26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Gangnam Style Sepanjang Tahun

Manufacturing Hope 48

Pantai Losari, Minggu pagi, 21 Oktober 2012. Senam pagi. Keringat pun bercucuran gara-gara gerak yang kian keras dan matahari Makassar yang kian tinggi. Apalagi setelah lagu Korea dipakai untuk gerakan penutupnya: Semua peserta seperti sedang menunggang kuda liar: Gangnam style.

“Selamat ya!” ujar seorang teman, mengajak salaman. “Saya memang sudah latihan Gangnam style beberapa hari terakhir ini bersama grup senam saya di Monas,” jawab saya.

Ternyata, bukan itu yang dia maksud. “Selamat ulang tahun,” katanya. Saya lupa kalau hari itu genap satu tahun saya menjabat menteri BUMN. Saya pikir dia menyalami karena gerakan saya di Gangnam style.
Usai senam itu, saya ingin melihat rencana pembangunan pelabuhan baru Makassar. Tapi, diam-diam saya ingin belok dulu ke sebuah perusahaan BUMN yang setahun lalu masih berstatus “mayat”: PT Industri Kapal Indonesia (IKI). Saya ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Setelah hampir setahun manajemen di IKI diperbaiki.

Memang hampir setahun yang lalu, tengah malam, saya diam-diam ke IKI. Tidak ada yang tahu. Satpam di situ sedang tidur dan pintunya tidak terkunci. Memang tidak ada harta berharga di situ. Sebulan kemudian, tengah hari, saya datang lagi. Meski tidak memberi tahu, rencana itu bocor di menit-menit terakhir.

Karyawan yang sudah lebih dua tahun tidak menerima gaji melakukan demo. Tapi, persiapan demonya tidak bisa sempurna. Terburu-buru. Saya telanjur masuk ke galangan ketika mereka berkumpul di pintu gerbang. Tapi, mereka masih bisa mencegat ketika saya hendak keluar. Saya pun mendatangi mereka. Setidaknya untuk memberi tahu bahwa spanduk yang mereka bentangkan terbalik.

Beberapa bulan kemudian saya masih datang lagi ke IKI. Dan kedatangan saya Minggu pagi kemarin itu untuk kali keempat. Saya pikir, karena hari Minggu, IKI pasti sepi. Tidak mungkin direksinya ada di tempat. Tidak apa-apa. Toh, niat saya memang hanya ingin melihat kondisinya yang terkini.

Ternyata, dari pintu gerbangnya terlihat banyak sekali manusia: laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Mereka membukakan pintu gerbang, tapi segera kaget ketika melihat pengemudi mobil tersebut adalah saya. Semua berlarian ke arah mobil: bukan untuk demo, tapi untuk menyalami.

“Ada apa ini?” tanya saya. “Ulang tahun IKI yang ke-35, Pak,” jawab mereka.

Saya pun didaulat untuk turun dari mobil. Tapi, saya minta izin untuk bisa melihat-lihat dulu seluruh kawasan galangan kapal itu. Direksi IKI pun, yang ternyata lengkap hadir di acara itu, ikut keliling lokasi. Saya kaget, sudah begitu banyak kapal yang diperbaiki di situ. Ada kapal tunda, ada tongkang, ada pula kapal barang. Graving dock yang dulu seperti kolam tua itu kini sudah diisi dua kapal.
“Hebat! Sudah banyak kapal, ya?” tanya saya.

“Alhamdulillah, Pak. Sudah banyak sekali pekerjaan. Bahkan, kapal yang minta diperbaiki di sini sudah harus antre,” ujar Bandung Bismono, Dirut PT IKI yang baru. “Kami akan terus menambah alat agar lebih banyak lagi kapal yang bisa diperbaiki di sini,” ujar Bandung yang asli Semarang itu.

“Sudah berapa karyawan yang bisa bekerja?” tanya saya. Saya ingat 200 karyawan PT IKI sudah lama menganggur dan tidak menerima gaji.

