Medan memang aneh. Banyak hal-hal yang berada di luar garis standar. Tidak hanya soal pola cakapan yang sering merusak bahasa Indonesia, pola mencari untuk yang dilakukan angkutan kota juga bisa jadi perbincangan menarik.
Awalnya lantun ini berkat laporan seorang kawan yang baru dua pekan tinggal di Medan. Dia pindah tugas dari Pulau Jawa sana. Dan, karena dia kawan saya, maka jika ada apa-apa, dia langsung melapor pada saya.
Misalnya, sebelum dia berangkat ke Medan. Dia sempat panik. Dia sempat ketakutan. Medan bagi orang luar memang cukup menyeramkan: di Medan, orang-orangnya kasar, banyak cakap, dan gampang tersinggung.
Saya maklum dengan kepanikannya itu. Maklum pun saya berikat pada pengarang anekdot yang menciptakan imej Medan makin menyeramkan. Mau tahu anekdot yang saya maksud?
Begini ceritanya: suatu hari ada orang bersuku Jawa yang harus ke Medan karena ada tugas. Sebelum berangkat, dia dipesani temannya agar hati-hati. Menurut temannya itu, di Medan kita harus keras; jangan mau kalah. Jadi, ketika orang Medan bicara keras, maka kita harus lebih keras lagi. Ketika orang Medan sok hebat, maka kita harus lebih sok lagi.
Singkat cerita, berangkatlah orang Jawa itu. Berhubung dia adalah pegawai berpangkat, maka dia naik pesawat dari Jakarta. Di Medan pun sudah ada yang akan menjemput dia di bandara. Intinya, dia orang pentinglah.
Nah, tibalah dia di Bandara Polonia. Setelah mengambil bagasi, di menuju pintu keluar dari terminal kedatangan domestik. Sudah ada orang di sana, lengkap dengan tulisan nama orang Jawa tadi di sehelai kertas besar. Melihat itu, si orang Jawa langsung melambaikan tangan.
Sang penjemput pun langsung mendekat sembari menyodori tangan untuk berjabat tangan. Si penjemput pun memperkenalkan diri: Sinaga! Mendengar nama si penjemput, sang Jawa langsung teringat pesan temannya: di Medan jangan mau kalah. Langsung saja sang Jawa membalas jabat tangan si penjemput yang bernama Sinaga tadi. Digenggamnya tangan Sinaga sembari berujar: Mbahe Ulo!
Sinaga bingung. Nama orangnya dijemputnya kan Joko, kok jadi Mbahe Ulo. Tak mau pusing, Sinaga menunduk dan langsung mengangkat tas Joko. Tahu apa yang dilakukan Joko? Dalam hati dia berteriak: baru naga sudah sok hebat, lihat ni aku Mbahe Ulo (nenek moyangnya ular).
Begitulah, ragam kabar tentang Medan bisa banyak menimbulkan kisah. Kali ini soal kawan saya tadi; yang memberikan laporan soal keanehan Medan. Dan laporan itu bukan soal tindak kriminal. Ini soal kehebatan orang Medan dalam menyikapi sesuatu. Isi laporannya tentang taksi di Medan yang mirip dengan ojek.
Ya, kata kawan saya, apa bedanya taksi dan ojek ketika untuk menggunakan jasanya kita harus menawar ongkos. Taksi pada prinsipnya kan menggunakan argo, kenapa di Medan tidak?
Laporannya itu bermula ketika suatu malam dia pulang dari sebuah tempat nongkrong. Karana masih baru di Medan, dia belum memiliki kendaraan. Maka, kendaraan umum dijadikan pilihan dan taksi adalah tujuannya. Tapi sialnya, setelah lama menunggu taksi, dia malah kecewa ketika menemukan kendaraan itu. Bagaimana tidak, taksi yang distopnya malah menawarkan angka untuk sampai tujuan. 50 ribu untuk sekali jalan.
“Boleh tawar Bang,” kata sopir taksi. Kawan saya pun geleng-geleng kepala. “Tak pakai argo?” Tanya kawan saya. Sang sopir menggeleng sambil menunjuk tempat argo yang kosong. “Ueedan!” teriak kawan saya dalam hati.
Setelah itu, kawan saya — yang merasa terdesak karena sudah malam dan takut tak bisa pulang — langsung menawarkan angka 40 ribu. Sopir taksi dengan basa-basi menolak, akhirnya setuju.
Beberapa waktu kemudian, sang kawan menggunakan taksi juga untuk pulang dari ke tempat yang sama. Tak mau bernasib sama juga dengan kejadian di atas, kawan saya menelepon perusahaan taksi yang terkenal dengan penggunaan argo. Taksi datang, kawan saya pun tenang. Tapi, begitu sampai tujuan, muncul juga kisah tak menyenangkan. Argo menunjukkan angka 26 ribu. Sang kawan memberikan uang 50 ribu. Sopir hanya punya kembalian 10 ribu. Tak pelak kawan saya suntuk. Ujung-ujungnya, taksi berargo itu ongkosnya 40 ribu juga kan?
“Kan itu bisa disebut tip untuk si sopir,” balas saya. Entahlah, saya merasa dia agak pelit.
“Lalu, 40 ribu di malam sebelumnya yang pakai tawar menawar itu apa?” balasnya.
“Ya untuk argo, hahahaha,” balas saya sambil tertawa.
“Wis, Medan memang aneh,” kesalnya sambil terus menggerutu. Saya makin panjang tertawa. Ya, siapa bilang Medan tak aneh. Ha ha ha. (*)