25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Dibiayai Tjong A Fie, Kenaziran Dijabat Turun-menurun

Masjid Lama Gang Bengkok

Bangunannya bernilai arsitektur China. Tiga kali mengalami renovasi, namun tidak melunturkan desain sejak bangunan itu berdiri. Banyak pejabat tinggi yang melakukan ibadah di sana. Mulai dari Wali Kota Medan pertama hingga Wali Kota sampai saat ini.

Syahrial Siregar, Medan

HIJAU- KUNING: Masjid Gang Bengkok Jalan Masjid  didominasi warna hijau  kuning saat diabadikan, Selasa (9/10) lalu.//Triadi WIbowo/Sumut Pos
HIJAU- KUNING: Masjid Gang Bengkok Jalan Masjid yang didominasi warna hijau dan kuning saat diabadikan, Selasa (9/10) lalu.//Triadi WIbowo/Sumut Pos

Berdiri sejak 1888, masjid ini sejatinya dikenal dengan Masjid Lama Gang Bengkok. Apa nilai lebih dari Masjid peninggalan Tjong A Fie itu?

Berdiri kokoh di atas tanah seluas 1.600 meter di Jalan Masjid-Kesawan Medan, Masjid Lama Gang Bengkok, Kelurahan Kesawan, sampai saat ini menjadi daya tarik sendiri bagi orang orang untuk melakukan ibadah. Masjid ini berukuran lebih kurang 20×20 meter, dibangun pada 1888 di atas tanah wakaf seluas 1600 meter dari seorang pemuka Melayu, yaitu Datuk Mohammad ‘Adi Al Hajj, dengan bantuan dana dari Tjong A Fie.

Ada empat tiang penyangga di dalamnya, sama seperti 4 tiang yang ada di kediaman Tjong A Fie di Jalan Kesawan Medan. Rekonstruksi bangunan lama masih terasa di sini. Menghadap ke barat, sisi depan, kiri dan belakang bersebelahann
langsung dengan rumah-rumah warga. Sementara sisi sebelah kanan langsung berhadapan dengan Jalan Masjid.

Masjid ini telah berganti empat kepengurusan nazir secara turun-temurun. Pertama, kenaziran masjid dipegang oleh Syekh Mhd Yakub. Kemudian diturunkan kepada Syekh H Abu Bakar Yakub, anak Mhd Yakub. Masa Syekh Abu Bakar kemudian diambilalih oleh H Syaifuddin Nst, anak dari Abu Bakar. Kini, kenaziran masjid dipegang oleh H Mhd Sazly Nst, yang tak lain adalah keponakan dari Syaifuddin.

Silmy Tanjung (41), sekretaris nazir masjid generasi keempat mengatakan, masjid ini memiliki kelebihan dibandingkan masjid lainnya. “Dari bentuknya berbeda dengan masjid lain. Di sini ada unsur budaya China yang dipadu kebudayaan Melayu. Itu terlihat dari pelengkungan lempeng sisi bagian atas masjid: ada sisir-sisir di atas. “Semua biaya pembuatan masjid ini dari Tjong A Fie,” ujar Silmy.

Usai pembangunan masjid selesai, kata dia, kemudian Tjong A Fie menyerahkan kepada Sultan Deli. Kemudian Sultan Deli mengangkat Syekh Mhd Yakub sebagai nazir masjid pertama.

Silmy mengatakan, masjid ini sudah mengalami renovasi struktur sebanyak 3 kali. Awalnya masjid ini terbuat dari tiang-tiang kayu. Pada 1970-an, masjid kemudian diperbesar. Untuk menampung jumlah ibadah, pada 80-an, masjid kembali dirombak dengan memperluas 5 meter ke samping kiri dan samping kanan.

“Tidak hanya itu, pada 90-an, masjid kembali direnovasi dengan mengganti dinding marmer masjid. Selanjutnya, setiap tahun masjid ini terus direnovasi kecil-kecilan tanpa mengurangi konstruksi desain lamanya. Bulan Mei 2012 lalu, masjid ini juga dirombak plafon menaranya. Dulunya dari kayu, kini sudah diganti dengan baja,” ungkap Silmy.

