Laporan: Soetomo Samsu, Jakarta
BAGI warga Batak yang sudah lama tinggal di Ibukota, pastilah sudah cukup akrab dengan keberadaan pasar Senen. Bagaimana tidak, khusus blok Pasar Inpres Senen, hampir seluruh pedagangnya merupakan warga Batak. Jenis dagangannya pun sarat dengan barang khas Batak, termasuk teri Medann
Otomatis, pembelinya pun mayoritas warga Batak.Berikut liputan Pasar Senen yang pernah diturunkan di Sumut Pos edisi Jumat, 17 Februari 2012 lalu.
Seluas sekitar 80 meter kali 70 meter, kawasan Pasar Inpres Senen ini terasa sumpek. Persis di sisi samping terminal angkot Senen, merupakan kios-kios penjual buku dengan harga miring. Jauh dibanding harga toko.
Agak masuk ke dalam, penjual kain dan tas. Sedang ke ujungnya, penjual beragam ikan asin, di lapak-lapak kaki lima. Tapi bukan itu yang menarik.
Suasana kental Batak yang terasa unik, di tengah ramainya kawasan Senen, salah satu pusat keramaian Jakarta. Logat Batak mendominasi suara orang berbincang. Kain-kain yang dijual pun kain tradisional Batak, termasuk beragam jenis ulos berdasar daerah asal. Ikan asinnya pun, terutama teri, khusus didatangkan dari Medan.
“Yang ini buku cerita dari kampung saya, Bang,” ujar Alex Jhonson, dengan logat Batak sembari menunjukkan buku cerita anak-anak karya MB Rahimsyah AR berjudul Asal Mula Danau Toba. Mungkin karena menyangkut cerita tentang ‘kampungnya’, pria asal Tarutung itu berulang-ulang menawarkan buku cerita tentang asal-usul Danau Toba itu.
Padahal, beragam jenis buku cerita anak-anak, juga Al Quran, buku Iqra, dan beberapa jenis buku lainnya, bertumpuk-tumpuk memenuhi kios yang dijaga Alex. Ada sekitar 20 kios buku ukuran besar di blok itu, yang semua pedagangnya orang Batak.
Berjalan menyusur lebih ke dalam, sejumlah pedagang menunggu pembeli sembari main catur. Sebagian yang lain duduk-duduk di depan kios, bercengkerama dengan sesama pedagang, sambil ikut mendendangkan lagu-lagu Batak yang terdengar dari kaset yang diputar.
“Ini ulos sadum dari Taput. Ini ulos Hati Rongga dari Simalungun. Ini ulos sadum Angkola dari Sipirok, yang ini uwis nipes dari Karo,” ujar Tiorina Siagian, pedagang di pasar itu asal Perdagangan, Siantar.
Ibu-ibu yang ramah dan ‘ramai’ saat ngomong ini, cerita, kain-kain ulos dagangannya dipasok langsung dari pengrajin ulos yang ada di daerah, sesuai jenisnya. “Untuk satu jenis ulos sebulan rata-rata 10 lusin,” ujarnya, sembari mengaku berjualan di Pasar Senen Inpres itu sejak 1975.
Dia cerita, sebagian besar pembeli ulos dagangannya adalah warga Batak di Jakarta. “Sudah banyak langganan kita,” ujarnya pamer.
Sebelah kios Tiorina adalah lapak ikan asin. “Teri Medan Bang…teri Medan, asli,” ujar Umar, si penjual, tatkala koran ini mendekat. Teri Medan, katanya, merupakan dagangannya yang paling laris. “Setiap hari pasokan datang dari Medan,” imbuhnya mulai membuka pembicaraan.
Sudah 10 tahun Umar berdagang di Pasar Senen. Dia bisa ‘masuk’ ke situ, karena dibawa oleh kenalannya yang sudah lama jualan di pasar terkenal itu. “Saya orang Medan, di sini sudah banyak saudara. Di sini hampir semuanya orang Batak,” katanya.
Umar mengaku tidak tahu persis bagaimana ceritanya hingga bisa hampir semua pedagang di Pasar Senen Inpres itu orang Batak. Dia hanya menduga, model saling membawa kenalan sesama orang Batak, secara berantai, yang menjadikan pasar itu seolah menjadi milik orang Batak.
Pelacakan koran ini dari data tertulis, Pasar Senen dibuka oleh Yustinus Vinck pada tahun 1733. Selain Pasar Senen, Vinck juga membuka Pasar Tanah Abang.
Setelah zaman kemerdekaan hingga tahun 1975, Senen menjadi pusat perdagangan terkemuka di Jakarta. Pada tahun 1974 terjadi tragedi Malari yang memporakporandakan Pasar Senen. Aksi mahasiswa yang dipimpin Hariman Siregar saat itu, marah atas kebijakan ekonomi Indonesia yang dinilai bergantung pada Jepang. Saat itu, Pasar Senen merupakan simbol dari penjualan produk-produk Jepang.
Tidak ada data sejarah yang pasti, mengapa Pasar Senen Inpres, yang merupakan bagian dari kawasan besar Pasar Senen, hingga saat ini ‘dikuasai’ orang Batak.
Cerita menarik justru datang dari P Panjaitan, seorang sopir angkot, yang kebetulan sedang nongkrong di kios kerabatnya di pasar itu. Menurutnya, dari awal berdirinya pasar itu, hampir seluruh jenis barang dagangan, dipasok dari Belawan, Medan.
“Dulu kain dari Singapura dan Batam, dikirim ke sini dari Belawan, setiap hari Senin, sehingga dinamai pasar Senen. Nah, yang memasok kain itu orang Batak,” cerita Panjaitan, pria asal Tebingtinggi, serius.
Setelah kain, jenis-jenis makanan khas Medan menyusul, mulai dari teri, markisa, hingga andaliman. Sekarang, seiring kemajuan sarana transportasi, pasokan tidak hanya hari Senin saja.
“Penjualnya juga sudah ada dari Padang dan Jawa. Tapi tetap terbanyak Batak,” imbuh Marta, ibu-ibu yang jualan minuman di kawasan itu. Mirip dengan cerita Umar, perempuan asal Siantar itu juga mengaku bisa jualan di situ karena diajak kerabat.
“Orang Selatan juga sudah banyak di sini,” ujarnya. “Dari Padangsidempuan, Sipirok, juga ada di sini,” katanya memberikan penjelasan maksud kata Selatan itu.
Sungguh menarik. Di tengah-tengah pasar, serasa berada di kawasan Tano Batak, bukan di Jakarta. “Kalau saya pengen rasakan andaliman, saya belanja di sini. Mau cari jeruk purut saja saya ke sini, karena asli dari Medan,” ujar Kartini, ibu-ibu asal Balige, yang berdomisili di Jatinegara, Jakarta Timur sejak 1970, saat sedang belanja.
“Pokoknya bumbu-bumbu Batak ada semua di sini,” imbuhnya lagi. Soal teri, dia juga tak mau beli di pasar lain. “Kalau yang di sini benar-benar asli Medan. Tapi kalau tak pinter beli, dikasih teri Lampung,” ujarnya sembari terkekeh. Penjual teri di depannya pun ikut terkekeh. (*)