29 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Setelah Istri Membawa Rejeki Scaffolding

New Hope-Dahlan IskanHilangkan kebencian! Kata Mohed.

Sekian puluh tahun kemudian, Mohed, yang waktu kecil dididik dengan penuh kebencian, memiliki lebih dari 100 perusahaan. Di 100 negara.

Menarik: dia orang Syiria. Suku Badui. Yang dulu hidup berpindah-pindah di padang pasir. Kini Mohed tinggal di Prancis selatan.

“Itulah kunci sukses saya,” ujar Mohed Alfrad yang tahun lalu terpilih sebagai World Enterpreneur of the Year di Monaco.

Mohed sendiri tidak tahu tanggal lahirnya. Maklum: lahir di padang pasir. Kira-kira saja kini berumur 68 tahun. Anak-anaknyalah yang belakangan memutuskan tanggal berapa Mohed lahir. Agar bisa merayakan ulang tahun sang ayah.

Sejak kecil Mohed tidak punya ibu. Sang ibu meninggal. Ketika umur sang ibu masih remaja. Waktu itu sang ibu terpaksa hamil: diperkosa seorang tokoh sukunya. Lahirlah Mohed.

Tanpa ibu Mohed diasuh oleh neneknya. Ikut pindah-pindah. Sesuai dengan kebiasaan suku nomaden. Dari satu oase ke gurun yang lain.

Akhirnya Mohed kecil diajak menetap di dekat kota Raqqa. Kota kecil yang kini sangat terkenal itu: ibukota negara Islam ISIS.

Di Raqqalah Mohed ingin sekali  sekolah. Seperti teman-temannya. Neneknya melarang. Tapi Mohed diam-diam berangkat ke sekolah. Jalan kaki enam kilometer. Tanpa alas kaki.

Setiap pulang Mohed dimarahi. “Menggembala kambing tidak perlu ijasah,” kata sang nenek. Seperti umumnya anak Badui Arab sang nenek juga harus menyiapkan sang cucu untuk jadi penggembala yang baik.

Mohed nekad. Di sekolah Mohed menemukan kebahagiaan. Juga menemukan pembebasan jiwanya. Dia menemukan cahaya. Yang akan bisa menerangi kegelapan sejarah kelahirannya. Tiap pagi dia cepat bangun. Agar keberangkatannya  tidak dipergoki sang nenek.

Mohed juara sekolah.

Di semua jenjang. Sampai SMA.

Dia selalu dapat beasiswa. Termasuk saat lulus jadi sarjana. Pelajaran fisika dan matematikanya mengungguli seluruh negeri.

Pemerintah pun mengirimnya ke Prancis. Tapi Mohed hanya bisa bahasa Arab. Maka dia harus belajar bahasa Prancis dulu di Montpellier. Enam bulan Mohed belajar bahasa di kota bibir pantai selatan Prancis ini.

Tentu itu belum cukup. “Saat harus mulai kuliah di Paris saya hanya mengerti 10 persen dari apa yang dikatakan profesor saya,” guraunya.

“Tapi sudah cukup untuk mencari pacar gadis asli Prancis,” guraunya.

New Hope-Dahlan IskanHilangkan kebencian! Kata Mohed.

Sekian puluh tahun kemudian, Mohed, yang waktu kecil dididik dengan penuh kebencian, memiliki lebih dari 100 perusahaan. Di 100 negara.

Menarik: dia orang Syiria. Suku Badui. Yang dulu hidup berpindah-pindah di padang pasir. Kini Mohed tinggal di Prancis selatan.

“Itulah kunci sukses saya,” ujar Mohed Alfrad yang tahun lalu terpilih sebagai World Enterpreneur of the Year di Monaco.

Mohed sendiri tidak tahu tanggal lahirnya. Maklum: lahir di padang pasir. Kira-kira saja kini berumur 68 tahun. Anak-anaknyalah yang belakangan memutuskan tanggal berapa Mohed lahir. Agar bisa merayakan ulang tahun sang ayah.

Sejak kecil Mohed tidak punya ibu. Sang ibu meninggal. Ketika umur sang ibu masih remaja. Waktu itu sang ibu terpaksa hamil: diperkosa seorang tokoh sukunya. Lahirlah Mohed.

Tanpa ibu Mohed diasuh oleh neneknya. Ikut pindah-pindah. Sesuai dengan kebiasaan suku nomaden. Dari satu oase ke gurun yang lain.

Akhirnya Mohed kecil diajak menetap di dekat kota Raqqa. Kota kecil yang kini sangat terkenal itu: ibukota negara Islam ISIS.

Di Raqqalah Mohed ingin sekali  sekolah. Seperti teman-temannya. Neneknya melarang. Tapi Mohed diam-diam berangkat ke sekolah. Jalan kaki enam kilometer. Tanpa alas kaki.

Setiap pulang Mohed dimarahi. “Menggembala kambing tidak perlu ijasah,” kata sang nenek. Seperti umumnya anak Badui Arab sang nenek juga harus menyiapkan sang cucu untuk jadi penggembala yang baik.

Mohed nekad. Di sekolah Mohed menemukan kebahagiaan. Juga menemukan pembebasan jiwanya. Dia menemukan cahaya. Yang akan bisa menerangi kegelapan sejarah kelahirannya. Tiap pagi dia cepat bangun. Agar keberangkatannya  tidak dipergoki sang nenek.

Mohed juara sekolah.

Di semua jenjang. Sampai SMA.

Dia selalu dapat beasiswa. Termasuk saat lulus jadi sarjana. Pelajaran fisika dan matematikanya mengungguli seluruh negeri.

Pemerintah pun mengirimnya ke Prancis. Tapi Mohed hanya bisa bahasa Arab. Maka dia harus belajar bahasa Prancis dulu di Montpellier. Enam bulan Mohed belajar bahasa di kota bibir pantai selatan Prancis ini.

Tentu itu belum cukup. “Saat harus mulai kuliah di Paris saya hanya mengerti 10 persen dari apa yang dikatakan profesor saya,” guraunya.

“Tapi sudah cukup untuk mencari pacar gadis asli Prancis,” guraunya.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/