“Sudah lebih 200 orang. Semua sudah bekerja kembali. Bahkan, kami segera merekrut karyawan baru. Sudah kekurangan karyawan,” tambah Bandung Bismono.
Dalam hati saya memuji kehebatan direksi baru PT IKI ini. Perusahaan ini bisa hidup lagi tanpa disuntik modal sama sekali. Saya hanya menyuntikkan kepercayaan diri. Padahal, dulu-dulunya selalu saja muncul ancaman ini: Kalau tidak ada suntikan modal, tidak mungkin PT IKI bisa hidup lagi. Mereka selalu minta modal dari negara. Nilai yang mereka ajukan pun Rp 200 miliar.

Saya ingat betapa gigih direksi PT IKI yang dulu memperjuangkan modal baru itu. Bahkan, kesan saya, kesibukan direksinya justru lebih banyak untuk mengurus penambahan modal itu daripada untuk bekerja di lapangan. Mereka marah kepada saya karena saya tidak mau meneruskan permintaan itu ke pemerintah dan DPR. Saya pun menunjuk direksi baru yang sanggup menghidupkan PT IKI tanpa sikap yang cengeng. Namanya Harry Sampurno.
Saya punya prinsip direksi sebuah perusahaan tidak boleh cengeng. Modal besar sekalipun di tangan sebuah direksi yang cengeng akan habis begitu saja.

Dalam enam bulan direksi baru PT IKI sudah menunjukkan hasil nyata. Tanda-tanda kehidupan kian jelas. Saya tahu pengorbanan Harry Sampurno sangat besar. Korban lahir dan batin. Karena itu, ketika PT IKI sudah kelihatan bisa jalan, saya pun memindahkan Harry Sampurno untuk memegang perusahaan yang lebih besar.

Dia kini menjabat Dirut PT Dahana, yang memproduksi bahan peledak itu. Aslinya, dia memang orang PT Dahana. Dia ke IKI untuk sementara, sebagai “Kopassus” yang harus membereskan PT IKI.
Usai meninjau lapangan, saya pun bergabung dengan seluruh karyawan dan keluarga mereka. Dari dialog di halaman itulah saya baru tahu mengapa ulang tahun ini terasa meriah. “Kami sudah sepuluh tahun tidak pernah mengadakan ulang tahun,” ujar Sekretaris Perusahaan Ansyarif.

“Kali ini kami adakan ulang tahun karena kami sangat senang perusahaan ini hidup lagi. Kami ingin terus maju,” katanya.
Salah seorang karyawan kemudian minta salaman sambil minta maaf. “Maafkan kami dulu mendemo Bapak,” katanya.
Karyawan bertepuk riuh ketika saya memberitahukan bahwa hari itu saya pun berulang tahun: genap setahun menjadi menteri.

Misteri Modal

Lokasi PT IKI ini tidak terlalu jauh dengan rencana pengembangan pelabuhan peti kemas Makassar yang baru. Inilah pelabuhan baru yang harus bisa dimasuki kapal dengan bobot 3.000 TEUs. Tiga kali lipat dari pelabuhan Makassar yang ada sekarang. Kini Dirut Pelindo IV Harry Sutanto sedang mengurus perizinannya di Kementerian Perhubungan. Begitu izin keluar, pembangunan langsung dilakukan. Pelindo IV sendiri yang akan mengusahakan dananya. Tidak perlu APBN.
Pelindo IV kini juga sudah menyelesaikan pembangunan pelabuhan peti kemas baru di Kariangau, Balikpapan. Itulah pelabuhan yang akan diresmikan Presiden SBY Rabu lusa. Pelindo IV juga menghadapi tantangan berat bersama Pelindo II untuk membangun pelabuhan baru yang amat besar di Sorong. Sebesar yang ada di Makassar. Beda dengan IKI tadi, kali ini Pelindo mampu menyediakan modal sendiri.

