Oleh: AO Iswardi
PNPM Mandiri Perkotaan saat ini sudah dilaksanakan di 25 kelurahan dan desa kab.Langkat, sebagai program nasional yang melibatkan puluhan pelaku di tatanan pemerintah dan konsultan, serta ratusan pelaku di tingkat masyarakat. Milyaran rupiah pula dana yang dialokasikan. Sudah tentu program ini bukan program main-main.
PNPM Perkotaan baik dari segi konsep, metode dan strategi pendekatan berupaya selalu berkembang seiring dengan hasil kajian pembelajaran di lapangan, harapannya mampu menancapkan tahapan pembelajaran di masyarakat melalui berbagai strategi intervensinya; yakni penguatan kelembagaan dan perencanaan di tingkat masyarakat dan pemerintah daerah (pemda) melalui siklus tahunan, pembelajaran kemandirian melalui program kemitraan dan Channeling, hingga pembelajaran pengembangan dan penataan kawasan lingkungan melalui PLPBK.
“Learning by doing”. Itulah sebenarnya semangat yang hendak digetok-tularkan melalui kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan. Namun masih ada beberapa PR yang muncul dari kritikan, baik terlahir dari dalam (pelaku) maupun dari luar (pemerhati), yang mempertanyakan hasil dari pembelajaran getok-tular ini.
Masih banyak pertanyaan yang terlontar atas output yang dihasilkan program ini. Semisal, jika menggunakan kriteria penilaian lembaga setelah didampingi selama dua, tiga atau bahkan di atas lima tahun, sudah berapa BKM (Badan Keswadayaan Mayarakat) yang naik kelas dari kondisi awal menuju kondisi berdaya, mandiri, atau bahkan madani?
Pertanyaan lain yang sering terlontar adalah, dari sekian milyar rupiah dana BLM yang digelontorkan setiap tahun melalui ratusan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), sudah berapa warga miskin yang mampu bangkit dari kemiskinannya. Atau sudah berapa KSM yang berkembang menjadi UKM yang mandiri dan mengembangkan usahanya?
Dari 25 Kelurahan /Desa di kabupaten Langkat pelaksana PNPM Perkotaan persentasenya masih kecil untuk warga miskin yang mampu bangkit dari kemiskinan, karena hingga tahun ke 6 PNPM Perkotaan di Kabupaten Langkat fokus intervensinya adalah perubahan sikap dan prilaku. Pada tahun ini baru mulai dirancang kegiatan yang mengarahkan pada peningkatan kesejahteraan warga miskin.
Seringkali tudingan miring dari belum optimalnya upaya penanggulangan kemiskinan ini hanya dialamatkan kepada para pelaku, terutama di tingkat lapang-Tim Korkot dan Tim Faskel-yang menjadi ujung tombak program ini, dianggap masih tidak becus mengurusi program, tidak memiliki pemahaman dan kemampuan fasilitasi yang baik, tidak punya etos kerja. Bahkan, ada tudingan bahwa banyak pelaku justru melakukan hal-hal yang tidak mencerminkan nilai-nilai yang diembannya untuk ditransformasikan kepada masyarakat dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji.
Meski tidak seratus persen tudingan itu benar, mengingat tidak optimalnya pendampingan, selain kapasitas pendamping juga banyak faktor lain yang melatarbelakangi, satu hal yang patut menjadi catatan kita adalah bahwa upaya pembelajaran yang dilakukan seharusnya tidak berhenti pada pembelajaran itu sendiri. Bahwa ilmu tidak sekadar untuk ilmu atau pembelajaran yang dilakukan harus mempunyai bekas/dampak yang bisa diukur dan dinilai keberhasilannya.
Keluar dari Pencitraan dan Simbolisasi
Pembelajaran melalui penguatan kelembagaan masyarakat, misalnya penguatan lembaga yang kredibel melalui BKM, bisa menjadi replika bagi lembaga lain agar mampu mendorong partisipasi warga masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan.
Pembelajaran melalui perencanaan akan bisa diukur jika pasca PJM Pronangkis yang partisipatif dan pro poor terintegrasi dalam PJM kelurahan/kota, sehingga ada komitmen pemda tentang Pro Poor Planning, Budgetting dan policy serta ada realisasinya.
