MARKETING SERIES (19)
Ketika saya membeli sebuah smartphone, saya ternyata tidak terlalu smart. Sebab, yang membuat saya membeli ternyata hanya supaya terlihat keren: pakai iPhone atau Galaxy seri terbaru. Sementara itu, saya tidak tahu cara memakai fitur-fitur yang ada.
Tapi, ketika saya beli barang keperluan sehari-hari, saya pergi ke tempat belanja yang memungkinkan saya dapat harga termurah.
Secara umum, saya suka membagi orang jadi tiga tipe. Pertama, yang snob. Suka barang mahal supaya kelihatan hebat. Orang seperti itu acap kali kurang tahu produk yang dia beli, tapi yang penting lebih mahal daripada yang dibeli orang lain.
Mereka lebih tertarik atau bisa menghargai manfaat emosional Kedua, dumb. Pokoknya beli barang yang murah. Bukan lantaran tak mampu saja, tapi kadang memang pelit. Yang penting produk yang dibeli memenuhi asa fungsional dan harganya tidak mahal. Kebiasaannya menunggu sale dilakukan supaya dapat harga terbaik.
Ketiga, yang smart. Tipe seimbang dalam mempertimbangkan sebuah produk. Bisa menghargai manfaat emosional selain yang fungsional.
Orang smart punya pengetahuan yang cukup dalam membandingkan antara total get dan total give. Harga murah percuma kalau manfaat fungsional dan emosionalnya tidak memadai.
Harga murah percuma kalau biaya maintenance-nya mahal. Harga murah percuma kalau harga satuan variabel pada waktu pemakaiannya juga mahal. Harga murah percuma kalau produk gampang rusak.
Pada dasarnya, dia bisa menghitung total give-nya sama dengan price plus other expenses. Dengan demikian, orang smart lantas bisa menghitung value sesungguhnya yang dia terima.
Pada contoh tersebut, orang yang sama dengan saya bisa jadi snob, dumb, dan smart sekaligus, bergantung pada produk yang dibeli. Tapi, yang menarik, semakin dunia mengalami internetisasi, orang akan semakin jadi smart.
Yang snob pun akan jadi the smarter snob. Artinya” Kemampuan berhitung paket manfaat fungsional dan emosional apa yang akan mereka terima, walaupun titik beratnya ada pada sisi emosional.
Mereka pun akan membandingkan antara paket itu dan harga yang mahal yang mereka bayar. Misalnya, apakah harga mahal yang dia bayar sudah setara dengan manfaat emosional yang mereka terima”
Mereka bisa melakukan kalkulasi moneter terhadap suatu benefit abstrak yang diterima. Sedangkan orang yang dumb juga akan jadi the smarter dumb.
Orang pasti akan semakin smarter. Karena itu, jangan menipu atau menyembunyikan apa pun dari mereka. Organisasi perlindungan konsumen bakal makin agresif.
Komplain pelanggan bisa ditaruh di internet setiap saat dan mudah di-spread ke mana-mana untuk jadi virus yang tidak menguntungkan dan susah dieliminasi. Di sini, para pemasar business to consumer harus belajar dari pemasar business-to-business yang bisa menawarkan customization.
Harga sesuai dengan paket manfaat yang diambil. Sebuah produk selalu merupakan suatu paket manfaat, bergantung pelanggan mau ambil yang mana. Harga menyesuaikan diri demi fairness. Pay for benefits.
Karena itu, musik sekarang bisa dibeli per lagu, tidak perlu seluruh album. Hampir semua yang bisa didigitalkan bisa di-customize-kan.
Kelak semua produk yang tidak bisa didigitalkan juga akan bisa di-customize supaya harga menyesuaikan. Tapi, kalau mau pakai harga paket semuanya, boleh juga. Yang penting, pelanggan tahu apa akibatnya bagi mereka. Supaya yang smarter snob juga merasa diperlakukan fair.
Sedangkan paket hemat juga harus jelas untuk “smarter dumb”. Sebab, mereka juga tidak mau dibohongi.
Ingat, pelanggan adalah manusia yang selalu mengharapkan fairness.
Kredo kelima dari Marketing 3.0 adalah always offer good package at a fair price.
Bagaimana pendapat Anda?