30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pelajaran Klasik dari GE

MARKETING SERIES (17)

Kalau konglomerat, tidak bisa fokus. Kalau fokus, tidak bisa konglomerat.

Jack Welch-lah yang membuat dua kutub itu menyatu ketika menjadi CEO GE. Perusahaan yang sudah tua, besar, dan punya banyak jenis bisnis tersebut pada mulanya memang tidak fokus.

Konglomerat akan selalu mencari peluang dan langsung masuk ke dalamnya dengan segala perhitungannya. Biasanya konglomerat tergoda masuk ke berbagai bidang yang tidak berhubungan satu sama lain karena tiga hal.

Pertama, karena punya kekuatan finansial atau setidaknya akses finansial, sehingga relatif lebih mudah menembus entry barrier yang ada. Kedua, punya kekuatan network yang luar biasa.

Lewat network itulah lantas terbuka berbagai akses untuk bisnis baru. Termasuk, network dengan pihak penguasa yang bisa memberikan lisensi untuk suatu industri yang tertutup.

Ketiga, punya kekuatan corporate brand yang bisa digunakan melindungi atau memberikan nilai tambah bagi bisnis barunya. Jack Welch ketika itu melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang berbahaya bila tidak diimbangi pengontrolan ketat. Karena itu, dia melakukan langkah-langkah antisipatif sebelum terjadi suatu musibah.

Bisakah konglomerat yang sudah punya bisnis di mana-mana diajak fokus?

Jack Welch punya pandangan, daripada zaman berubah dan kita terlambat, maka lakukan sesuatu! Dia percaya GE bisa menjadi sebuah konglomerat yang fokus. Meski tidak fokus di satu industri maupun industri pendukungnya, GE harus fokus di industri yang membuat mereka bisa dominan di situ. Sebagai pemain nomor satu atau setidaknya nomor dua. Dia melihat bahwa Asia akan makin kuat di industri yang padat tenaga kerja. Amerika kuat di industri yang high-tech, financial, dan entertainment.

Karena itulah, Jack ingin realistis; bukan sekadar optimistis atau pesimistis. GE harus tetap jadi konglomerat tapi fokus pada kekuatan-kekuatan yang bersumber di Amerika sendiri. Karena itu, dibuanglah bisnis-bisnis yang tidak bisa menjadi nomor satu atau nomor dua. Dan ambil bisnis baru yang GE bisa punya peluang menjadi dominan.

Ketika GE Finance didirikan, stasiun NBC yang lagi susah harus dibeli. Jadi, bagi Jack, fokus tidak terletak pada kompetensi di suatu industri, tapi lebih pada peluang dan ancaman. Karena itulah, saya lebih suka pada TOWS ketimbang SWOT.

Kenapa? Dengan TOWS, kita akan lebih melihat threat dan opportunities dulu. Sedangkan pada SWOT, kita akan fokus pada kompetensi yang dimiliki dan tidak dimiliki sebagai strength and weakness.

Bagi Jack, kompetensi bisa diadakan asal pengadaan itu lantas di-GE-kan. Artinya, siapa pun yang masuk ke GE harus mengerti budaya perusahaan GE dan mengikutinya. Karena itu, perusahaan tersebut terkenal dengan matriks performance-culture.

Seseorang yang low performance-high culture akan diberi second chance. Tapi, orang yang high performance-low culture harus diberi peringatan.
Kenapa? Sebab, Jack tidak ingin GE hanya kuat sebagai brand tapi tak punya nyawa. GE juga harus menjadi sebuah rumah bagi semua orang yang mengerti, menyetujui, dan hidup dalam kultur yang sama. Saya diundang sebagai tamu GE selama dua malam di pusat pelatihan Crotonville maupun kantor pusatnya di Fairfield di California Utara.

Setelah itu, saya mampir ke GE di Crotonville, AS. Di situ saya bertemu orang-orang GE yang benar-benar hidup dalam kultur yang sama walaupun beda divisi. Dengan begitu, konsep sinergi antardivisi yang sering disebut borderlessness bisa berjalan.

Brand memang bukan sekadar nama, tapi harus konsekuen dengan diferensiasi yang ingin dipakai sebagai dasar positioning-nya.
Kata pepatah Tiongkok lama: Jagalah nama Anda karena itu adalah segalanya. Karena itu, ketika brand harus diasumsikan sebagai manusia layaknya kita semua, nama memang senantiasa harus dijaga. Kalau nama hancur, leburlah segalanya.

