32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Kerinduan dengan Luka di Kaki

Makkah-Aqsa-Baghdad (2)

’’Dari Indonesia,’’ jawab saya.
’’Muslim?’’ tanya tentara Israel bersenjata itu.
’’Yes,’’ jawab saya.

Kami pun bisa dengan mudah melewati gerbang tua dengan tembok yang tebal dan kukuh itu. Gerbang yang dijaga tentara Israel bersenjata. Itulah gerbang masuk ke kawasan yang luasnya sekitar 10 lapangan sepak bola. Yang di dalamnya terdapat taman dan pepohonan. Di tengah taman itu terdapat masjid besar berkubah kuning. Itulah Masjid Kubah Batu. Tidak jauh dari situ, terlihat satu masjid besar lagi: itulah Masjid Al Aqsa. Tembok yang mengelilingi kawasan itu terlihat tinggi, tebal, dan terkesan sangat kuno. Dari luar, tembok tersebut tidak terlihat karena tertutup perkampungan yang padat, yang sampai menempel ke tembok.

Dari arah Kota Jerusalem, untuk mencapai gerbang itu, harus jalan kaki melewati gang-gang kecil yang sambung-menyambung. Juga naik turun dan berliku-liku. Itulah perkampungan yang hampir 100 persen penduduknya merupakan warga Palestina. Tukang cukur, penjual makanan dan mainan anak-anak, serta toko kelontong terlihat di sepanjang gang itu. Melewati gang-gang menuju gerbang Baitul Maqdis, saya teringat bagaimana masuk ke Masjid Ampel Surabaya yang harus melewati kampung Arab yang padat. Ya mirip itulah.

Bagi penduduk kampung itu, tidak ada larangan apa pun untuk melewati gerbang tersebut. Mereka memiliki KTP berwarna biru. Mereka bisa salat di Baitul Maqdis (baik di Masjid Kubah Batu maupun di Masjid Al Aqsa) kapan saja. Tapi, bagi warga di luar kampung tua tersebut, ada peraturan khusus: yang berumur kurang dari 40 tahun tidak boleh masuk. Otomatis juga dilarang salat di sana. Untuk mengontrol mereka, warna KTP-nya dibedakan: hijau. Itu merupakan dalih Israel untuk mencegah berkumpulnya pejuang Palestina dari berbagai penjuru di Masjid Al Aqsa.

Ada tujuh gerbang masuk ke kawasan Baitul Maqdis tersebut. Semua terhubung dengan gang-gang kecil perkampungan padat Palestina. Semua dijaga tentara Israel bersenjata. Kalau saja lebih terurus, kawasan di dalam tembok tua tersebut akan sangat indah. Taman-tamannya yang luas dipisahkan jalan-jalan kecil yang terbuat dari batu. Hanya, kurang rapi dan kurang bersih.

Hari itu, hari ke-28 bulan puasa, saya tiba di sana langsung dari perbatasan Israel-Jordania. Saya tidak mampir hotel dengan maksud mengejar salat Duhur berjamaah. Tapi telat.  Tapi, ada hikmahnya. Saya bisa salat Duhur bersama keluarga di Masjid Kubah Batu. Laki-laki memang hanya diizinkan memasuki Masjid Kubah Batu di antara waktu duhur dan asar. Masjid Kubah Batu itu istimewa karena ada bukit batu di tengah-tengahnya. Bukit batu tersebut dikelilingi tembok setinggi 3 meter, sehingga jamaah di sana seperti berjajar melingkarinya.

Dari atas bukit batu itulah Nabi Muhammad SAW ’’naik’’ ke Sidratul Muntaha, menghadap Allah SWT. Yakni, untuk menerima perintah kewajiban menjalankan salat lima kali sehari. Peristiwa itu terjadi pada malam tanggal 27 Rajab, yang kemudian tiap tahun diperingati sebagai Isra Mikraj.  Waktu peristiwa Isra Mikraj itu terjadi, tentu belum ada bangunan apa pun di situ. Masjid Kubah Batu tersebut baru dibangun belakangan. Di bawah bukit batu tersebut terdapat pula gua yang besarnya cukup untuk bersembunyi 10 orang. Konon, Nabi Ibrahim yang menggalinya.