“Modal” memang sering seperti misteri. Ada perusahaan yang benar-benar perlu modal. Tapi, banyak juga “modal” yang dimaksud hanyalah berupa dukungan kepercayaan. Percaya kepada pemegang sahamnya, percaya kepada direksinya (percaya bahwa direksinya akan mau kerja keras), dan kadang cukup percaya bahwa ada orang lain yang memercayainya.

Dalam hal PT IKI, dukungan bahwa PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) akan membantunya bisa menimbulkan kepercayaan. Padahal, akhirnya PT DPS tidak perlu benar-benar memberikan dukungan. PT IKI bisa bangkit semata-mata oleh direksi dan karyawannya sendiri! Demikian juga PT Batantekno yang melakukan pengayaan uranium sistem rendah untuk memproduksi radioisotop. BUMN yang bergerak di kedokteran nuklir itu begitu terseok-seoknya. Dirinya sendiri sudah kehilangan kepercayaan. Apalagi orang luar.

Kepercayaan mulai muncul ketika direksi barunya adalah orang-orang yang tidak hanya ahli di bidang nuklir, tapi juga mau menderita (sampai tinggal di rumah kos-kosan). Dan mau bekerja keras. Bukan direksi yang selalu memikirkan “kalau saya kerja keras” saya akan “dapat apa”.

Memang setelah itu diperlukan dana. Batantekno tetap tidak bisa berkembang kalau tidak disediakan dana yang besar.
“Berapa besar?” tanya saya.

“Besar sekali, Pak. Bisa Rp80 miliar,” ujar Dr Yudiutomo Imardjoko, direktur utama PT Batantekno yang ahli nuklir itu. Dialah satu-satunya orang di dunia yang mampu melakukan pengayaan uranium dengan sistem rendah.
“Kalau uang itu saya usahakan, pendapatan perusahaan bisa mencapai berapa setahun?” tanya saya.

Dia pun menghitung-hitung. Dia melihat, negara-negara di Asia ini tidak ada yang mampu memproduksi isotop. Pun tidak Singapura dan Jepang. Amerika pun, kalau dua tahun lagi peraturan baru diterapkan, tidak akan bisa memproduksinya. Yakni, peraturan bahwa uranium tidak boleh lagi dikayakan dengan sistem tinggi. Negara-negara itu selama ini bisa memproduksi radioisotop dengan cara pengayaan sistem tinggi yang bisa disalahgunakan untuk senjata nuklir. Pasar radioisotop sangat luas. Semua orang yang sakit, yang memerlukan MRI atau CT scan, pasti memerlukan cairan radioisotop. Cairan itulah yang disuntikkan ke dalam tubuh agar dokter bisa melihat keadaan dalam tubuh kita mengandung penyakit apa saja. Setelah mempertimbangkan semua itu, Dr Yudi pun menggoreskan angka.

“Setahun pendapatan perusahaan bisa mencapai Rp 2 triliun, Pak,” kata Dr Yudi sepuluh menit kemudian.
“Oke. Saya carikan dana Rp 80 miliar. Anda laksanakan semua program itu,” tegas saya.

Setelah mengucapkan kata-kata itu, saya pun berpikir. Bank mana yang bisa memberikan pinjaman modal sebesar itu. Kekayaan PT Batantekno belum memenuhi syarat untuk punya pinjaman sebesar itu.
Akhirnya, BRI bisa diyakinkan. Ditandatanganilah perjanjian kredit Rp80 miliar.

Mendengar PT Batantekno mendapat dukungan dana, muncullah kepercayaan diri para direksi dan karyawannya. Bahkan, orang luar pun giliran memercayai Batantekno. Produksi pun meningkat. Ekspor pun dilakukan. Bahkan sampai Tiongkok dan Jepang.

Dari transaksi ekspor itulah PT Batantekno bisa mendapat L/C di depan. Perusahaan menjadi punya uang. Tanpa pinjaman. Termasuk tanpa pinjaman dari BRI yang sudah disetujui tersebut. Direksi Batantekno juga bukan direksi yang “mata duitan”. Tidak mau sembarangan mencairkan uang kalau memang tidak sangat diperlukan. Tidak ada sikap mengada-ada untuk sekadar agar uangnya cair.

