MARKETING SERIES (47)
Seth Godin sering disebut sebagai pemikir pemasaran masa depan. Salah satu yang dilakukan Seth adalah memopulerkan istilah permission marketing sebagai kebalikan dari interruption marketing. Bagi Seth, ketika informasi membeludak seperti sekarang, para pemasar harus berebut atensi orang.
Saya, misalnya, setiap bangun tidur di Jakarta, setidaknya selalu disuguhi tiga koran. Pembantu saya biasanya sudah menyetel televisi dengan saluran TV One karena di situ saya meng-update situasi politik terakhir.
Sambil membaca koran-koran itu secara cepat, saya biasanya mengganti-ganti saluran televisi ke Metro TV, CNN, FOX, dan CNBC supaya tidak ketinggalan breaking news dari luar. Ketika sudah mandi dan makan pagi, saya biasanya terus mengikuti acara televisi di mobil saya yang didesain khusus oleh Presdir Hyundai Yongkie Sugiharto menjadi seperti kantor dengan format medium.
Saya lantas mengecek e-mail dan pesan Twitter lewat BlackBerry. Berbagai link bisa membuat saya menghabiskan waktu cukup lama. Supaya lancar, mobil saya dilengkapi wifi juga. Kalau ada yang menarik, link tersebut saya buka di iPad. Selain itu, masih ada SMS yang perlu diperiksa di iPhone dan diary digital di Samsung Galaxy S3.
Begitu juga di Kantor MarkPlus Jakarta. Karena tidak punya ruang pribadi, saya biasanya ke ruang rapat yang ada televisinya. Karena jadi salah seorang pelanggan Groovia dari Telkomvision, saya bisa mencari program dari stasiun televisi yang tak sempat tertonton. Ada semacam vodcast yang bisa dicari kembali.
***
Mulai pagi hingga malam menjelang tidur lagi, begitu banyak intervensi informasi yang masuk ke benak saya. Ada billboard di jalan. Ada selebaran yang disebar di lampu merah Jakarta yang macet. Juga banyak promosi yang menggoda kalau kebetulan ada business dinner.
Pokoknya, interaksi dengan berbagai brand lewat berbagai media, baik media satu arah maupun media interaktif, terus-menerus berlangsung. Pertanyaannya, informasi mana yang mendapatkan attention?
Semua informasi tadi seolah berebut untuk mendapatkan atensi publik. Dulu saya senang saat mendapatkan direct-mail dari Citibank yang menawari saya sesuatu. Rasanya jadi orang istimewa ketika menerima hal itu. Apalagi kalau ada perkataan, “Anda terpilih untuk menerima penawaran istimewa dari kami.”
Sekarang surat elektronik pribadi seperti itu hampir tidak pernah dibuka. SMS dan e-mail broadcast juga akhirnya jadi spam karena dilakukan tanpa permisi. Orang tidak akan mau buang waktu untuk memberikan atensi kepada semua informasi yang masuk itu. Sebab, aset terbesar orang saat sulit memilih info mana yang harus mendapat atensi adalah waktu!
Karena itulah, interruption marketing jadi tidak efektif, termasuk iklan yang tidak diharapkan. Jalan keluarnya? Ya minta permisi, apakah boleh melanjutkan memberikan informasi? Jadi, permission marketing adalah cara untuk mendapatkan izin memberikan informasi guna mendapatkan acceptance sebagai inti dari konfirmasi.
Seth sendiri menyebut permission marketing sebagai turning strangers into friends and friends into customers. Anda bisa baca empat bab pertama bukunya dengan gratis, asal mengirimkan alamat e-mail. Dia pun berjanji tidak akan menggunakan alamat e-mail tersebut untuk mengirim apa pun selain empat bab itu. Kalau mau baca selengkapnya? Beli.
Seth benar. Mencoba menjual kepada lebih banyak orang yang tidak dikenal pasti akan sulit. Tetapi, kalau Anda mengubah stranger itu jadi friend, mudah untuk akhirnya menjadikannya sebagai customer. Dan, harus ada permisi dari stranger supaya menerima kita jadi friend.
Dalam bukunya, Seth memberikan sebuah gambaran yang baik, yaitu supaya bisa ajak cewek untuk dating tentu ada tahapnya. Tidak bisa langsung. Harus ada perkenalan yang penuh daya tarik, baru dating.
Artinya, harus ada permisi dulu dan bukan interupsi.
Bagaimana pendapat Anda? (*)