Kini masjid Kubah Batu hanya untuk perempuan. Imamnya ikut imam Masjid Al Aqsa dengan pengeras suara yang dialirkan ke masjid itu. Jarak Masjid Kubah Batu dengan Masjid Al Aqsa memang hanya sekitar 300 meter. Al Aqsa lebih di bawah.

Tiga Risiko

Seusai salat Duhur di Masjid Kubah Batu, kami jalan-jalan melihat sisi luar tembok kuno yang mengelilingi kawasan tersebut. Ada satu kawasan di luar tembok yang bisa dibebaskan dari perumahan Palestina. Itulah bagian luar tembok yang kemudian dijadikan tempat ibadah orang Yahudi. Mereka antre menuju tembok itu, menangis dan meratap di situ.

Sore itu kami salat Asar di Masjid Al Aqsa. Waktu magrib kami ke masjid itu lagi. Disambung salat Isya dan Tarawih. Tarawih di sana sama dengan di Makkah, yakni 20 rakaat. Bacaan suratnya pun sangat panjang. Tapi lebih cepat. Bedanya, di setiap habis dua rakaat diselingi salawat Nabi. Jamaah Tarawih malam itu sekitar 1.500 orang. Hanya, setiap selesai dua rakaat, ada saja yang meninggalkan masjid. Selesai rakaat ke-10, tinggal separo masjid terisi.

Di Al Aqsa, mayoritas jamaah mengenakan celana biasa (banyak bercelana jins atau celana anak muda setengah kaki). Hanya beberapa orang yang mengenakan penutup kepala. Menjelang subuh, saya ke Masjid Al Aqsa lagi. Genaplah saya salat lima waktu di Al Aqsa. Menjelang matahari terbit, saya duduk-duduk di pelataran masjid. Demikian juga puluhan anak muda. Udaranya sejuk. Pepohonan besar terasa seperti mengeluarkan oksigen lebih banyak.

Saat duduk-duduk itulah saya tahu, ternyata cukup banyak anak muda yang ber-KTP hijau. Kok bisa masuk ke sini? ’’Loncat pagar kawat berduri,’’ ujar pemuda 27 tahun tersebut.
’’Saya melewati lubang yang saya buat di bawah pagar,’’ ujar pemuda di sebelahnya.

’’Kalau saya memanfaatkan jarak kawat yang agak renggang yang cukup untuk badan saya,’’ kata seorang pemuda yang ternyata dokter.
Mereka itu adalah pemuda-pemuda Palestina yang sangat merindukan salat di Masjid Al Aqsa. ’’Sejak adanya larangan anak muda datang ke sini, baru sekali ini saya ke Masjid Al Aqsa,’’ ungkapnya.

Al Aqsa tentu sangat istimewa. Itulah infrastruktur pertama yang pernah dibangun di muka bumi. Yakni, 40 tahun setelah pembangunan Kabah yang pertama. Al Aqsa maupun Kakbah sama-sama sudah mengalami berkali-kali pembangunan kembali. Setelah rusak oleh gempa maupun banjir.

Dua-duanya dipercaya dibangun malaikat sebelum Nabi Adam turun ke bumi. Keistimewaan Al Aqsa itulah yang membuat para pemuda Palestina tersebut mengambil risiko yang berat untuk bisa salat malam tanggal 27 Ramadan di dalamnya. Al Aqsa adalah tempat suci mereka dan ibu kota negara mereka. Sejak Israel membangun perumahan Yahudi di tanah Palestina, perkampungan orang Palestina dipagari kawat berduri. Itu dilakukan untuk memisahkan mereka dari kampung Yahudi.

