Sudah terlalu malam ketika saya tiba di Sumowono, sebuah desa di gugusan Bukit Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Sudah terlalu gelap untuk bisa melihat kandang-kandang kambing di desa itu. Saya salah perhitungan. Berbekal alamat saja ternyata tidak cukup. Rencana untuk tiba di desa itu pukul 17.00 pun meleset.
Jarak Jogja”Purworejo yang diperkirakan bisa ditempuh satu jam ternyata harus tiga jam. Untuk bisa keluar dari Jogja saja sudah memerlukan waktu satu jam sendiri. Proyek flyover di ujung ring road Jogja itu membuat lalu lintas sore hari macet-cet.
Tapi, itu bukan penyebab utama. Kesalahan fatalnya karena saya salah memilih jalan: untuk ke Desa Sumowono ternyata bisa lewat Godean. Tidak perlu masuk Kota Purworejo. Tapi, nafsu besar untuk bisa menikmati dawet hitam yang terkenal itu membuat saya ingin masuk Kota Purworejo.
Akhirnya, saya baru masuk desa itu pukul 20.30. Sepi. Gelap. Pak Lurah Maryono pun tidak ada di rumah. Untung bisa dicari untuk segera pulang. Sudah lama saya ingin ke desa tersebut karena keistimewaan kambingnya. Tapi, tidak mungkin di kegelapan seperti itu saya bisa melihat di mana letak kecantikan kambing-kambing Sumowono.
Maka, saya putuskan saja bermalam di desa itu. Baru pagi-pagi keesokan harinya keinginan melihat kambing istimewa tersebut terlaksana. Sambil menikmati hawa sejuk pagi hari di Bukit Menoreh.
Malam itu, di rumah Pak Maryono yang belum sepenuhnya jadi, kami bisa ngobrol lesehan dengan beberapa penduduk yang memelihara kambing bantuan BUMN. Saya ingin melihat sendiri kenyataan di lapangan apakah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN itu benar-benar sebaik yang dilaporkan.
Kian malam, obrolan kian menarik. Suguhan singkong goreng dan pisang rebusnya enak sekali. Apalagi, Bu Lurah Maryono juga menyuguhkan susu hangat dari kambing etawa, yang manisnya berasal dari gula aren produksi desa sendiri.
Obrolan di lantai malam itu kian lengkap karena Pak Bupati Purworejo Drs Mahsun Zain tiba-tiba muncul ikut lesehan. Inilah obrolan yang penuh canda karena banyak juga membicarakan masalah seks! Terutama hubungan seks antarkambing.
“Kalau terjadi hubungan seks di sini, pihak wanitanya yang harus bayar,” ujar Warman, seorang penerima bantuan kambing etawa BUMN PT Jasa Raharja (Persero). “Sekali hubungan Rp 50.000,” tambahnya.
Waktu itu, 1,5 tahun lalu, Warman bersama 23 penduduk Sumowono menerima pinjaman dari Jasa Raharja Rp 15 juta masing-masing. Bunganya hanya 6 persen setahun. Tiap orang bebas menentukan strateginya sendiri. Boleh membeli lima kambing kecil-kecil, boleh juga membeli tiga kambing yang sudah besar. Warman membeli tiga kambing etawa: dua induk dan satu calon induk.
Sabtu kemarin, ketika saya di sana, kambing Warman sudah 14 ekor! Hanya dalam waktu 1,5 tahun. Warman termasuk warga yang cerdas dalam menentukan strategi mengenai jenis kambing yang harus dibeli dengan uang Rp 15 juta itu. Sama-sama dapat pinjaman Rp 15 juta, ada yang saat ini baru memiliki 10 kambing. Program tersebut memang sangat berhasil. Di antara 23 orang yang tergabung dalam kelompok Ngudi Luwih, tidak satu pun yang gagal. Semua kambing mereka berkembang. Semuanya mampu membayar cicilan pertama sebesar Rp 5 juta.
Kalau toh ada yang belum memuaskan, program itu belum menyentuh penduduk termiskin di desa tersebut.
