28 C
Medan
Friday, December 6, 2024
spot_img

Marketer Mesti jadi Artis, yang Dijual Harus jadi Artwork

Marketing Series (2)

Oleh: Hermawan Kartajaya

Apa yang ada di kepala Anda ketika mendengar kata museum? Barang kuno? Patung? Lukisan? Suasana seram? Cerita sejarah? Propaganda?
Hal-hal itu jugalah yang dulu saya pikir, sampai saya masuk Guggenheim Museum di New York City. Museum yang bangunannya nyentrik itu dibuat mulai 1939 oleh Solomon R. Guggenheim Foundation, tapi gedungnya baru diresmikan pada 21 Oktober 1959.

Saya memang cinta dan punya ketertarikan khusus terhadap New York City. Berkali-kali ke sana, blusukan ke mana-mana, sampai akhirnya tertarik pada museum yang satu itu. Lokasinya sangat wah, nyaman. Yaitu, di Upper East Side Manhattan, tepatnya di Museum Mile, 5th Avenue. Berjalan dari 89th Street terus ke selatan, butik-butik paling heboh sedunia ada di antara 42th sampai 59th Street.

Bukan karena saya suka sejarah, lukisan, patung, dan lain-lain itu, tapi Guggenheim sendiri sudah jadi big brand yang bisa menembus batas museum konvensional. Bahkan, film Men in Black memakai museum itu sebagai latar pengambilan gambar. Juga, pernah dipakai dalam seri televisi terkenal Sex and the City.

Gedungnya berarsitektur post-modern dengan galeri yang berbentuk spiral. Frank Lloyd Wright, desainernya, menyebut gedung itu sebagai temple of the spirit.

Karena keterbatasan pengetahuan tentang seni, saya hanya melihat-lihat koleksinya selama berjam-jam. Bila museum lain cenderung agak gelap, di sana cahaya matahari bisa tembus dari atap yang transparan. Ada elemen alam yang menerobos ke dalam, sehingga bisa mempercantik barang-barang seni yang siap dinikmati pengunjung.

Entah karena apa, ketika keluar dari museum itu, saya seperti merasa plong. Biasa mengamati branded-goods di butik-butik di 5th Avenue, saya seolah menemukan sebuah oasis baru.

“The most beautiful thing we can experience is the mysterious. It is the source of all true art and science,” kata Albert Einstein. Buat saya, The Guggenheim memang sebuah tempat yang misterius dan saya bahkan bisa tersenyum lebar ketika keluar dari situ.

Di New York City, ada banyak artis idealis. Tapi, yang lebih banyak adalah para pedagang sekuritas yang mata duitan. Ada sekolah hebat seperti Fashion Institute of Technology (FIT), tapi ada juga Columbia Business School.

Masuk museum sering disergap rasa boring. Masuk Guggenheim, meski nggak ngerti banyak hal yang ada di sana, keluar bisa dengan happy spirit.
Ternyata, Guggenheim itu memang didirikan atas dasar filosofi untuk memamerkan non-objective artworks. Tidak ada tujuan untuk mempromosikan pesan atau propaganda apa pun. Sedangkan museum sejarah yang kita miliki sering mempromosikan “kebenaran” rezim tertentu.

Kata John Lennon: “My role in society or any artist’s or poet’s role is to try and express what we feel. Not to tell people how to feel. Not as apreacher, not as a leader, but a reflection of us all.”

Jadi, menurut Lennon, seniman itu seharusnya ya polosan saja. Jujur terhadap diri sendiri. Berani mengatakan yang dirasakan dan mengekspresikan dalam karyanya. Nah, kalau hal itu bisa ditangkap, pancaindra akan plong dan senyum bisa lebar.

Dalam perenungan saya tentang marketing, maaf saya bukan motivator, saya memang melihat perubahan landscape persaingan dalam berebut pelanggan. Marketing lahir dan jadi hebat ketika televisi dilihat orang banyak. Begitu menariknya televisi sehingga para marketer berebut mengatakan sesuatu lewat medium itu. Banyak orang yang menganggap marketing adalah memperkenalkan produknya lewat televisi.

Di sini, customer adalah television viewer. Siapa pun yang punya duit akan berusaha menguasai televisi. Isinya pasti promosi dan propaganda, tidak seperti yang dimaksud John Lennon.

Lantas, datanglah era kedua yang memperlakukan customer sebagai raja. Raja yang harus dilayani habis-habisan dengan tujuan punya loyalitas tinggi. Tak peduli itu blind loyalty atau bukan. Sekarang, dengan adanya internet, customer ingin kembali menjadi manusia.