UUD Israel memang menyebutkan: orang Yahudi dari mana pun yang mau datang ke tanah Palestina disediakan rumah, mobil, dan keperluan hidupnya. Sejak itu, perkampungan Yahudi terus dibangun di tanah Palestina. Orang-orang Palestina sendiri untuk bisa keluar dari kampungnya harus lewat pos penjagaan ketat. Atau meloncati pagar.

Untuk datang ke Masjid Al Aqsa, misalnya, mereka menempuh tiga risiko. Pertama, bagaimana bisa keluar kampung dengan meloncat pagar. Kedua, bagaimana bisa berjalan kaki jauh, naik turun bukit, untuk mencapai Al Aqsa. Bisa saja di tengah jalan mereka ditangkap. Ketiga, bagaimana dengan KTP hijau mereka bisa melewati penjagaan tentara bersenjata di gerbang masuk Baitul Maqdis.

Israel menduduki tanah Palestina sejak 1947/1948. Waktu itu, kawasan tersebut menjadi jajahan Inggris. Ketika orang Yahudi dimusuhi di mana-mana (terutama di Jerman dan Rusia), pemerintah Inggris memutuskan untuk memberikan negara kepada orang Yahudi. Pilihannya dua. Dua-duanya di wilayah jajahan Inggris: Uganda atau Palestina.

Semula Inggris menentukan Uganda di Afrika. Tapi, Yahudi menolak. Mereka memilih tanah Palestina. Yahudi percaya Jerusalem adalah tanah leluhur mereka. Sejak itulah tidak pernah ada ketenteraman di Timur Tengah.

Pemuda yang loncat pagar itu lantas menyingsingkan celananya. ’’Lihat ini,’’ katanya. Terlihat luka-luka baru masih menyisakan darah yang mulai mengering. Bekas goresan pagar kawat berduri itu terlihat memanjang sampai dekat lututnya. (*)

Makkah-Aqsa-Baghdad (2)

’’Dari Indonesia,’’ jawab saya.
’’Muslim?’’ tanya tentara Israel bersenjata itu.
’’Yes,’’ jawab saya.

Kami pun bisa dengan mudah melewati gerbang tua dengan tembok yang tebal dan kukuh itu. Gerbang yang dijaga tentara Israel bersenjata. Itulah gerbang masuk ke kawasan yang luasnya sekitar 10 lapangan sepak bola. Yang di dalamnya terdapat taman dan pepohonan. Di tengah taman itu terdapat masjid besar berkubah kuning. Itulah Masjid Kubah Batu. Tidak jauh dari situ, terlihat satu masjid besar lagi: itulah Masjid Al Aqsa. Tembok yang mengelilingi kawasan itu terlihat tinggi, tebal, dan terkesan sangat kuno. Dari luar, tembok tersebut tidak terlihat karena tertutup perkampungan yang padat, yang sampai menempel ke tembok.

Dari arah Kota Jerusalem, untuk mencapai gerbang itu, harus jalan kaki melewati gang-gang kecil yang sambung-menyambung. Juga naik turun dan berliku-liku. Itulah perkampungan yang hampir 100 persen penduduknya merupakan warga Palestina. Tukang cukur, penjual makanan dan mainan anak-anak, serta toko kelontong terlihat di sepanjang gang itu. Melewati gang-gang menuju gerbang Baitul Maqdis, saya teringat bagaimana masuk ke Masjid Ampel Surabaya yang harus melewati kampung Arab yang padat. Ya mirip itulah.

