Oleh: Budi Hatees
Lama tak dengar soal teroris setelah sering mati ditembak, kini malah merebak lagi. Rasa takut kembali menghantui. Pasalnya, para teroris konon akan melakukan aksi yang lebih hebat. Lebih berani, seperti aksi terakhir di Solo, yang berlangsung di depan umum dan menjadikan Polisi sebagai sasaran.
Terorisme kini menjadi bagian dari realitas hidup hari ini. Terorisme ada dimana-mana, berada dimana-mana, dan bisa siapa saja. Ia mengancam, menumbuhkan rasa takut dan rasa khawatir yang teramat hebat akan kematian yang mendadak.
“Terorisme ada di sekitar kita,” bunyi sebuah pamflet yang disebarkan Polri berikut potret wajah para terorisme. Betapa menyeramkan. Publik pun selalu mewanti-wanti anggota keluarga sendiri agar menghindari berada di tengah-tengah pusat keramaian, karena selalu terbayang para korban ledakan bom bunuh diri yang pernah terjadi di negeri ini.
Benarkah negeri kita ini dipenuhi terorisme, kelompok-kelompok teror yang bergerak secara tersembunyi (klandestin)?
Kita tak tahu persis, tapi Polri selalu menyebut berulang-ulang tentang adanya jaringan terorisme di negeri ini. Jaringan yang berhubungan dengan jaringan terorisme Internasional, yang anggotanya sangat terlatih untuk melakukan teror, dan memiliki kenekadan yang melampaui logika berpikir.
Mau tak mau public percaya, karena Polri begitu meyakinkan. Kepercayaan yang tumbuh karena informasi tentang teroris dikemas sedemikian rapih, didukung oleh fakta-fakta intelijen yang melimpah, dan dipertegas oleh para pengamat terorisme. Tidak cuma itu, soal terorisme pun digiring masuk ke dalam ruang wacana public lewat kemasan yang apik dalam bentuk pernyataan, perbincangan, statement, opini, dialog, talk-show, debat, dan konperensi pers.
Semua kemasan itu mampu memperkuat daya magnet informasi tentang terorisme, menarik perhatian banyak kalangan, lalu menjadi pengetahuan umum. Media massa sangat berperan dalam hal ini, karena Polri berhasil menyakinkan pengelola institusi pers agar tidak cuma berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga menjadi institusi penguat informasi yang ada.
Daya kritis pers bukan saja melemah, tapi tidak muncul. Malah, tanpa sengaja pers turut serta memberikan legitimasi bahwa Polri merupakan satu-satunya lembaga Negara yang paling valid informasinya tentang terorisme.
Semakin banyak media massa melibatkan diri, maka informasi tentang terorisme itu semakin menjadi buah bibir. Semakin kecil pula kemungkinan akan ada mempertanyakan kebenaran dari informasi itu. Dalam situasi seperti ini posisi Polri diuntungkan, karena setiap informasi tentang terorisme yang disampaikannya selalu menjadi incaran pers.
*Terorisme di negeri ini merupakan fenomena sosial yang menarik untuk disoroti. Terutama karena soal terorisme itu adalah soal yang selalu diapungkan oleh Polri. Tidak ada satu institusi pun di negeri ini yang begitu bersemangat kalau sudah bicara tentang terorisme.
Polri selalu akan menyebarluaskan informasi terkait terorisme, mulai dari jaringan terorisme, kelompok-kelompok teroris, sampai individu-individu pelaku. Yang masih hidup maupun yang sudah mati, potret wajahnya disebarluaskan kepada public.
Yang masih hidup distigmatisasi sebagai pelaku yang menakutkan, sehingga harus diawasi public agar Polisi bisa menangkapnya hidup atau mati. Sedangkan yang sudah mati, dipublikasikan kepada public dengan mengecapnya sebagai penjahat kelas kakap sehingga pantas untuk tewas.
Polri juga sangat serius saat membuat defenisi tentang terorisme, mengotak-kotakkan kelompok terorisme sebagai “kelompok baru” atau “kelompok lama”. Anehnya, public menerima dan meyakini bahwa informasi dari Polri itu tidak keliru. Padahal, sebagian besar fakta yang dikemukakan Polri sesungguhnya tidak diperoleh dari sebuah “proses hukum” di ruang-ruang pengadilan, sekalipun Polri mestinya mencari data dengan cara menegakkan hokum yang berlaku.
Untuk soal terorisme, perkara proses hukum tampaknya dikesampingkan. Yang diutamakan adalah vonis langsung, tembak mati di tempat. Polri pun tak perlu memperhatikan azas praduga tak bersalah, apalagi hak asasi manusia. Begitu seseorang atau sebuah kelompok dicap sebagai teroris, maka cap itu juga berarti mati.
*Informasi tentang apapun, sesungguhnya, hasil rekayasa dari sumber informasi itu berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan yang ada. Tidak ada informasi yang betul-betul sama persis dengan realitas. Begitu juga informasi tentang terorisme yang dipublikasikan oleh Polri, tidak bias sepenuhnya diakui sebagai fakta sesuai realitas.
Di negeri ini, Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum, ternyata tidak selalu bekerja untuk menegakkan kebenaran. Dalam banyak kasus, Polri acap memproduksi realitas palsu, mengajukan tersangka palsu, tuntutan palsu, motif palsu, dan memalsukan berbagai fakta yang ada dalam perkara.
Kengototan Polri untuk menangani kasus korupsi di Korlantas Mabes Polri, lalu menetapkan tersangka yang berbeda dengan tersangka yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bisa ditenggarai sebagai upaya untuk memalsukan fakta korupsi yang sebenarnya.
Dalam soal terorisme, ada baiknya informasi yang disampaikan Polri diuji obyektivitasnya. Upaya Polri mengimformasikan pelaku terorisme di Solo sebagai “kelompok baru” yang berarti di luar dari kelompok terorisme yang sudah dikenal, pantas dipertanyakan motifnya.
Jangan-jangan informasi soal “kelompok baru terorisme” itu semacam strategi untuk meyakinkan public bahwa upaya Polri memerangi terorisme dan menembak mati para pelakunya selama ini berjalan sukses. Seluruh jaringan terorisme sudah diberantas, sehingga bila aksi teror tetap muncul, maka aksi itu dilakukan “kelompok baru terorisme”.
Dengan kata lain, perang terhadap terorisme selama ini sesungguhnya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan, karena tak mampu memutus jaringan terorisme yang ada. Tapi, Polri tidak ingin disebut gagal dan harus memproduksi ‘motif’ baru. Maka, Polri menyebut “kelompok baru terorisme” untuk menjauhkan institusinya dari tekanan publik, karena Polri pemilik sah atas legitimasi terorisme, pembuat cap yang tak akan terbantahkan. *
Penulis: Pengamat masalah kepolisian, peneliti di Matakata Institute, Pengajar komunikasi di Fisipol Universitas Bandar Lampung (UBL), Lembaga konsultasi komunikasi dan pencitraan yang terlibat dalam program peningkatan citra di lingkungan Divisi Propam Mabes Polri. (*)