26 C
Medan
Monday, September 30, 2024

Save 900 Karyawan Tambang Emas Martabe

MEDAN-Kisruh Tambang Emas Martabe belum juga tuntas. PT Agincourt Resources sebagai pengelolah tambang telah merumahkan 900 karyawannya. Dan, kepastian tambang itu akan beroperasi lagi belum juga jelas.

Hal inilah yang membuat Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Gatot Pujo Nugroho, akan melaporkan pihak Agincourt Resources yang telah merumahkan 900 karyawannya  “Kalau memang jadi bertemu, besok (hari ini, Red) akan kita sampaikan kepada Menteri ESDM terkait PT Agincourt yang merumahkan 900 karyawan,” akunya, kemarin di Kantor Gubsu, Jalan Diponegoro, Medan.

Ditambahkan Gatot, menteri telah berkomitmen untuk mengupayakan agar karyawan tidak dirumahkan. “Menteri akan menyampaikan itu dan kemudian akan menekan dari pihak Agincourt agar tidak melakukan hal tersebut,” ujarnya.

Namun, Gatot, sempat mempersoalkan apakah merumahkan itu sama artinya dengan pemecatan? Gatot sempat bersikukuh, jika merumahkan karyawan bukan berarti memecat. Namun, hanya mengurangi jam kerja karyawan.

“Itulah salah satunya kenapa Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Dinas Pertambangan yang saya unjuk mereka ke Jakarta untuk membahas hal tersebut,” ujarnya.
Dikatakannya lagi, karena hal itu merupakan informasi dan laporan terkini, di mana sebanyak 900 karyawan tambang emas dirumahkan, Gatot menyatakan, pihaknya akan mengecek ulang laporan tersebut.

Sebelumnya, terhambatnya pemasangan pipa air ke Sungai Batangtoru mengakibatkan Tambang Emas Martabe terpaksa merumahkan 900 karyawan dan kontraktor, menyusul terjadinya penghentian operasional tambang sejak 19 September lalu.

Secara otomatis, eksesnya adalah menimbulkan kerugian sangat berarti pada pendapatan harian dan pajak.  Peter Albert, Presiden Direktur Tambang Emas Martabe, melalui Communications Manager PT Agincourt Resources, Katarina Hardono kepada Sumut Pos beberapa waktu lalu, menyatakan keputusan yang diambil merupakan keputusan yang sulit.

“Kami menyesal, kami tidak punya pilihan selain harus merumahkan karyawan. Meski sementara ini kami masih mampu menyediakan gaji pokok, namun kami sungguh membutuhkan solusi nyata dalam beberapa hari ke depan agar kami bisa beroperasi kembali. Tanpa penuntasan pemasangan pipa, Tambang Emas Martabe tidak dapat beroperasi. Akibatnya, tidak ada pemasukan untuk membayar gaji karyawan, biaya operasional, dan biaya terkait lain, termasuk program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,” tegas Peter.

Dijelaskannya, Tambang Emas Martabe mempekerjakan lebih dari 2.700 orang, 70 persen diantaranya berasal dari penduduk lokal Batangtoru dan sekitarnya.

Dan tambang emas itu, lanjutnya,  merupakan investasi terbesar di industri tambang selama sepuluh tahun terakhir, dengan total angka investasi, belanja modal, dan modal kerja perusahaan mendekati 900 Juta Dolar AS atau setara  Rp8,5 Triliun, dengan kurs 1 Dolar AS setara dengan Rp9.500, yang sebagian besar dibelanjakan di Indonesia.

Komisi 7 Belum Sempat Bahas Kisruh Tambang Emas Martabe
Sementara itu dari Jakarta, Ketua Komisi VII DPR RI, Sutan Bathoegana Siregar, menyatakan untuk menuntaskan kasus di tambang emas itu  sepenuhnya harus menggunakan dan mengedepankan politik negara. “Kita Komisi VII sudah melakukan rapat pleno. Dan solusi yang tepat yang harus segera diambil, saya pikir harus mengedepankan politik negara,” ujarnya, kemarin.