Bagi penduduk kampung itu, tidak ada larangan apa pun untuk melewati gerbang tersebut. Mereka memiliki KTP berwarna biru. Mereka bisa salat di Baitul Maqdis (baik di Masjid Kubah Batu maupun di Masjid Al Aqsa) kapan saja. Tapi, bagi warga di luar kampung tua tersebut, ada peraturan khusus: yang berumur kurang dari 40 tahun tidak boleh masuk. Otomatis juga dilarang salat di sana. Untuk mengontrol mereka, warna KTP-nya dibedakan: hijau. Itu merupakan dalih Israel untuk mencegah berkumpulnya pejuang Palestina dari berbagai penjuru di Masjid Al Aqsa.

Ada tujuh gerbang masuk ke kawasan Baitul Maqdis tersebut. Semua terhubung dengan gang-gang kecil perkampungan padat Palestina. Semua dijaga tentara Israel bersenjata. Kalau saja lebih terurus, kawasan di dalam tembok tua tersebut akan sangat indah. Taman-tamannya yang luas dipisahkan jalan-jalan kecil yang terbuat dari batu. Hanya, kurang rapi dan kurang bersih.

Hari itu, hari ke-28 bulan puasa, saya tiba di sana langsung dari perbatasan Israel-Jordania. Saya tidak mampir hotel dengan maksud mengejar salat Duhur berjamaah. Tapi telat.  Tapi, ada hikmahnya. Saya bisa salat Duhur bersama keluarga di Masjid Kubah Batu. Laki-laki memang hanya diizinkan memasuki Masjid Kubah Batu di antara waktu duhur dan asar. Masjid Kubah Batu itu istimewa karena ada bukit batu di tengah-tengahnya. Bukit batu tersebut dikelilingi tembok setinggi 3 meter, sehingga jamaah di sana seperti berjajar melingkarinya.

Dari atas bukit batu itulah Nabi Muhammad SAW ’’naik’’ ke Sidratul Muntaha, menghadap Allah SWT. Yakni, untuk menerima perintah kewajiban menjalankan salat lima kali sehari. Peristiwa itu terjadi pada malam tanggal 27 Rajab, yang kemudian tiap tahun diperingati sebagai Isra Mikraj.  Waktu peristiwa Isra Mikraj itu terjadi, tentu belum ada bangunan apa pun di situ. Masjid Kubah Batu tersebut baru dibangun belakangan. Di bawah bukit batu tersebut terdapat pula gua yang besarnya cukup untuk bersembunyi 10 orang. Konon, Nabi Ibrahim yang menggalinya.

Kini masjid Kubah Batu hanya untuk perempuan. Imamnya ikut imam Masjid Al Aqsa dengan pengeras suara yang dialirkan ke masjid itu. Jarak Masjid Kubah Batu dengan Masjid Al Aqsa memang hanya sekitar 300 meter. Al Aqsa lebih di bawah.

Tiga Risiko

Seusai salat Duhur di Masjid Kubah Batu, kami jalan-jalan melihat sisi luar tembok kuno yang mengelilingi kawasan tersebut. Ada satu kawasan di luar tembok yang bisa dibebaskan dari perumahan Palestina. Itulah bagian luar tembok yang kemudian dijadikan tempat ibadah orang Yahudi. Mereka antre menuju tembok itu, menangis dan meratap di situ.

Sore itu kami salat Asar di Masjid Al Aqsa. Waktu magrib kami ke masjid itu lagi. Disambung salat Isya dan Tarawih. Tarawih di sana sama dengan di Makkah, yakni 20 rakaat. Bacaan suratnya pun sangat panjang. Tapi lebih cepat. Bedanya, di setiap habis dua rakaat diselingi salawat Nabi. Jamaah Tarawih malam itu sekitar 1.500 orang. Hanya, setiap selesai dua rakaat, ada saja yang meninggalkan masjid. Selesai rakaat ke-10, tinggal separo masjid terisi.

