30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Politik Sektarian Mulai Memudar

JAKARTA – Hasil exit poll Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC) menunjukkan bahwa telah terjadi sekularisasi politik. Kemenangan pasangan yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra membuktikan bahwa isu agama dan etnis tidak laku lagi di mata pemilih. Artinya, politik sektarian yang mengedepankan agama dan kesukuan sebagai modal utama calon gubernur terbukti di lapangan sebagai ‘jualan’ usang.

“Riset ini mengindikasikan bahwa Muslim Jakarta cukup sekuler perilaku politiknya,” kata Chief Eksekutif Officer SMRC, Grace Natalie, saat memaparkan temuan exit poll Pilgub DKI Jakarta di Jakarta, Minggu (23/9).

Grace menjelaskan dari 88,5 persen pemilih yang Muslim ada 49, 8 persen yang menyatakan bahwa Islam tidak melarang memilih pemimpin dari non-Muslim. Sebanyak 44,5 persen menyatakan Islam melarang memilih pemimpin non-Muslim. Sisanya, 5,7 persen menyatakan tidak tahu.

“Yang yakin bahwa Islam mengharuskan memilih pemimpin beragama Islam itu ternyata tidak mayoritas,” katanya.

Mantan presenter televisi ini mengatakan, selain sekularisasi politik, yang terpenting adalah kelas sosial dari pemilih. Kata dia, yang perpendidikan dan berpendapatan lebih baik cenderung mengabaikan agama pasangan calon.

“Ini juga konsisten dengan paradigma sekularisasi politik. Di mana, sekularisasi politik biasa terkait dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan,” dia menguatkan.

Fenomena itu semakin meyakinkan partai-partai bahwa politik aliran di Indonesia semakin memudar. Bukan hanya partai berbasis nasionalis, Partai Amanat Nasional (PAN) yang notabene dikenal sebagai salah satu partai berbasis utama massa Islam perkotaan juga mengakuinya.

”Sekarang ini, masyarakat memang sudah tidak larut dalam politik aliran,” ujar Sekjen DPP PAN Taufik Kurniawan, di Jakarta, Sabtu (22/9). Menurut dia, perkembangan demokrasi terkini secara faktual telah menunjukkan bahwa jatuhnya pilihan masyarakat terhadap salah satu kandidat lebih menitikberatkan pada faktor figur.

Hal tersebut, lanjut dia, berbeda dengan fenomena perpolitikan pada beberapa waktu sebelumnya. ”Kalau dulu lebih ke aliran karena yang dilihat adalah partai, nasionalis atau agamis, tetapi sekarang kekuatannya di figur yang bisa menarik dukungan publik,” tandas wakil ketua DPR tersebut.

Berdiri pada 1998, kelahiran PAN diantaranya ikut dibidani oleh mantan ketua umum PP Muhammadiyah Amien Rais, yang kemudian menjabat sebagai ketua umum hingga 2005. Karenanya wajar, jika partai pemilik 46 kursi di parlemen itu tetap dianggap memiliki kaitan historis dengan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Taufik menambahkan, kalau dalam demokrasi yang sudah maju, kandidat yang bisa memanfaatkan swing voters dan bisa diterima oleh berbagai lapisan masyarakat lah yang akan punya potensi besar menang dalam kompetisi politik pilihan langsung. ”Demokrasi benar-benar berjalan, bagaimana lembaga survei sudah memrediksi tetapi di last minute ternyata hasilnya berbeda dari prediksi,” katanya.

Meski demikian, Taufik tidak sepenuhnya sepakat dengan anggapan sejumlah pihak, kalau fenomena di Pilgub DKI Jakarta telah menggambarkan kegagalan partai secara umum. Khususnya, yang menyebut kalau partai sudah semakin berjarak dengan pemilihnya.
“Tidak bisa dikatakan ini kegagalan partai, sebagaimana tidak bisa pula digeneralisir dengan kekuatan politik nantinya di 2014,” paparnya.  Senada, Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham juga berpandangan kalau pemilih di Indonesia memang sudah sangat cair.

Politik aliran aliran diyakini tidak akan terlalu banyak lagi mendapat tempat di hati pemilih. ”Karenanya, kompetisi partai-partai sekarang adalah program politik masing-masing,” ujar Idrus.