Sebaliknya, BRI tentu merasa dirugikan. Saya pun seperti mendapat teguran ketika hari Minggu kemarin bertemu direktur BRI yang membidangi kredit-kredit untuk BUMN.
“PT Batantekno belum memanfaatkan kreditnya lho, Pak,” ujar Asmawi Syam.

Di satu pihak tentu saya memuji direksi Batantekno. Tapi, di pihak lain saya memaklumi problem pengaturan dana di BRI. Yang jelas, saya tetap mengucapkan terima kasih kepadanya. “Tanpa kesanggupan kredit dari Anda, direksi PT Batantekno tidak akan memiliki kepercayaan diri untuk berkembang,” kata saya.
“Tapi, alokasi kreditnya sudah telanjur ada, Pak,” katanya.

Tentu, saya tahu, bank bisa dirugikan kalau kredit yang sudah dialokasikan tidak dicairkan. Saya pun percaya bahwa PT Batantekno akan memerlukannya. Suatu saat. Untuk mengembangkan diri lebih besar lagi. Terutama kalau Batantekno jadi berekspansi ke luar negeri tahun depan. Yakni, membangun reaktor nuklir di AS dan memproduksi cairan kedokteran nuklir di sana. Dari dua contoh kasus PT IKI dan PT Batantekno tersebut, nyatalah bahwa kepercayaan adalah segala-galanya. Itulah sebabnya program holdingisasi BUMN juga harus dilihat sebagai upaya untuk memperbesar kepercayaan itu. PT Semen Gresik sudah membuktikannya. Demikian juga PT Pupuk Indonesia.

Saya sungguh berharap, sebelum akhir tahun ini holdingisasi BUMN perkebunan dan kehutanan bisa terlaksana. Mungkin memang masih perlu gerak “Gangnam style” di sepanjang tahun kedua saya di BUMN ini. (*)

Manufacturing Hope 48

Pantai Losari, Minggu pagi, 21 Oktober 2012. Senam pagi. Keringat pun bercucuran gara-gara gerak yang kian keras dan matahari Makassar yang kian tinggi. Apalagi setelah lagu Korea dipakai untuk gerakan penutupnya: Semua peserta seperti sedang menunggang kuda liar: Gangnam style.

“Selamat ya!” ujar seorang teman, mengajak salaman. “Saya memang sudah latihan Gangnam style beberapa hari terakhir ini bersama grup senam saya di Monas,” jawab saya.

Ternyata, bukan itu yang dia maksud. “Selamat ulang tahun,” katanya. Saya lupa kalau hari itu genap satu tahun saya menjabat menteri BUMN. Saya pikir dia menyalami karena gerakan saya di Gangnam style.
Usai senam itu, saya ingin melihat rencana pembangunan pelabuhan baru Makassar. Tapi, diam-diam saya ingin belok dulu ke sebuah perusahaan BUMN yang setahun lalu masih berstatus “mayat”: PT Industri Kapal Indonesia (IKI). Saya ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Setelah hampir setahun manajemen di IKI diperbaiki.

Memang hampir setahun yang lalu, tengah malam, saya diam-diam ke IKI. Tidak ada yang tahu. Satpam di situ sedang tidur dan pintunya tidak terkunci. Memang tidak ada harta berharga di situ. Sebulan kemudian, tengah hari, saya datang lagi. Meski tidak memberi tahu, rencana itu bocor di menit-menit terakhir.

Karyawan yang sudah lebih dua tahun tidak menerima gaji melakukan demo. Tapi, persiapan demonya tidak bisa sempurna. Terburu-buru. Saya telanjur masuk ke galangan ketika mereka berkumpul di pintu gerbang. Tapi, mereka masih bisa mencegat ketika saya hendak keluar. Saya pun mendatangi mereka. Setidaknya untuk memberi tahu bahwa spanduk yang mereka bentangkan terbalik.