Artinya dalam hal ini, harus benar-benar dilihat segala aspek terkait. Tidak bisa hanya mengedepankan satu sisi, sementara sisi lain terabaikan. “Politik negara itu artinya dimana sumberdaya alam dieksploitasi, maka harus ada jaminan yang diberikan oleh negara. Artinya bahwa masyarakat di sekitarnya harus dapat hidup makmur. Di sisi lain, apabila segala persyaratan telah dipenuhi, negara juga harus menjamin keamanan bagi para investor yang menanamkan modalnya,” jelasnya.

Kedua hal ini menurut Sutan, harus benar-benar diperhatikan dan dilakukan seiring sejalan. Sehingga ketika permasalahan timbul karena perbedaan pandangan di daerah, sepenuhnya dikembalikan pada hal-hal yang termaktub jelas di prinsip politik negara yang ada. Itulah sebabnya, Komisi VII merasa berkewajiban ikut menjembatani penyelesaian konflik yang ada.

Namun saat ditanya mengapa Komisi VII hingga saat ini belum juga melakukan pemanggilan pihak yang terkait? Menurut Sutan hal tersebut lebih dikarenakan kesibukan yang luarbiasa di Komisi VII. “Karena saat ini ada banyak sekali tugas-tugas yang harus kita kerjakan. Tapi itu pasti (pemanggilan) secepatnya kita lakukan,”ujarnya.

Apakah langkah pemanggilan masih juga diperlukan, walau tim advance Sumatera Utara bertemu dengan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral? Menurutnya tetap akan dilakukan. Karena sudah menjadi tanggungjawab DPR sebagai wakil rakyat menjembatani permasalahan. “Jadi kita tetap akan undang pihak tambang dengan semua stake holder lainnya untuk mencari solusi yang pas. Baik untuk rakyat Sumut, maupun khususnya masyarakat di sekitar Batangtoru,” jelasnya tanpa memberikan keterangan kapan waktu pemanggilan itu. (ari/gir)

MEDAN-Kisruh Tambang Emas Martabe belum juga tuntas. PT Agincourt Resources sebagai pengelolah tambang telah merumahkan 900 karyawannya. Dan, kepastian tambang itu akan beroperasi lagi belum juga jelas.

Hal inilah yang membuat Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Gatot Pujo Nugroho, akan melaporkan pihak Agincourt Resources yang telah merumahkan 900 karyawannya  “Kalau memang jadi bertemu, besok (hari ini, Red) akan kita sampaikan kepada Menteri ESDM terkait PT Agincourt yang merumahkan 900 karyawan,” akunya, kemarin di Kantor Gubsu, Jalan Diponegoro, Medan.

Ditambahkan Gatot, menteri telah berkomitmen untuk mengupayakan agar karyawan tidak dirumahkan. “Menteri akan menyampaikan itu dan kemudian akan menekan dari pihak Agincourt agar tidak melakukan hal tersebut,” ujarnya.

Namun, Gatot, sempat mempersoalkan apakah merumahkan itu sama artinya dengan pemecatan? Gatot sempat bersikukuh, jika merumahkan karyawan bukan berarti memecat. Namun, hanya mengurangi jam kerja karyawan.

“Itulah salah satunya kenapa Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Dinas Pertambangan yang saya unjuk mereka ke Jakarta untuk membahas hal tersebut,” ujarnya.
Dikatakannya lagi, karena hal itu merupakan informasi dan laporan terkini, di mana sebanyak 900 karyawan tambang emas dirumahkan, Gatot menyatakan, pihaknya akan mengecek ulang laporan tersebut.

Sebelumnya, terhambatnya pemasangan pipa air ke Sungai Batangtoru mengakibatkan Tambang Emas Martabe terpaksa merumahkan 900 karyawan dan kontraktor, menyusul terjadinya penghentian operasional tambang sejak 19 September lalu.

