri migas di Burma). Dalam hal domestik Burma, mengganti Junta ke Demokratis artinya menggeser posisi China ke koalisi demokrasi AS-UK (dan sekutu yang lain(pro demokratis) dengan konsesi asistensi pembangunan demokratis (utang pembangunan) dan terutama untuk pengelolaan daerah pertambangan migas dan non-migas dijanjikan lebih terbuka dan adil buat masyarakat.
Narasi ini menjadi jual-beli karena dilukiskan kondisi pemerintahan Junta penuh fraud dan corruption. Kepentingan kebebasan bersuara dan politik masyarakat domestik yang selama ini dibatasi bak bagai gayung bersambut dengan demokrasi yang dijanjikan ini.

Untuk lebih luas lagi membaca kepentingan ekonomi ini yang berusaha di kawinkan dengan politik sebagai suatu tindakan yaitu menghadirkan para “pejuang demokrasi” (AS dan sekutunya dalam hal ini UK (Inggris) karena kedekatan sejarah dan konsesi perusahaan migas) dalam konstalasi politik domestik Burma terutama pada bagian politik regional Asia Tenggara merupakan suatu ancaman bagi China. Hal ini dilihat dari naiknya tensi perebutan wilayah “Laut China Selatan” yang mengandung begitu besar potensi minyak dan gas dimana China menjadi kekuatan oposisi besar bagi ASEAN dalam menyelesaikan sengketanya berbasis normatif UNCLOS.

Posisi “Laut China Selatan” merupakan nilai ke ekonomian tingkat tertinggi dari ekspektasi berperan lebihnya para  hegemon dalam konstalasi politik Asia Tenggara.  Pendek kata dilemma domestik Myanmar kini ada di dua arah jalan serupa dengan kondisi Indonesia 1998 (otoriter atau ke demokratis-neoliberal) dan siapa pemenangnya? kita dapat melihatnya nanti tetapi jika dikalkulasi perubahan akan terjadi. Aksi menunjukkan hegemony dengan “membantu” salah satu pihak ini bukannya tindakan altruistic tetapi mempunyai kepentingan politik dan ekonomi besar dan jangka panjang
Membaca aspek transfer ide sebagai bagian yang terkadang tidak terlihat oleh umum, yaitu: pertama, jika reaksioner dari fundamentalis Islam dari berbagai jaringan yang dianggap “terrorist” ini maka akan memperkuat discourse moslem as terrorist tentunya ini akan berosonansi lebih luas dari yang di kalkulasi yaitu selain penegasan diskursus semacam itu (stigmasisasi muslim) akan memperkuat pendudukan negara-negara oleh pasukan koalisi seperti NATO (eksistensi dipertahankan) untuk terus melaksanakan kebijakan paranoia “terrorist” yang dimplementasikan di hampir semua negara sekarang ini tidak terkecuali Indonesia. Untuk bargaining NATO kita teringat oleh konflik south Ossetia 2008 lalu yang pas juga bertepatan Olimpiade di Beijing.

Kedua, transfer ide akan semakin menguatkan discource  dalam termin democratic peace theory yang dianut baik regional maupun global. Yaitu dibawah kondisi demokratis negara lebih stabil, konflik ataupun ancaman perang negara dapat dikurangi. Akibatnya transfer ide pembenaran peperangan atas nama  demokrasi baik secara moral dan etika terjadi. Demokrasi yang dipraktekkan negara-negara berkembangpun terlalu banyak bermain di lapisan permukaan yaitu kebebasan berbicara dan berpolitik secara emosional serta mengesampingkan partisipasi rasional aktif rakyat untuk mengawasi masyarakat untuk mencegah keadaan social-economic injustice dan mewujudkan distribusi kekayaan merata untuk mengurangi kemiskinan.

Sebagai solusi jangka pendek bagi individu dengan keterbatasan ruang dan gerak bisa memberikan bantuan solidaritas ke organ-organ sosial yang akan/telah masuk ke wilayah konflik yang difasilitasi kedutaan untuk melakukan kerja sosial dan tim pemantau. Untuk pemerintah pusat ataupun daerah selain “mengutuk” ialah memperbolehkan/menampung para refugees/pengungsi dimanapun pengungsi berlabuh walaupun dapat menimbulkan konflik lebih kecil tetapi demi kemanusiaan hal itu harus dilakukan.

Tulisan ini untuk menambah daya analisis wacana agar tidak terjebak apalagi sampai memproduksi embrio kebencian kemudian menyalahkan “agama” karena tindakan ini merupakan suatu Fatalis. Mengajak untuk tetap membaca kondisi objektif  lebih dalam dengan melihat aktornya dan struktur konfliknya terlebih pada produksi konflik serta masalah sosial dan ekonomi lainnya. Keharusan untuk meng counter narasi dominan Hungtington tentang “clash of civilization” usaha membenturkan agama, mendekonstruksinya agar menjadi “Harmony of civilization” karena dunia milik semua mahluk hidup dan essensi dari toleransi ialah Majority for minority (mayoritas melindungi minoritas/ kuat melindungi yang lemah).

Penulis: Mahasiswa pasca-Sarjana Hubungan Internasional Fisip UGM

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/