26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

ICW Ungkit Lagi Kasus Langkat

JAKARTA-Perkara korupsi APBD Langkat berpotensi dibuka lagi. Menurut Indonesia Corruptions Watch (ICW), pengungkapan kasus yang berujung pada masuknya Syamsul Arifin dan sejumlah mantan pejabat di Pemkab Langkat ke sel, belum tuntas benar.

Alasan ICW, sejumlah pihak yang menerima aliran dana APBD Langkat belum tersentuh hukum. Lembaga penggiat antikorupsi itu pun mengeluarkan rekomendasi ke KPK agar perkara ini dituntaskan. Termasuk mengusut para ketua dan mantan anggota DPRD Langkat yang pernah menerima mobil Panther.

Sikap ICW itu tertuang dalam data Laporan Eksaminasi Publik tahun 2012 terhadap 20 kasus tindak pidana korupsi, yang salah satunya kasus Syamsul Arifin itu. “KPK tidak boleh berhenti pada beberapa aktor saja,” demikian tertuang dokumen Laporan Eksaminasi ICW yang disusun tiga pentolan ICW, yakni Febri Diansyah, Donal Fariz, dan Emerson Yuntho.

Dalam dokumen itu, ICW mengulas kasus Syamsul, mulai sejak gubsu  nonaktif itu ditahan, proses persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi, hingga putusan tingkat banding.
ICW mendesak KPK melanjutkan kasus ini, dengan alasan dalam fakta persidangan ditemukan begitu banyak pihak yang disebut-sebut menerima sejumlah uang dari praktik korupsi yang dilakukan oleh Syamsul Arifin.
Di antaranya, sebut ICW, keluarga Syamsul Arifin dan rekan-rekan, dimana sejak tahun 2000 hingga tahun 2007 terungkap dana APBD mengalir kepada hampir seluruh keluarganya, yakni istri, anak-anak, adik, keponakan hingga kerabat terdakwa lainnya.

“Mereka ini dapat dikenakan pasal 5 UU Pencucian uang, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara,” demikian bunyi rekomendasi ICW.
Pengusutan lanjutan juga harus dilakukan terhadap mantan Ketua dan Anggota DPRD Langkat saat itu. Menurut ICW, dalam fakta persidangan terungkap aliran dana korupsi yang dilakukan oleh Syamsul Arifin mengalir ke Ketua dan Anggota DPRD Kab Langkat.

Dana yang mengalir ke wakil rakyat Langkat ini, menurut ICW berdasar fakta persidangan, berupa 43 mobil Panther pada 2003 dan pemberian uang untuk pembahasan APBD dan PAPBD periode 2000 hingga 2007. Hal ini menurut ICW tergolong gratifikasi dan harus diusut.”Mereka bisa dikenakan pasal suap dan gratifikasi dalam UU Tipikor,” demikian tertuang dalam dokumen.

Dalam catatan koran ini, terungkap di persidangan kasus Syamsul, dari 43 pembelian mobil Panther untuk mobil pribadi anggota dewan Kabupaten Langkat, yang baru mengembalikan enam orang. Terungkap pula di persidangan, pembelian mobil tersebut menggunakan uang kas Pemkab Langkat.

Sejumlah mantan anggota dewan yang dihadirkan sebagi saksi di persidangan mengakui tidak pernah membayar cicilan, namun hanya membayar beberapa juta saja untuk pengurusan surat-surat bukti kepemilikan Panther itu.
Pembelian Panther itu tidak dianggarkan di APBD Langkat. Pembayaran menggunakan cek rekening Kas Daerah di Bank Sumut Cabang Binjai senilai Rp10,214 miliar yang menurut dakwaan jaksa, diteken Syamsul dan Buyung Ritonga.
Lantas, guna menutupi bobolnya kas itu, dilakukan pemotongan anggaran dari beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selama periode 2002-2003. (sam)

JAKARTA-Perkara korupsi APBD Langkat berpotensi dibuka lagi. Menurut Indonesia Corruptions Watch (ICW), pengungkapan kasus yang berujung pada masuknya Syamsul Arifin dan sejumlah mantan pejabat di Pemkab Langkat ke sel, belum tuntas benar.

Alasan ICW, sejumlah pihak yang menerima aliran dana APBD Langkat belum tersentuh hukum. Lembaga penggiat antikorupsi itu pun mengeluarkan rekomendasi ke KPK agar perkara ini dituntaskan. Termasuk mengusut para ketua dan mantan anggota DPRD Langkat yang pernah menerima mobil Panther.

Sikap ICW itu tertuang dalam data Laporan Eksaminasi Publik tahun 2012 terhadap 20 kasus tindak pidana korupsi, yang salah satunya kasus Syamsul Arifin itu. “KPK tidak boleh berhenti pada beberapa aktor saja,” demikian tertuang dokumen Laporan Eksaminasi ICW yang disusun tiga pentolan ICW, yakni Febri Diansyah, Donal Fariz, dan Emerson Yuntho.

Dalam dokumen itu, ICW mengulas kasus Syamsul, mulai sejak gubsu  nonaktif itu ditahan, proses persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi, hingga putusan tingkat banding.
ICW mendesak KPK melanjutkan kasus ini, dengan alasan dalam fakta persidangan ditemukan begitu banyak pihak yang disebut-sebut menerima sejumlah uang dari praktik korupsi yang dilakukan oleh Syamsul Arifin.
Di antaranya, sebut ICW, keluarga Syamsul Arifin dan rekan-rekan, dimana sejak tahun 2000 hingga tahun 2007 terungkap dana APBD mengalir kepada hampir seluruh keluarganya, yakni istri, anak-anak, adik, keponakan hingga kerabat terdakwa lainnya.

“Mereka ini dapat dikenakan pasal 5 UU Pencucian uang, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara,” demikian bunyi rekomendasi ICW.
Pengusutan lanjutan juga harus dilakukan terhadap mantan Ketua dan Anggota DPRD Langkat saat itu. Menurut ICW, dalam fakta persidangan terungkap aliran dana korupsi yang dilakukan oleh Syamsul Arifin mengalir ke Ketua dan Anggota DPRD Kab Langkat.

Dana yang mengalir ke wakil rakyat Langkat ini, menurut ICW berdasar fakta persidangan, berupa 43 mobil Panther pada 2003 dan pemberian uang untuk pembahasan APBD dan PAPBD periode 2000 hingga 2007. Hal ini menurut ICW tergolong gratifikasi dan harus diusut.”Mereka bisa dikenakan pasal suap dan gratifikasi dalam UU Tipikor,” demikian tertuang dalam dokumen.

Dalam catatan koran ini, terungkap di persidangan kasus Syamsul, dari 43 pembelian mobil Panther untuk mobil pribadi anggota dewan Kabupaten Langkat, yang baru mengembalikan enam orang. Terungkap pula di persidangan, pembelian mobil tersebut menggunakan uang kas Pemkab Langkat.

Sejumlah mantan anggota dewan yang dihadirkan sebagi saksi di persidangan mengakui tidak pernah membayar cicilan, namun hanya membayar beberapa juta saja untuk pengurusan surat-surat bukti kepemilikan Panther itu.
Pembelian Panther itu tidak dianggarkan di APBD Langkat. Pembayaran menggunakan cek rekening Kas Daerah di Bank Sumut Cabang Binjai senilai Rp10,214 miliar yang menurut dakwaan jaksa, diteken Syamsul dan Buyung Ritonga.
Lantas, guna menutupi bobolnya kas itu, dilakukan pemotongan anggaran dari beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selama periode 2002-2003. (sam)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/