Beberapa bulan kemudian saya masih datang lagi ke IKI. Dan kedatangan saya Minggu pagi kemarin itu untuk kali keempat. Saya pikir, karena hari Minggu, IKI pasti sepi. Tidak mungkin direksinya ada di tempat. Tidak apa-apa. Toh, niat saya memang hanya ingin melihat kondisinya yang terkini.

Ternyata, dari pintu gerbangnya terlihat banyak sekali manusia: laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Mereka membukakan pintu gerbang, tapi segera kaget ketika melihat pengemudi mobil tersebut adalah saya. Semua berlarian ke arah mobil: bukan untuk demo, tapi untuk menyalami.

“Ada apa ini?” tanya saya. “Ulang tahun IKI yang ke-35, Pak,” jawab mereka.

Saya pun didaulat untuk turun dari mobil. Tapi, saya minta izin untuk bisa melihat-lihat dulu seluruh kawasan galangan kapal itu. Direksi IKI pun, yang ternyata lengkap hadir di acara itu, ikut keliling lokasi. Saya kaget, sudah begitu banyak kapal yang diperbaiki di situ. Ada kapal tunda, ada tongkang, ada pula kapal barang. Graving dock yang dulu seperti kolam tua itu kini sudah diisi dua kapal.
“Hebat! Sudah banyak kapal, ya?” tanya saya.

“Alhamdulillah, Pak. Sudah banyak sekali pekerjaan. Bahkan, kapal yang minta diperbaiki di sini sudah harus antre,” ujar Bandung Bismono, Dirut PT IKI yang baru. “Kami akan terus menambah alat agar lebih banyak lagi kapal yang bisa diperbaiki di sini,” ujar Bandung yang asli Semarang itu.

“Sudah berapa karyawan yang bisa bekerja?” tanya saya. Saya ingat 200 karyawan PT IKI sudah lama menganggur dan tidak menerima gaji.

“Sudah lebih 200 orang. Semua sudah bekerja kembali. Bahkan, kami segera merekrut karyawan baru. Sudah kekurangan karyawan,” tambah Bandung Bismono.
Dalam hati saya memuji kehebatan direksi baru PT IKI ini. Perusahaan ini bisa hidup lagi tanpa disuntik modal sama sekali. Saya hanya menyuntikkan kepercayaan diri. Padahal, dulu-dulunya selalu saja muncul ancaman ini: Kalau tidak ada suntikan modal, tidak mungkin PT IKI bisa hidup lagi. Mereka selalu minta modal dari negara. Nilai yang mereka ajukan pun Rp 200 miliar.

Saya ingat betapa gigih direksi PT IKI yang dulu memperjuangkan modal baru itu. Bahkan, kesan saya, kesibukan direksinya justru lebih banyak untuk mengurus penambahan modal itu daripada untuk bekerja di lapangan. Mereka marah kepada saya karena saya tidak mau meneruskan permintaan itu ke pemerintah dan DPR. Saya pun menunjuk direksi baru yang sanggup menghidupkan PT IKI tanpa sikap yang cengeng. Namanya Harry Sampurno.
Saya punya prinsip direksi sebuah perusahaan tidak boleh cengeng. Modal besar sekalipun di tangan sebuah direksi yang cengeng akan habis begitu saja.

Dalam enam bulan direksi baru PT IKI sudah menunjukkan hasil nyata. Tanda-tanda kehidupan kian jelas. Saya tahu pengorbanan Harry Sampurno sangat besar. Korban lahir dan batin. Karena itu, ketika PT IKI sudah kelihatan bisa jalan, saya pun memindahkan Harry Sampurno untuk memegang perusahaan yang lebih besar.