Nah, kalau sudah begitu, marketer mesti jadi artis dan produk yang dijual harus jadi artwork yang secara misterius bisa bikin orang jadi plong.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

Marketing Series (2)

Oleh: Hermawan Kartajaya

Apa yang ada di kepala Anda ketika mendengar kata museum? Barang kuno? Patung? Lukisan? Suasana seram? Cerita sejarah? Propaganda?
Hal-hal itu jugalah yang dulu saya pikir, sampai saya masuk Guggenheim Museum di New York City. Museum yang bangunannya nyentrik itu dibuat mulai 1939 oleh Solomon R. Guggenheim Foundation, tapi gedungnya baru diresmikan pada 21 Oktober 1959.

Saya memang cinta dan punya ketertarikan khusus terhadap New York City. Berkali-kali ke sana, blusukan ke mana-mana, sampai akhirnya tertarik pada museum yang satu itu. Lokasinya sangat wah, nyaman. Yaitu, di Upper East Side Manhattan, tepatnya di Museum Mile, 5th Avenue. Berjalan dari 89th Street terus ke selatan, butik-butik paling heboh sedunia ada di antara 42th sampai 59th Street.

Bukan karena saya suka sejarah, lukisan, patung, dan lain-lain itu, tapi Guggenheim sendiri sudah jadi big brand yang bisa menembus batas museum konvensional. Bahkan, film Men in Black memakai museum itu sebagai latar pengambilan gambar. Juga, pernah dipakai dalam seri televisi terkenal Sex and the City.

Gedungnya berarsitektur post-modern dengan galeri yang berbentuk spiral. Frank Lloyd Wright, desainernya, menyebut gedung itu sebagai temple of the spirit.

Karena keterbatasan pengetahuan tentang seni, saya hanya melihat-lihat koleksinya selama berjam-jam. Bila museum lain cenderung agak gelap, di sana cahaya matahari bisa tembus dari atap yang transparan. Ada elemen alam yang menerobos ke dalam, sehingga bisa mempercantik barang-barang seni yang siap dinikmati pengunjung.

Entah karena apa, ketika keluar dari museum itu, saya seperti merasa plong. Biasa mengamati branded-goods di butik-butik di 5th Avenue, saya seolah menemukan sebuah oasis baru.

“The most beautiful thing we can experience is the mysterious. It is the source of all true art and science,” kata Albert Einstein. Buat saya, The Guggenheim memang sebuah tempat yang misterius dan saya bahkan bisa tersenyum lebar ketika keluar dari situ.

Di New York City, ada banyak artis idealis. Tapi, yang lebih banyak adalah para pedagang sekuritas yang mata duitan. Ada sekolah hebat seperti Fashion Institute of Technology (FIT), tapi ada juga Columbia Business School.

Masuk museum sering disergap rasa boring. Masuk Guggenheim, meski nggak ngerti banyak hal yang ada di sana, keluar bisa dengan happy spirit.
Ternyata, Guggenheim itu memang didirikan atas dasar filosofi untuk memamerkan non-objective artworks. Tidak ada tujuan untuk mempromosikan pesan atau propaganda apa pun. Sedangkan museum sejarah yang kita miliki sering mempromosikan “kebenaran” rezim tertentu.

Kata John Lennon: “My role in society or any artist’s or poet’s role is to try and express what we feel. Not to tell people how to feel. Not as apreacher, not as a leader, but a reflection of us all.”

Jadi, menurut Lennon, seniman itu seharusnya ya polosan saja. Jujur terhadap diri sendiri. Berani mengatakan yang dirasakan dan mengekspresikan dalam karyanya. Nah, kalau hal itu bisa ditangkap, pancaindra akan plong dan senyum bisa lebar.

Dalam perenungan saya tentang marketing, maaf saya bukan motivator, saya memang melihat perubahan landscape persaingan dalam berebut pelanggan. Marketing lahir dan jadi hebat ketika televisi dilihat orang banyak. Begitu menariknya televisi sehingga para marketer berebut mengatakan sesuatu lewat medium itu. Banyak orang yang menganggap marketing adalah memperkenalkan produknya lewat televisi.

Di sini, customer adalah television viewer. Siapa pun yang punya duit akan berusaha menguasai televisi. Isinya pasti promosi dan propaganda, tidak seperti yang dimaksud John Lennon.

Lantas, datanglah era kedua yang memperlakukan customer sebagai raja. Raja yang harus dilayani habis-habisan dengan tujuan punya loyalitas tinggi. Tak peduli itu blind loyalty atau bukan. Sekarang, dengan adanya internet, customer ingin kembali menjadi manusia.

Nah, kalau sudah begitu, marketer mesti jadi artis dan produk yang dijual harus jadi artwork yang secara misterius bisa bikin orang jadi plong.
Bagaimana pendapat Anda? (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/