Oleh: Mokhamad Abdul Aziz
Gaya hidup hedonistis sudah menjadi penyakit yang menyerang para pejabat negara saat ini. Kondisi seperti ini membuat rakyat menanti lahirnya pemimpin asketis. Secara etimologi, asketis bisa diartikan sebagai sikap sederhana, jujur, dan rela berkorban.
Pemimpin asketis memang sangat sulit dijumpai pada masa sekarang ini. Gaya hidup yang bermewah-mewahan dan glamor sudah menjadi “tren” dikalangan pejabat. Gaya hidup hedonistis ini menjadi salah satu penyebab utama maraknya korupsi di Indonesia. Dengan hidup yang bermewah-mewahan, secara langsung mereka akan berusaha memenuhi itu tanpa memperdulikan bagaimana caranya.
Para pejabat yang sudah diberi amanat oleh rakyat untuk mewujudkan cita-cita bangsa malah menyalah gunakan jabatannya tersebut. Pejabat-pejabat yang hidup bermewah-mewahan ini seharusnya introspeksi dan membaca kembali sejarah bangsa Indonesia.
Mengapa mereka bisa hidup di negara yang merdeka ini, sehingga mereka bisa menikmati kemerdekaan sebagai pejabat negara dengan segala fasislitas yang serba mewah. Semua itu terjadi karena ada founding fathers (para pendiri bangsa) yang sudah berjibaku, mati-matian mengorbankan jiwa dan raganya, demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia.
Pengorbanan itu tidak semata-mata kita nikmati, tetapi harus kita sukuri dan melanjutkan apa yang menjadi cita-cita para pahlawan.
Membedakan Pejabat dengan Pemimpin
Sikap hidup hedonistis dikalangan petinggi negara ini disebabkan mereka menganggap dirinya adalah pejabat, bukan pemimpin. Pemimpin adalah cermin bagi rakyatnya, sedangkan pejabat adalah orang yang memiliki jabatan.
Menganggap diri mempunyai jabatan bisa dianalogikan dengan ketika kita punya rumah atau kendaraan yang setiap saat bisa digunakan sesuai dengan keinginan kita. Dengan modus kepemilikan yang seperti ini, membuat mereka ingin memanfaatkan jabatannya sesuai dengan dorongan nafsunya. Sehingga, jabatan akan menjadi properti yang harus dimanfaatkan kapan saja dan dimana pun mereka berada, asalkan upaya pemanfaatan itu bisa dilakukan.
Berbeda dengan paradigma pejabat, pemimpin adalah tauladan, cermin, dan mempunyai tanggung jawab atas amanat yang diembannya. Pada dasarnya setiap manusia dilahirkan sebagai pemimpin. Bisa saja pemimpin untuk dirinya sendiri, keluarga, atau pemimpin bagi siapapun yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Ketika, ia dipilih dan diangkat menjadi pejabat dengan tugas-tugas yang melekat pada jabatannya, maka ia akan menganggap jabatan itu sebagai tanggung jawab kemanusiaan yang harus dilaksanakan. Pada akhirnya, jabatan dianggap sebagai tanggung jawab yang harus ditunaikan, sama halnya dengan ia menunaikan tugas-tugas kemanusiaan yang sudah melekat sejak lahir.
Jika ia menghianatintanggung jawab itu, maka ia sama halnya menghianati hidupnya sendiri. Sebab, hidup ini tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Dengan paradigma yang seperti itu bisa dipastikan pemimpin tidak akan bergaya hidup hidonistis sebagaimana yang dilakukan pejabat. Bagi pejabat, jabatan merupakan rejeki yang didapat dengan susah payah dan harus disyukuri jika sudah didapat, dengan cara memanfaatkan jabatan itu dengan sebaik-baiknya.
