28.9 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Mengapa Capital Market Menghukum Facebook?

MARKETING SERIES (7)
“Mengapa saham Facebook hancur? Bukankah yang mereka lakukan sudah masuk kriteria marketing with human spirit?” tanya seorang peserta dalam seminar saya di Colombo. Saya terus mengikuti jurus-jurus IPO Facebook di Nasdaq. Maka itu saya langsung tahu jawabnya

Pada  hari pertama, harga sahamnya melonjak dahsyat dari USD 38 sampai ke USD 45. Tapi hanya sebentar aja, karena setelah itu harga berangsur-angsur turun. Para pembeli saham sangat kecewa dengan performa saham yang sudah dinantikan sejak lama itu. Padahal, waktu itu diumumkan bahwa Facebook netizen alias warga Facebook sudah mencapai satu miliar. Itu artinya, kemungkinan untuk bisa mengolah satu miliar manusia itu untuk jadi duit cukup besar. Dan, IPO adalah tentang bagaimana sebuah perusahaan menjanjikan sebuah masa depan dalam bentuk corporate value.

Buku ketiga yang saya tulis bersama Prof Philip Kotler dari Kellogg School of Management, Northwestern University juga bersama Prof David Young dari INSEAD adalah Attracting Investors.

Sebelum menulis bareng dua profesor dari perguruan tinggi terkemuka Amerika dan Eropa itu, saya meyakinkan mereka bahwa marketing juga bisa dipakai untuk capital market dalam rangka mendapat modal untuk investasi.

Konsep yang biasanya dipakai untuk customer market bisa diterapkan untuk IPO, right Issue, stick split, jual obligasi atau sekedar cari pinjaman dari bank bahkan merger and acquisition.

Sedang konsep marketing masa depan, di mana masa depan adalah sekarang, sudah harus menjadi Marketing with Human Spirit. Karena itu, konsep ini tidak bisa hanya diterapkan di customer market.

Itulah esensi jawaban saya di Colombo. Tidak diragukan lagi bahwa Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg memang untuk sebuah bentuk peradaban baru atau new civilisation. Sekarang tak bisa dibayangkan seperti apa dunia ini tanpa Facebook. Walaupun Mark tidak mengakui bahwa Social Network itu film resmi Facebook, tapi dia tidak menyangkal bahwa film itu tidak benar.

Di situ diperlihatkan bagaimana Mark yang mahasiswa Harvard tidak ikut menikmati party teman-2 nya di kampus. Tapi dia mencoba memahami teman-temannya sampai ke hal-hal yang paling dalam. Begitu dia mendapat ide, dia langsung balik ke kamarnya untuk mengerjakan sesuatu guna menyempurnakan software-nya.

Temuan Mark paling besar yaitu bahwa ketika teman-temannya sedang melakukan offline party, begitulah istilah gaulnya, mereka juga perlu online media untuk melanjutkan party-nya.

Nah, Facebook berhasil memberi keleluasaan pada orang yang saling berteman untuk terus kumpul tanpa jeda, tapi secara online jalan terus.
Dengan cepat, platform itu diterima di lingkungan Harvard sendiri, ke kampus-kampus lain, bahkan hingga ke masyarakat umum. Semua orang sama saja, ternyata. Deep down in their hearts, they need a non-stop friendship.

Ini bukan soal teknologi internetnya, namun ini adalah sesuatu yang bisa menjawab sebuah kebutuhan tersembunyi  itu.  Keunggulan Mark jelas terletak pada kemampuannya dalam memahami kebutuhan spiritual manusia yang bisa dilayani oleh internet. Internet yang semula begitu ‘terbuka’ untuk siapa aja, oleh Mark ‘ditutup’ hanya untuk komunitas-komunitas para customer-nya.

Dalam perjalanannya Mark terus menyempurnakan fitur-fitur Facebook untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan costumer-nya.  Kalau costumer merasa privacy mereka mulai dijual, mereka pun menolak.

Penyandang dana Facebook tentu saja tidak bisa terus membiayai pengembangannya, kalau arus uang masuk tidak stabil. Karena itulah perusahaan pun lantas diperbolehkan buka platform komunitas pertemanan di Facebook. Brand yang bisa berperilaku layaknya manusia akan mudah diterima. Tapi yang seperti economic animal niscaya akan ditinggalkan.

Nah, ketika mulai masuk capital market dengan melakukan IPO, Facebook jadi tidak transparan. Sifat greedy-nya untuk meraup uang sebanyak-banyaknya sangat kelihatan.

Karena permintaan membeludak, jumlah saham pun ditambah. Harganyapun naik dari USD 38 menjadi USD 45.
Sementara itu, para analis mulai mencari-cari kelemahan Facebook. Dari satu miliar account, kata mereka, banyak yang tidak riil karena dobel, tripel bahkan tidak aktif.

Nah begitu, rumor mulai beredar, ironinya melalui Facebook juga, harga Facebook pun terus melorot. Pasar menilai bahwa Facebook tidak menunjukkan karakter yang sama ketika IPO dan di saat mulai masuk customer market dulu.