Secara otomatis, eksesnya adalah menimbulkan kerugian sangat berarti pada pendapatan harian dan pajak.  Peter Albert, Presiden Direktur Tambang Emas Martabe, melalui Communications Manager PT Agincourt Resources, Katarina Hardono kepada Sumut Pos beberapa waktu lalu, menyatakan keputusan yang diambil merupakan keputusan yang sulit.

“Kami menyesal, kami tidak punya pilihan selain harus merumahkan karyawan. Meski sementara ini kami masih mampu menyediakan gaji pokok, namun kami sungguh membutuhkan solusi nyata dalam beberapa hari ke depan agar kami bisa beroperasi kembali. Tanpa penuntasan pemasangan pipa, Tambang Emas Martabe tidak dapat beroperasi. Akibatnya, tidak ada pemasukan untuk membayar gaji karyawan, biaya operasional, dan biaya terkait lain, termasuk program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,” tegas Peter.

Dijelaskannya, Tambang Emas Martabe mempekerjakan lebih dari 2.700 orang, 70 persen diantaranya berasal dari penduduk lokal Batangtoru dan sekitarnya.

Dan tambang emas itu, lanjutnya,  merupakan investasi terbesar di industri tambang selama sepuluh tahun terakhir, dengan total angka investasi, belanja modal, dan modal kerja perusahaan mendekati 900 Juta Dolar AS atau setara  Rp8,5 Triliun, dengan kurs 1 Dolar AS setara dengan Rp9.500, yang sebagian besar dibelanjakan di Indonesia.

Komisi 7 Belum Sempat Bahas Kisruh Tambang Emas Martabe
Sementara itu dari Jakarta, Ketua Komisi VII DPR RI, Sutan Bathoegana Siregar, menyatakan untuk menuntaskan kasus di tambang emas itu  sepenuhnya harus menggunakan dan mengedepankan politik negara. “Kita Komisi VII sudah melakukan rapat pleno. Dan solusi yang tepat yang harus segera diambil, saya pikir harus mengedepankan politik negara,” ujarnya, kemarin.

Artinya dalam hal ini, harus benar-benar dilihat segala aspek terkait. Tidak bisa hanya mengedepankan satu sisi, sementara sisi lain terabaikan. “Politik negara itu artinya dimana sumberdaya alam dieksploitasi, maka harus ada jaminan yang diberikan oleh negara. Artinya bahwa masyarakat di sekitarnya harus dapat hidup makmur. Di sisi lain, apabila segala persyaratan telah dipenuhi, negara juga harus menjamin keamanan bagi para investor yang menanamkan modalnya,” jelasnya.

Kedua hal ini menurut Sutan, harus benar-benar diperhatikan dan dilakukan seiring sejalan. Sehingga ketika permasalahan timbul karena perbedaan pandangan di daerah, sepenuhnya dikembalikan pada hal-hal yang termaktub jelas di prinsip politik negara yang ada. Itulah sebabnya, Komisi VII merasa berkewajiban ikut menjembatani penyelesaian konflik yang ada.

Namun saat ditanya mengapa Komisi VII hingga saat ini belum juga melakukan pemanggilan pihak yang terkait? Menurut Sutan hal tersebut lebih dikarenakan kesibukan yang luarbiasa di Komisi VII. “Karena saat ini ada banyak sekali tugas-tugas yang harus kita kerjakan. Tapi itu pasti (pemanggilan) secepatnya kita lakukan,”ujarnya.

Apakah langkah pemanggilan masih juga diperlukan, walau tim advance Sumatera Utara bertemu dengan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral? Menurutnya tetap akan dilakukan. Karena sudah menjadi tanggungjawab DPR sebagai wakil rakyat menjembatani permasalahan. “Jadi kita tetap akan undang pihak tambang dengan semua stake holder lainnya untuk mencari solusi yang pas. Baik untuk rakyat Sumut, maupun khususnya masyarakat di sekitar Batangtoru,” jelasnya tanpa memberikan keterangan kapan waktu pemanggilan itu. (ari/gir)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/