Kalau untuk warna, hingga sekarang masjid ini masih mempertahankan warna hijau dan kuning di dinding luarnya. Masuk ke dalam lingkungan masjid, terdapat 8 toilet dan 20 unit tempat berwudhu. Tempat perempuan dibuat tertutup, sementara untuk laki-laki dibuat semi tertutup. Jaraknya berdekatan.

Untuk mengomodir kebutuhan air untuk berwudhu, masjid ini mengandalkan air dari sumur tua dengan lingkaran 2 meter yang ada di dalam kamar mandi perempuan. Konon katanya, sumur ini sudah ada sejak masjid ini berdiri. Meski tetap mengandalkan air dari sumur tua itu, kini masjid juga sudah menerima aliran air dari PDAM Tirtanadi.  “Kalau untuk mengakomodasi air di kamar mandi perempuan itu murni dari sumur tua tersebut. Ditambah bantuan air dari aliran PDAM Tirtanadi. Bisa jadi sumur itu sudah ada sebelum masjid ini berdiri,” kata Silmy.

Masjid ini masih mengandalkan kipas angin, bukan air conditioner (AC). Namun begitu, tetap saja masjid ini menjadi pilihan untuk tempat beribadah. “Kalau yang paling rame saat pelaksanaan salat zuhur, ashar, dan magrib. Jam 9 malam gedung utama masjid ini sudah ditutup. Tapi kami memperbolehkan kalau ada yang ingin menginap di masjid. Misalnya saja ada musafir yang kemalaman. Namun kami cek dulu kelengkapan identitasnya,” ujar Silmy.

Perpustakaan untuk umum yang ada di dalam masjid ini juga pernah dinobatkan sebagai perpustakaan terbaik. “Waktu itu penghargaannya diberikan oleh Bachtiar Zafar. Wali Kota Medan pada saat itu,” kata Silmy.
Silmy mencatat, masjid yang berkapasitas 2.000 jemaah itu, sudah banyak didatangi pejabat tinggi. Semisal, T Rizal Nurdin, mantan gubernur Sumut, Wali Kota Medan yang pertama sampai era Wali Kota Medan saat ini, Rahudman, juga sudah pernah salat di tempat ini. “Semasa Pak Gatot belum menjabat Plt Gubernur, dia juga sering salat di sini. Banyak juga kepala-kepala dinas yang salat disini. Termasuk Syamsul Arifin, mantan gubernur kita (gubernur nonaktif, Red),” tukas Silmy.
Satu lagi keunikan masjid ini, yakni mimbar khatib yang tingginya mencapai 4 meter. Dibandingkan masjid lainnya yang ada di Medan, mimbar di Masjid Gang Bengkok ini disebut Silmy yang paling tinggi. “Tiang yang empat berukiran bunga-bunga di atas. Tidak ada besi di masjid ini. Semunya batu besusun. Menara masjid ada sekitar 15 meter sampai ke puncaknya,” tukas Silmy.

Di masjid ini, ada 4 orang yang bertugas menjaga kebersihan masjid. Mulai dari yang bertugas membersihkan kamar mandi, membersihkan ruang sebelah kanan, serta yang bertugas mengumandangkan azan.
Ditanya mengapa dikatakan Masjid Gang Bengkok? Silmy menyebut kalau nama itu spontan saja tercetus. “Mungkin letaknya yang persis di gang. Dulunya, belum ada jalan ini, jika dilihat dari sisi kanan, masjid persis berada di Gang Bengkok,” kata Silmy.

Diakhir ceritanya, Silmy menyebut 4 tiang yang ada di sisi kanan dan kiri, serta 8 tiang penyangga di sisi belakang masjid, menandakan masjid ini akan dihadiri oleh semua umat Islam dari segala penjuru di Medan. Rencananya, dalam waktu dekat masjid ini akan kembali di renovasi. “Nanti akan dibuat plafon. Lantainya diganti dengan keramik yang baru. Termasuk kipas angin yang ada di ruang utama akan diganti dengan AC,” pungkas Silmy. (bersambung)

Masjid Lama Gang Bengkok

Bangunannya bernilai arsitektur China. Tiga kali mengalami renovasi, namun tidak melunturkan desain sejak bangunan itu berdiri. Banyak pejabat tinggi yang melakukan ibadah di sana. Mulai dari Wali Kota Medan pertama hingga Wali Kota sampai saat ini.