Dia kini menjabat Dirut PT Dahana, yang memproduksi bahan peledak itu. Aslinya, dia memang orang PT Dahana. Dia ke IKI untuk sementara, sebagai “Kopassus” yang harus membereskan PT IKI.
Usai meninjau lapangan, saya pun bergabung dengan seluruh karyawan dan keluarga mereka. Dari dialog di halaman itulah saya baru tahu mengapa ulang tahun ini terasa meriah. “Kami sudah sepuluh tahun tidak pernah mengadakan ulang tahun,” ujar Sekretaris Perusahaan Ansyarif.

“Kali ini kami adakan ulang tahun karena kami sangat senang perusahaan ini hidup lagi. Kami ingin terus maju,” katanya.
Salah seorang karyawan kemudian minta salaman sambil minta maaf. “Maafkan kami dulu mendemo Bapak,” katanya.
Karyawan bertepuk riuh ketika saya memberitahukan bahwa hari itu saya pun berulang tahun: genap setahun menjadi menteri.

Misteri Modal

Lokasi PT IKI ini tidak terlalu jauh dengan rencana pengembangan pelabuhan peti kemas Makassar yang baru. Inilah pelabuhan baru yang harus bisa dimasuki kapal dengan bobot 3.000 TEUs. Tiga kali lipat dari pelabuhan Makassar yang ada sekarang. Kini Dirut Pelindo IV Harry Sutanto sedang mengurus perizinannya di Kementerian Perhubungan. Begitu izin keluar, pembangunan langsung dilakukan. Pelindo IV sendiri yang akan mengusahakan dananya. Tidak perlu APBN.
Pelindo IV kini juga sudah menyelesaikan pembangunan pelabuhan peti kemas baru di Kariangau, Balikpapan. Itulah pelabuhan yang akan diresmikan Presiden SBY Rabu lusa. Pelindo IV juga menghadapi tantangan berat bersama Pelindo II untuk membangun pelabuhan baru yang amat besar di Sorong. Sebesar yang ada di Makassar. Beda dengan IKI tadi, kali ini Pelindo mampu menyediakan modal sendiri.

“Modal” memang sering seperti misteri. Ada perusahaan yang benar-benar perlu modal. Tapi, banyak juga “modal” yang dimaksud hanyalah berupa dukungan kepercayaan. Percaya kepada pemegang sahamnya, percaya kepada direksinya (percaya bahwa direksinya akan mau kerja keras), dan kadang cukup percaya bahwa ada orang lain yang memercayainya.

Dalam hal PT IKI, dukungan bahwa PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) akan membantunya bisa menimbulkan kepercayaan. Padahal, akhirnya PT DPS tidak perlu benar-benar memberikan dukungan. PT IKI bisa bangkit semata-mata oleh direksi dan karyawannya sendiri! Demikian juga PT Batantekno yang melakukan pengayaan uranium sistem rendah untuk memproduksi radioisotop. BUMN yang bergerak di kedokteran nuklir itu begitu terseok-seoknya. Dirinya sendiri sudah kehilangan kepercayaan. Apalagi orang luar.

Kepercayaan mulai muncul ketika direksi barunya adalah orang-orang yang tidak hanya ahli di bidang nuklir, tapi juga mau menderita (sampai tinggal di rumah kos-kosan). Dan mau bekerja keras. Bukan direksi yang selalu memikirkan “kalau saya kerja keras” saya akan “dapat apa”.

Memang setelah itu diperlukan dana. Batantekno tetap tidak bisa berkembang kalau tidak disediakan dana yang besar.
“Berapa besar?” tanya saya.

“Besar sekali, Pak. Bisa Rp80 miliar,” ujar Dr Yudiutomo Imardjoko, direktur utama PT Batantekno yang ahli nuklir itu. Dialah satu-satunya orang di dunia yang mampu melakukan pengayaan uranium dengan sistem rendah.
“Kalau uang itu saya usahakan, pendapatan perusahaan bisa mencapai berapa setahun?” tanya saya.