Soal itulah yang kala itu kami obrolkan sampai malam: bagaimana penduduk termiskin bisa dientas lewat program yang sama. Menurut Pak Lurah, masih ada 100 KK (di antara 350) yang sangat miskin. Seratus KK tersebut kami kelompokkan: mana yang bisa segera ditangani dan mana yang harus tahap berikutnya. Ternyata, ada 40 KK yang bisa segera dibikinkan program yang sama. Pak Lurah bersama penduduk yang sudah terbukti mampu mengembangkan kambing sepakat untuk bersama-sama menuntun 40 orang itu. “Baik, Pak. Kami akan ikut membina mereka,” ujar Pak Lurah.
Awalnya, bantuan tersebut ditawarkan kepada siapa saja di desa itu. Tentu harus untuk membeli kambing etawa. Sebab, memelihara etawa sudah mendarah daging di pegunungan itu. Sudah sejak zaman Belanda. Tapi, ternyata, mereka yang tergolong termiskin tersebut tidak mau mendaftar.
Mengapa Mereka pada takut. Takut punya utang dan takut tidak bisa mengembalikan,” ujar Pak Lurah. Tapi, setelah melihat banyak penduduk yang berhasil, sebagian dari 100 orang tersebut kini mulai berani.
Misalnya Pak Habib Abdul Rosyid.
Habib adalah imam masjid kecil di desa itu. Bacaan ayat-ayat Alquran-nya sangat baik. Habib hanyalah tamatan madrasah tsanawiyah (setingkat SMP), yang karena kemiskinannya tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih atas. Sehari-hari Habib (42 tahun) menjadi buruh tani, mencangkul atau mencari rumput. Habib juga memelihara enam kambing, tapi milik orang lain. Habib hanya menggaduh.
Setelah salat Subuh yang dia imamnya, saya ngobrol lesehan dengan seluruh jamaah di teras masjid. Tentu obrolan mengenai kambing etawa. Habib tiba-tiba mengajukan diri untuk mendapatkan bantuan Jasa Raharja.
“Mengapa tidak ikut kelompok yang pertama dulu?” tanya saya. “Waktu itu saya takut, Pak. Ternyata Bapak-Bapak ini berhasil semua,” ujarnya.
“Sekarang sudah berani?” tanya saya.
“Berani, Pak. Saya harus berhasil. Saya harus maju. Dan lagi anak saya tiga. Sudah mulai ada yang masuk SMP. Sudah mulai memerlukan banyak biaya,” tambahnya.
Habib juga segera ingin berubah. Dari memelihara kambing biasa milik orang lain menjadi memelihara kambing etawa milik sendiri. Kambing biasa, papar Habib, memerlukan makan sangat banyak. “Dua kali lipat dari kambing etawa,” tambahnya. “Kambing etawa hanya sekali makan. Kambing biasa tidak henti-henti makan. Menjelang tidur pun masih makan,” kata Habib. “Di musim kemarau seperti ini saya harus cari rumput sampai lima kilometer jauhnya,” tutur dia.
Salon Kambing
Kambing etawa adalah kambing yang dipelihara bukan karena dagingnya, tapi karena kecantikannya. Tubuhnya tinggi (90 cm), besar, dan indah serta bulunya (khususnya bulu panjang yang tumbuh di bagian pantatnya) sangat seksi. Bentuk wajahnya manis seperti ikan lohan. Telinganya panjang menjuntai dengan bentuk yang mirip hiasan di leher.
Memang orang memelihara kambing etawa karena harga jualnya yang tinggi. Satu ekor bisa mencapai Rp 10 juta. Mengalahkan harga kerbau sekalipun. Memang memelihara kambing etawa seperti memelihara ikan lohan atau burung cucakrawa: untuk hobi. Karena itu, peternak etawa harus amat rajin merawat kambingnya. Agar terlihat selalu cantik. Kalau perlu sesekali membawa kambingnya ke salon kambing.
Pagi itu kebetulan lagi hari pasaran kambing etawa di Kaligesing. Pak Bupati, yang pagi-pagi kembali ke Sumowono, mengajak saya ke pasar hewan. Seru! Inilah satu-satunya bursa kambing etawa di republik ini. Pemilik etawa datang dari berbagai kabupaten. (*)