Namun, bagi pemimpin, jabatan adalah suatu tambahan tanggung jawab kemanusiaan atau amanat yang harus ditunaikan dengan baik dan benar. Dengan begitu, karakter-karakter asketis berupa sikap rela berkorban, jujur, dan kesederhaan akan melekat dan tak terpisahkan dari seorang pemimpin.
Sebaliknya, karakter asketis itu tak mungkin bisa diharapkan dari seorang pejabat, karena pejabat tidak merasa punya tanggung jawab. Bahkan, bagi pejabat semua sikap itu hanya akan melipatgandakan kerugian saja.
Sebab, ia sudah merasa berkorban dan rugi dalam meraih jabatan itu, sehingga mereka berpikir mengapa harus ditambah pengorbanan dan kerugian lagi. Oleh karena itu, yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara menebus kerugian dan pengorbanan itu, bukan memikirkan tanggung jawabnya. Otomatis, pada akhirnya mereka akan memanfaatkan jabatan itu untuk meraih keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya.
Harus Sadar Posisi
Hidup dalam kesederhanaan harus mulai disadari oleh para pejabat negara. Sebab, mereka adalah cermin dan teladan bagi rakyat. Meskipun hidup dalam harta yang berlimpah, sebaiknya para pejabat tidak perlu memamerkan kekayaannya kepada publik.
Seperti halnya Kasman Singodimedjo, meski kaya raya, hidupnya tetap sederhana. Kemana-mana menggunakan kendaraan umum atau dibonceng sepeda motor oleh anak-anak muda pada masa itu.
Para pemegang amanat rakyat seharusnya meneladani perilaku dan sikap para pendahulu bangsa kita. Ini tidak hanya dilakukan oleh presiden atau wakil presiden saja, para wakil rakyat, para pejabat yang ada di lembaga yudikatif, dan semua yang terjun dalam pemerintahan harus meneladani sikap asketis para pendiri bangsa ini. Mereka adalah pemimpin, bukan pejabat. Kesederhanaan mereka akan membuat rakyat hormat dan merasa dekat.
Sosok yang patut menjadi contoh pemimpin asketis adalah Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad. Ia dikenal sebagai pemimpin yang sangat berani, sederhana dan bersahaja.
Kesederhanaan dan kebersahajaannya itu tampak ketika pertama kali menduduki kantor kepresidenan, ia menyumbangkan seluruh karpet istana Iran yang sangat tinggi nilainya kepada masjid di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.
Bahkan, tiga tahun yang lalu, ia menikahkan putranya, Alireza Ahmadinejad dengan sangat sederhana. Pernikahan tersebut hanya menelan biaya 3,5 juta Toman (setara dengan USD 3.500/ Rp 28 Juta). Penikahan ini terlihat sangat sederhana melihat ia adalah salah satu presiden terkenal di dunia.
Jika dibandingkan dengan pernikahan putra Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono, maka ini menjadi sangat ironis, melihat Indonesia tidak lebih maju daripada Iran.
Tabloid Cek dan Ricek melaporkan prosesi pernikahan putra SBY menghabiskan dana sebesar Rp40 Miliar. Pemimpin seperti Ahmaddinejad lah yang sekarang ini di harapkan oleh bangsa Indonesia. Pemimpin yang sederhana, jujur, dan berani berkorban demi bangsanya.
Dengan demikian, lahirnya pemimpin asketis sangat didamba-dambakan oleh rakyat indonesia saat ini. Sebab, rakyat sudah muak dengan gaya hidup pejabat-pejabat yang hedonistis yang sama sekali tidak memikirkan kepentingan rakyat.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama secara kolektif untuk meminta mereka bersedia menerima tambahan tanggung jawab sebagai pemimpin. Dengan begitu, rakyat akan lebih dekat dan hormat. Untuk mewujudkan semua itu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, semuanya pasti bisa jika diusahakan. Wallahu a’lam bi al shawab.
Penulis Peraih Beasiswa Unggulan
Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang, Sekretaris of Center for
Democracy and Religious Studies (CDRS).