Dia menambahkan, kalau mayoritas pemilih di Indonesia sudah semakin rasional dalam menjatuhkan pilihan politiknya. ”Pertimbangan-pertimbangan psiko-sosial politik kini sudah tak terlalu dominan lagi,” tukasnya. (awa/dyn/jpnn)

JAKARTA – Hasil exit poll Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC) menunjukkan bahwa telah terjadi sekularisasi politik. Kemenangan pasangan yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra membuktikan bahwa isu agama dan etnis tidak laku lagi di mata pemilih. Artinya, politik sektarian yang mengedepankan agama dan kesukuan sebagai modal utama calon gubernur terbukti di lapangan sebagai ‘jualan’ usang.

“Riset ini mengindikasikan bahwa Muslim Jakarta cukup sekuler perilaku politiknya,” kata Chief Eksekutif Officer SMRC, Grace Natalie, saat memaparkan temuan exit poll Pilgub DKI Jakarta di Jakarta, Minggu (23/9).

Grace menjelaskan dari 88,5 persen pemilih yang Muslim ada 49, 8 persen yang menyatakan bahwa Islam tidak melarang memilih pemimpin dari non-Muslim. Sebanyak 44,5 persen menyatakan Islam melarang memilih pemimpin non-Muslim. Sisanya, 5,7 persen menyatakan tidak tahu.

“Yang yakin bahwa Islam mengharuskan memilih pemimpin beragama Islam itu ternyata tidak mayoritas,” katanya.

Mantan presenter televisi ini mengatakan, selain sekularisasi politik, yang terpenting adalah kelas sosial dari pemilih. Kata dia, yang perpendidikan dan berpendapatan lebih baik cenderung mengabaikan agama pasangan calon.

“Ini juga konsisten dengan paradigma sekularisasi politik. Di mana, sekularisasi politik biasa terkait dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan,” dia menguatkan.

Fenomena itu semakin meyakinkan partai-partai bahwa politik aliran di Indonesia semakin memudar. Bukan hanya partai berbasis nasionalis, Partai Amanat Nasional (PAN) yang notabene dikenal sebagai salah satu partai berbasis utama massa Islam perkotaan juga mengakuinya.

”Sekarang ini, masyarakat memang sudah tidak larut dalam politik aliran,” ujar Sekjen DPP PAN Taufik Kurniawan, di Jakarta, Sabtu (22/9). Menurut dia, perkembangan demokrasi terkini secara faktual telah menunjukkan bahwa jatuhnya pilihan masyarakat terhadap salah satu kandidat lebih menitikberatkan pada faktor figur.

Hal tersebut, lanjut dia, berbeda dengan fenomena perpolitikan pada beberapa waktu sebelumnya. ”Kalau dulu lebih ke aliran karena yang dilihat adalah partai, nasionalis atau agamis, tetapi sekarang kekuatannya di figur yang bisa menarik dukungan publik,” tandas wakil ketua DPR tersebut.

Berdiri pada 1998, kelahiran PAN diantaranya ikut dibidani oleh mantan ketua umum PP Muhammadiyah Amien Rais, yang kemudian menjabat sebagai ketua umum hingga 2005. Karenanya wajar, jika partai pemilik 46 kursi di parlemen itu tetap dianggap memiliki kaitan historis dengan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Taufik menambahkan, kalau dalam demokrasi yang sudah maju, kandidat yang bisa memanfaatkan swing voters dan bisa diterima oleh berbagai lapisan masyarakat lah yang akan punya potensi besar menang dalam kompetisi politik pilihan langsung. ”Demokrasi benar-benar berjalan, bagaimana lembaga survei sudah memrediksi tetapi di last minute ternyata hasilnya berbeda dari prediksi,” katanya.

Meski demikian, Taufik tidak sepenuhnya sepakat dengan anggapan sejumlah pihak, kalau fenomena di Pilgub DKI Jakarta telah menggambarkan kegagalan partai secara umum. Khususnya, yang menyebut kalau partai sudah semakin berjarak dengan pemilihnya.
“Tidak bisa dikatakan ini kegagalan partai, sebagaimana tidak bisa pula digeneralisir dengan kekuatan politik nantinya di 2014,” paparnya.  Senada, Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham juga berpandangan kalau pemilih di Indonesia memang sudah sangat cair.

Politik aliran aliran diyakini tidak akan terlalu banyak lagi mendapat tempat di hati pemilih. ”Karenanya, kompetisi partai-partai sekarang adalah program politik masing-masing,” ujar Idrus.

Dia menambahkan, kalau mayoritas pemilih di Indonesia sudah semakin rasional dalam menjatuhkan pilihan politiknya. ”Pertimbangan-pertimbangan psiko-sosial politik kini sudah tak terlalu dominan lagi,” tukasnya. (awa/dyn/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/