Pembelajaran BLM misalnya, adalah bagaimana masyarakat mampu mengimplementasikan perencanaan nangkis yang telah disusun secara partisipatif, menggalang swadaya dan sumber pendanaan lain, bukan malah menjadi tergantung kepada BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang bersifat stimulan.
Pembelajaran kemandirian baru berhasil jika pasca pelaksanaan kegiatan pemda dan pihak lain akan legowo berbagi kegiatan dengan masyarakat, memberi kepercayaan kepada masyarakat, bahwa sebenarnya masyarakat mampu bermitra dengan pihak lain dengan hasil yang memuaskan dan saling menguntungkan.
Namun jika adanya BKM, PJM dan siklus tahunan masih dipahami hanya sebagai syarat pencairan BLM, serta pelaku yang terlibat dalam partisipasi program ini hanya masyarakat, maka bisa dikatakan bahwa pembelajaran kita gagal atau berhenti di tempat. Dan, wajar jika upaya penanggulangan kemiskinan melalui PNPM Perkotaan masih belum mempunyai dampak positif. Pelaksanaan PNPM Perkotaan itu harus beda ; baik orang-orang yang terlibat, konsep metode dan teknik pelaksanaan, fokus pendampingan serta hasil yang diharapkan. Keterlibatan stakeholder seperti Pemda, Kelompok Peduli, Dunia Usaha, Organisai kemasyarakatan, DPRD, LSM dll merupakan salah satu kunci sukses program ini. Jadi program ini harus mampu memberikan warna dalam pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat, dan tidak hanya sekedar nama besar Program Nasional
Lebaran dan Pembelajaran PNPM Perkotaan
Beberapa hari lalu, umat Islam merayakan Lebaran. Sebuah ritual yang sarat makna pembelajaran, baik pembelajaran aspek jasmani maupun aspek rohani. Idul Fitri atau Lebaran pada hakikatnya adalah kembali ke fitrah setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa.
Dan jika hakikat puasa adalah belajar melawan hawa nafsu, maka pembelajaran melalui puasa dikatakan berhasil jika pasca berpuasa ada bekas pembelajaran yang diberikan. Agaknya begitu juga dengan tujuan dari pembelajaran siklus tahunan masyarakat ala PNPM. Siklus tahunan sebagai media belajar masyarakat tidak cukup dilaksanakan sekali atau dua kali. Mesti dilakukan secara berulang-ulang dan menjadi kebiasaan di masyarakat. Lantas bagaimana dengan kegiatan stimulan seperti BLM ?
Seperti halnya puasa yang “berhadiah” Lebaran, maka jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang utuh, dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), hanya menjadi semacam ritualitas untuk menggugurkan kewajiban. Berapa kalipun dana dikucurkan, tidak akan tampak pembelajaran yang berarti, jika puasa hanya dimaknai menahan makan dan minum, dan BLM hanya dimaknai sebagai kegiatan menyalurkan bantuan. Yang dikhawatirkan terjadi justru sebalikya. Lebaran menjadi momentum bagi sekelompok orang yang merasa memiliki fasilitas lebih untuk unjuk kekayaan. Demikian juga dengan BLM yang justru menimbulkan kerakusan sekelompok pihak yang merasa berkuasa atas BLM, sehingga dari tahun ke tahun nyaris tidak tampak pembelajaran yang diberikan melalui BLM. Indikasi yang banyak terjadi justru dana BLM malah melemahkan kemampuan survive dan modal sosial di masyarakat. Hal seperti ini yang sekiranya harus selalu kita waspadai.
Tataran konsep tentu tidak akan sama dengan aplikasi. Beragam tantangan dan hambatan ada di lapang, dan hanya orang yang merugi yang tidak belajar dari kesalahan yang sama. Semestinya kita sudah mulai dengan keluar dari simbolisasi program, sehingga kegiatan BLM tidak hanya disemarakkan ketika acara launching, yang mengundang para pejabat dengan acara yang sangat meriah, sementara pelaksanaannya tidak terkawal dengan baik dan tidak punya dampak yang membekas pada masyarakat, dan menjaga agar dana-yang sebagian besar berasal dari utang ini-tidak menjadi ajang bermain bagi kelompok tertentu yang jauh dari prioritas penanggulangan kemiskinan.
Penulis Asisten Koordinator
Kota Kabupaten Langkat