Di Al Aqsa, mayoritas jamaah mengenakan celana biasa (banyak bercelana jins atau celana anak muda setengah kaki). Hanya beberapa orang yang mengenakan penutup kepala. Menjelang subuh, saya ke Masjid Al Aqsa lagi. Genaplah saya salat lima waktu di Al Aqsa. Menjelang matahari terbit, saya duduk-duduk di pelataran masjid. Demikian juga puluhan anak muda. Udaranya sejuk. Pepohonan besar terasa seperti mengeluarkan oksigen lebih banyak.

Saat duduk-duduk itulah saya tahu, ternyata cukup banyak anak muda yang ber-KTP hijau. Kok bisa masuk ke sini? ’’Loncat pagar kawat berduri,’’ ujar pemuda 27 tahun tersebut.
’’Saya melewati lubang yang saya buat di bawah pagar,’’ ujar pemuda di sebelahnya.

’’Kalau saya memanfaatkan jarak kawat yang agak renggang yang cukup untuk badan saya,’’ kata seorang pemuda yang ternyata dokter.
Mereka itu adalah pemuda-pemuda Palestina yang sangat merindukan salat di Masjid Al Aqsa. ’’Sejak adanya larangan anak muda datang ke sini, baru sekali ini saya ke Masjid Al Aqsa,’’ ungkapnya.

Al Aqsa tentu sangat istimewa. Itulah infrastruktur pertama yang pernah dibangun di muka bumi. Yakni, 40 tahun setelah pembangunan Kabah yang pertama. Al Aqsa maupun Kakbah sama-sama sudah mengalami berkali-kali pembangunan kembali. Setelah rusak oleh gempa maupun banjir.

Dua-duanya dipercaya dibangun malaikat sebelum Nabi Adam turun ke bumi. Keistimewaan Al Aqsa itulah yang membuat para pemuda Palestina tersebut mengambil risiko yang berat untuk bisa salat malam tanggal 27 Ramadan di dalamnya. Al Aqsa adalah tempat suci mereka dan ibu kota negara mereka. Sejak Israel membangun perumahan Yahudi di tanah Palestina, perkampungan orang Palestina dipagari kawat berduri. Itu dilakukan untuk memisahkan mereka dari kampung Yahudi.

UUD Israel memang menyebutkan: orang Yahudi dari mana pun yang mau datang ke tanah Palestina disediakan rumah, mobil, dan keperluan hidupnya. Sejak itu, perkampungan Yahudi terus dibangun di tanah Palestina. Orang-orang Palestina sendiri untuk bisa keluar dari kampungnya harus lewat pos penjagaan ketat. Atau meloncati pagar.

Untuk datang ke Masjid Al Aqsa, misalnya, mereka menempuh tiga risiko. Pertama, bagaimana bisa keluar kampung dengan meloncat pagar. Kedua, bagaimana bisa berjalan kaki jauh, naik turun bukit, untuk mencapai Al Aqsa. Bisa saja di tengah jalan mereka ditangkap. Ketiga, bagaimana dengan KTP hijau mereka bisa melewati penjagaan tentara bersenjata di gerbang masuk Baitul Maqdis.

Israel menduduki tanah Palestina sejak 1947/1948. Waktu itu, kawasan tersebut menjadi jajahan Inggris. Ketika orang Yahudi dimusuhi di mana-mana (terutama di Jerman dan Rusia), pemerintah Inggris memutuskan untuk memberikan negara kepada orang Yahudi. Pilihannya dua. Dua-duanya di wilayah jajahan Inggris: Uganda atau Palestina.

Semula Inggris menentukan Uganda di Afrika. Tapi, Yahudi menolak. Mereka memilih tanah Palestina. Yahudi percaya Jerusalem adalah tanah leluhur mereka. Sejak itulah tidak pernah ada ketenteraman di Timur Tengah.

Pemuda yang loncat pagar itu lantas menyingsingkan celananya. ’’Lihat ini,’’ katanya. Terlihat luka-luka baru masih menyisakan darah yang mulai mengering. Bekas goresan pagar kawat berduri itu terlihat memanjang sampai dekat lututnya. (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/