Sekarang kita lihat jawaban atas pertanyaan di awal tulisan ini. Sebuah paradoks terbesar di dunia bisnis; customer market tidak bisa hidup tanpa Facebook tapi capital market seolah ingin menghukum mati Facebook.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

MARKETING SERIES (7)
“Mengapa saham Facebook hancur? Bukankah yang mereka lakukan sudah masuk kriteria marketing with human spirit?” tanya seorang peserta dalam seminar saya di Colombo. Saya terus mengikuti jurus-jurus IPO Facebook di Nasdaq. Maka itu saya langsung tahu jawabnya

Pada  hari pertama, harga sahamnya melonjak dahsyat dari USD 38 sampai ke USD 45. Tapi hanya sebentar aja, karena setelah itu harga berangsur-angsur turun. Para pembeli saham sangat kecewa dengan performa saham yang sudah dinantikan sejak lama itu. Padahal, waktu itu diumumkan bahwa Facebook netizen alias warga Facebook sudah mencapai satu miliar. Itu artinya, kemungkinan untuk bisa mengolah satu miliar manusia itu untuk jadi duit cukup besar. Dan, IPO adalah tentang bagaimana sebuah perusahaan menjanjikan sebuah masa depan dalam bentuk corporate value.

Buku ketiga yang saya tulis bersama Prof Philip Kotler dari Kellogg School of Management, Northwestern University juga bersama Prof David Young dari INSEAD adalah Attracting Investors.

Sebelum menulis bareng dua profesor dari perguruan tinggi terkemuka Amerika dan Eropa itu, saya meyakinkan mereka bahwa marketing juga bisa dipakai untuk capital market dalam rangka mendapat modal untuk investasi.

Konsep yang biasanya dipakai untuk customer market bisa diterapkan untuk IPO, right Issue, stick split, jual obligasi atau sekedar cari pinjaman dari bank bahkan merger and acquisition.

Sedang konsep marketing masa depan, di mana masa depan adalah sekarang, sudah harus menjadi Marketing with Human Spirit. Karena itu, konsep ini tidak bisa hanya diterapkan di customer market.

Itulah esensi jawaban saya di Colombo. Tidak diragukan lagi bahwa Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg memang untuk sebuah bentuk peradaban baru atau new civilisation. Sekarang tak bisa dibayangkan seperti apa dunia ini tanpa Facebook. Walaupun Mark tidak mengakui bahwa Social Network itu film resmi Facebook, tapi dia tidak menyangkal bahwa film itu tidak benar.

Di situ diperlihatkan bagaimana Mark yang mahasiswa Harvard tidak ikut menikmati party teman-2 nya di kampus. Tapi dia mencoba memahami teman-temannya sampai ke hal-hal yang paling dalam. Begitu dia mendapat ide, dia langsung balik ke kamarnya untuk mengerjakan sesuatu guna menyempurnakan software-nya.

Temuan Mark paling besar yaitu bahwa ketika teman-temannya sedang melakukan offline party, begitulah istilah gaulnya, mereka juga perlu online media untuk melanjutkan party-nya.

Nah, Facebook berhasil memberi keleluasaan pada orang yang saling berteman untuk terus kumpul tanpa jeda, tapi secara online jalan terus.
Dengan cepat, platform itu diterima di lingkungan Harvard sendiri, ke kampus-kampus lain, bahkan hingga ke masyarakat umum. Semua orang sama saja, ternyata. Deep down in their hearts, they need a non-stop friendship.

Ini bukan soal teknologi internetnya, namun ini adalah sesuatu yang bisa menjawab sebuah kebutuhan tersembunyi  itu.  Keunggulan Mark jelas terletak pada kemampuannya dalam memahami kebutuhan spiritual manusia yang bisa dilayani oleh internet. Internet yang semula begitu ‘terbuka’ untuk siapa aja, oleh Mark ‘ditutup’ hanya untuk komunitas-komunitas para customer-nya.

Dalam perjalanannya Mark terus menyempurnakan fitur-fitur Facebook untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan costumer-nya.  Kalau costumer merasa privacy mereka mulai dijual, mereka pun menolak.

Penyandang dana Facebook tentu saja tidak bisa terus membiayai pengembangannya, kalau arus uang masuk tidak stabil. Karena itulah perusahaan pun lantas diperbolehkan buka platform komunitas pertemanan di Facebook. Brand yang bisa berperilaku layaknya manusia akan mudah diterima. Tapi yang seperti economic animal niscaya akan ditinggalkan.

Nah, ketika mulai masuk capital market dengan melakukan IPO, Facebook jadi tidak transparan. Sifat greedy-nya untuk meraup uang sebanyak-banyaknya sangat kelihatan.

Karena permintaan membeludak, jumlah saham pun ditambah. Harganyapun naik dari USD 38 menjadi USD 45.
Sementara itu, para analis mulai mencari-cari kelemahan Facebook. Dari satu miliar account, kata mereka, banyak yang tidak riil karena dobel, tripel bahkan tidak aktif.

Nah begitu, rumor mulai beredar, ironinya melalui Facebook juga, harga Facebook pun terus melorot. Pasar menilai bahwa Facebook tidak menunjukkan karakter yang sama ketika IPO dan di saat mulai masuk customer market dulu.

Sekarang kita lihat jawaban atas pertanyaan di awal tulisan ini. Sebuah paradoks terbesar di dunia bisnis; customer market tidak bisa hidup tanpa Facebook tapi capital market seolah ingin menghukum mati Facebook.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/