MARKETING SERIES 9
Saya pernah bertanya kepada Dame Anita Roddick, pendiri Body Shop; Anda itu pengusaha atau aktivis? Kalimat itu saya lontarkan saat makan siang bertiga bareng Deepak Chopra, penulis yang juga dikenal sebagai spiritualis para selebriti Amerika.
’’Saya seratus persen pengusaha dan seratus persen aktivis,’’ jawab Anita.
Biasanya dua profil manusia itu tidak sama misi, visi, dan values-nya. Pengusaha punya misi menjalankan bisnis supaya perusahaannya makin berkembang dengan cara menciptakan laba sebesar-besarnya.
Visinya bisa mengejar profit sebanyak mungkin dengan cara apa pun, termasuk memuaskan pelanggan. Sedangkan values-nya sangat pragmatis: lihat situasi.
Kalau terpaksa, ya apa boleh buat, melakukan apa pun untuk mencapai tujuan. Yang penting bisa lebih unggul daripada pesaing.
Sementara itu, misi aktivis (aktivis sungguhan) adalah kepedulian terhadap manusia dan bukan hanya pelanggannya. Visinya mengembangkan aktivitas untuk menjamin keberlanjutan.
Sedangkan values-nya adalah untuk membuat perubahan yang lebih baik bagi manusia. Anita Roddick menggabungkan semua itu. Berkali-kali dia bilang bahwa hal itu tidak sama dengan corporate social responsibility (CSR). Program CSR biasanya dilakukan perusahaan kalau ada kewajiban, atau peraturan pemerintah, atau tekanan dari NGO.
Sebuah perusahaan bisa saja menghalalkan segala cara dalam praktik kerjanya, lalu mengalokasikan sebagian dari keuntungannya untuk CSR. Anita Roddick dan Body Shop tak mau melakukan itu sehingga perusahannya menjadi model bagi perusahaan lain.
Cerita lain datang dari Bangladesh, yaitu tentang Mohammad Yunus. Bisnis Grameen Bank sebenarnya biasa-biasa saja, yaitu micro finance di daerah rural.
Tapi, seperti Anita, Grameen punya bisnis model yang sangat berbeda. Dia memberikan pinjaman tanpa agunan bagi para perempuan di daerah rural melalui sebuah paket women empowerment.
Perempuan yang menjadi nasabah Grameen langsung diberi pembinaan untuk menjadi perempuan yang lebih berdaya untuk keluarganya.
Karena pemerintah di sana tak mampu memberdayakan para perempuan di daerah miskin, para banker Grameen mengambil alih tugas itu. Para banker tidak bekerja di sebuah kantor seperti lazimnya sebuah bank.
Namun, mereka bekerja dari rumah sendiri sambil berkeliling dari pintu ke pintu para nasabahnya.
Jadi, banker Grameen bergaul dan melakukan sesuatu secara langsung. Ada penerangan tentang pengelolaan finansial keluarga, pencerahan soal kesehatan, bahkan nasihat tentang cara menata rumah yang baik. Nonperforming loan Grameen sangat rendah. Nasabah yang dimanusiakan secara penuh itu lantas menjadi tidak terlalu peduli kepada tingkat bunga dari kredit yang diperoleh. Sebab, nilai tambah yang didapat bersifat spiritual.
Jadi, bila Anda benar-benar bisa membuat people empowerment terhadap para customer, profit akan datang dengan sendirinya. Dan loyalitas mereka tidak hanya bersifat transaksional, tapi sampai kepada hal-hal yang lebih bersifat spiritual.
Bagaimana pendapat Anda? (*)