Dia pun menghitung-hitung. Dia melihat, negara-negara di Asia ini tidak ada yang mampu memproduksi isotop. Pun tidak Singapura dan Jepang. Amerika pun, kalau dua tahun lagi peraturan baru diterapkan, tidak akan bisa memproduksinya. Yakni, peraturan bahwa uranium tidak boleh lagi dikayakan dengan sistem tinggi. Negara-negara itu selama ini bisa memproduksi radioisotop dengan cara pengayaan sistem tinggi yang bisa disalahgunakan untuk senjata nuklir. Pasar radioisotop sangat luas. Semua orang yang sakit, yang memerlukan MRI atau CT scan, pasti memerlukan cairan radioisotop. Cairan itulah yang disuntikkan ke dalam tubuh agar dokter bisa melihat keadaan dalam tubuh kita mengandung penyakit apa saja. Setelah mempertimbangkan semua itu, Dr Yudi pun menggoreskan angka.

“Setahun pendapatan perusahaan bisa mencapai Rp 2 triliun, Pak,” kata Dr Yudi sepuluh menit kemudian.
“Oke. Saya carikan dana Rp 80 miliar. Anda laksanakan semua program itu,” tegas saya.

Setelah mengucapkan kata-kata itu, saya pun berpikir. Bank mana yang bisa memberikan pinjaman modal sebesar itu. Kekayaan PT Batantekno belum memenuhi syarat untuk punya pinjaman sebesar itu.
Akhirnya, BRI bisa diyakinkan. Ditandatanganilah perjanjian kredit Rp80 miliar.

Mendengar PT Batantekno mendapat dukungan dana, muncullah kepercayaan diri para direksi dan karyawannya. Bahkan, orang luar pun giliran memercayai Batantekno. Produksi pun meningkat. Ekspor pun dilakukan. Bahkan sampai Tiongkok dan Jepang.

Dari transaksi ekspor itulah PT Batantekno bisa mendapat L/C di depan. Perusahaan menjadi punya uang. Tanpa pinjaman. Termasuk tanpa pinjaman dari BRI yang sudah disetujui tersebut. Direksi Batantekno juga bukan direksi yang “mata duitan”. Tidak mau sembarangan mencairkan uang kalau memang tidak sangat diperlukan. Tidak ada sikap mengada-ada untuk sekadar agar uangnya cair.

Sebaliknya, BRI tentu merasa dirugikan. Saya pun seperti mendapat teguran ketika hari Minggu kemarin bertemu direktur BRI yang membidangi kredit-kredit untuk BUMN.
“PT Batantekno belum memanfaatkan kreditnya lho, Pak,” ujar Asmawi Syam.

Di satu pihak tentu saya memuji direksi Batantekno. Tapi, di pihak lain saya memaklumi problem pengaturan dana di BRI. Yang jelas, saya tetap mengucapkan terima kasih kepadanya. “Tanpa kesanggupan kredit dari Anda, direksi PT Batantekno tidak akan memiliki kepercayaan diri untuk berkembang,” kata saya.
“Tapi, alokasi kreditnya sudah telanjur ada, Pak,” katanya.

Tentu, saya tahu, bank bisa dirugikan kalau kredit yang sudah dialokasikan tidak dicairkan. Saya pun percaya bahwa PT Batantekno akan memerlukannya. Suatu saat. Untuk mengembangkan diri lebih besar lagi. Terutama kalau Batantekno jadi berekspansi ke luar negeri tahun depan. Yakni, membangun reaktor nuklir di AS dan memproduksi cairan kedokteran nuklir di sana. Dari dua contoh kasus PT IKI dan PT Batantekno tersebut, nyatalah bahwa kepercayaan adalah segala-galanya. Itulah sebabnya program holdingisasi BUMN juga harus dilihat sebagai upaya untuk memperbesar kepercayaan itu. PT Semen Gresik sudah membuktikannya. Demikian juga PT Pupuk Indonesia.

Saya sungguh berharap, sebelum akhir tahun ini holdingisasi BUMN perkebunan dan kehutanan bisa terlaksana. Mungkin memang masih perlu gerak “Gangnam style” di sepanjang tahun kedua saya di BUMN ini. (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/