Kredo ketiga Marketing 3.0 adalah: guard your name, be clear of who you are.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

MARKETING SERIES (17)

Kalau konglomerat, tidak bisa fokus. Kalau fokus, tidak bisa konglomerat.

Jack Welch-lah yang membuat dua kutub itu menyatu ketika menjadi CEO GE. Perusahaan yang sudah tua, besar, dan punya banyak jenis bisnis tersebut pada mulanya memang tidak fokus.

Konglomerat akan selalu mencari peluang dan langsung masuk ke dalamnya dengan segala perhitungannya. Biasanya konglomerat tergoda masuk ke berbagai bidang yang tidak berhubungan satu sama lain karena tiga hal.

Pertama, karena punya kekuatan finansial atau setidaknya akses finansial, sehingga relatif lebih mudah menembus entry barrier yang ada. Kedua, punya kekuatan network yang luar biasa.

Lewat network itulah lantas terbuka berbagai akses untuk bisnis baru. Termasuk, network dengan pihak penguasa yang bisa memberikan lisensi untuk suatu industri yang tertutup.

Ketiga, punya kekuatan corporate brand yang bisa digunakan melindungi atau memberikan nilai tambah bagi bisnis barunya. Jack Welch ketika itu melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang berbahaya bila tidak diimbangi pengontrolan ketat. Karena itu, dia melakukan langkah-langkah antisipatif sebelum terjadi suatu musibah.

Bisakah konglomerat yang sudah punya bisnis di mana-mana diajak fokus?

Jack Welch punya pandangan, daripada zaman berubah dan kita terlambat, maka lakukan sesuatu! Dia percaya GE bisa menjadi sebuah konglomerat yang fokus. Meski tidak fokus di satu industri maupun industri pendukungnya, GE harus fokus di industri yang membuat mereka bisa dominan di situ. Sebagai pemain nomor satu atau setidaknya nomor dua. Dia melihat bahwa Asia akan makin kuat di industri yang padat tenaga kerja. Amerika kuat di industri yang high-tech, financial, dan entertainment.

Karena itulah, Jack ingin realistis; bukan sekadar optimistis atau pesimistis. GE harus tetap jadi konglomerat tapi fokus pada kekuatan-kekuatan yang bersumber di Amerika sendiri. Karena itu, dibuanglah bisnis-bisnis yang tidak bisa menjadi nomor satu atau nomor dua. Dan ambil bisnis baru yang GE bisa punya peluang menjadi dominan.

Ketika GE Finance didirikan, stasiun NBC yang lagi susah harus dibeli. Jadi, bagi Jack, fokus tidak terletak pada kompetensi di suatu industri, tapi lebih pada peluang dan ancaman. Karena itulah, saya lebih suka pada TOWS ketimbang SWOT.

Kenapa? Dengan TOWS, kita akan lebih melihat threat dan opportunities dulu. Sedangkan pada SWOT, kita akan fokus pada kompetensi yang dimiliki dan tidak dimiliki sebagai strength and weakness.

Bagi Jack, kompetensi bisa diadakan asal pengadaan itu lantas di-GE-kan. Artinya, siapa pun yang masuk ke GE harus mengerti budaya perusahaan GE dan mengikutinya. Karena itu, perusahaan tersebut terkenal dengan matriks performance-culture.

Seseorang yang low performance-high culture akan diberi second chance. Tapi, orang yang high performance-low culture harus diberi peringatan.
Kenapa? Sebab, Jack tidak ingin GE hanya kuat sebagai brand tapi tak punya nyawa. GE juga harus menjadi sebuah rumah bagi semua orang yang mengerti, menyetujui, dan hidup dalam kultur yang sama. Saya diundang sebagai tamu GE selama dua malam di pusat pelatihan Crotonville maupun kantor pusatnya di Fairfield di California Utara.

Setelah itu, saya mampir ke GE di Crotonville, AS. Di situ saya bertemu orang-orang GE yang benar-benar hidup dalam kultur yang sama walaupun beda divisi. Dengan begitu, konsep sinergi antardivisi yang sering disebut borderlessness bisa berjalan.

Brand memang bukan sekadar nama, tapi harus konsekuen dengan diferensiasi yang ingin dipakai sebagai dasar positioning-nya.
Kata pepatah Tiongkok lama: Jagalah nama Anda karena itu adalah segalanya. Karena itu, ketika brand harus diasumsikan sebagai manusia layaknya kita semua, nama memang senantiasa harus dijaga. Kalau nama hancur, leburlah segalanya.

Kredo ketiga Marketing 3.0 adalah: guard your name, be clear of who you are.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/