Syahrial Siregar, Medan

HIJAU- KUNING: Masjid Gang Bengkok Jalan Masjid  didominasi warna hijau  kuning saat diabadikan, Selasa (9/10) lalu.//Triadi WIbowo/Sumut Pos
HIJAU- KUNING: Masjid Gang Bengkok Jalan Masjid yang didominasi warna hijau dan kuning saat diabadikan, Selasa (9/10) lalu.//Triadi WIbowo/Sumut Pos

Berdiri sejak 1888, masjid ini sejatinya dikenal dengan Masjid Lama Gang Bengkok. Apa nilai lebih dari Masjid peninggalan Tjong A Fie itu?

Berdiri kokoh di atas tanah seluas 1.600 meter di Jalan Masjid-Kesawan Medan, Masjid Lama Gang Bengkok, Kelurahan Kesawan, sampai saat ini menjadi daya tarik sendiri bagi orang orang untuk melakukan ibadah. Masjid ini berukuran lebih kurang 20×20 meter, dibangun pada 1888 di atas tanah wakaf seluas 1600 meter dari seorang pemuka Melayu, yaitu Datuk Mohammad ‘Adi Al Hajj, dengan bantuan dana dari Tjong A Fie.

Ada empat tiang penyangga di dalamnya, sama seperti 4 tiang yang ada di kediaman Tjong A Fie di Jalan Kesawan Medan. Rekonstruksi bangunan lama masih terasa di sini. Menghadap ke barat, sisi depan, kiri dan belakang bersebelahann
langsung dengan rumah-rumah warga. Sementara sisi sebelah kanan langsung berhadapan dengan Jalan Masjid.

Masjid ini telah berganti empat kepengurusan nazir secara turun-temurun. Pertama, kenaziran masjid dipegang oleh Syekh Mhd Yakub. Kemudian diturunkan kepada Syekh H Abu Bakar Yakub, anak Mhd Yakub. Masa Syekh Abu Bakar kemudian diambilalih oleh H Syaifuddin Nst, anak dari Abu Bakar. Kini, kenaziran masjid dipegang oleh H Mhd Sazly Nst, yang tak lain adalah keponakan dari Syaifuddin.

Silmy Tanjung (41), sekretaris nazir masjid generasi keempat mengatakan, masjid ini memiliki kelebihan dibandingkan masjid lainnya. “Dari bentuknya berbeda dengan masjid lain. Di sini ada unsur budaya China yang dipadu kebudayaan Melayu. Itu terlihat dari pelengkungan lempeng sisi bagian atas masjid: ada sisir-sisir di atas. “Semua biaya pembuatan masjid ini dari Tjong A Fie,” ujar Silmy.

Usai pembangunan masjid selesai, kata dia, kemudian Tjong A Fie menyerahkan kepada Sultan Deli. Kemudian Sultan Deli mengangkat Syekh Mhd Yakub sebagai nazir masjid pertama.

Silmy mengatakan, masjid ini sudah mengalami renovasi struktur sebanyak 3 kali. Awalnya masjid ini terbuat dari tiang-tiang kayu. Pada 1970-an, masjid kemudian diperbesar. Untuk menampung jumlah ibadah, pada 80-an, masjid kembali dirombak dengan memperluas 5 meter ke samping kiri dan samping kanan.

“Tidak hanya itu, pada 90-an, masjid kembali direnovasi dengan mengganti dinding marmer masjid. Selanjutnya, setiap tahun masjid ini terus direnovasi kecil-kecilan tanpa mengurangi konstruksi desain lamanya. Bulan Mei 2012 lalu, masjid ini juga dirombak plafon menaranya. Dulunya dari kayu, kini sudah diganti dengan baja,” ungkap Silmy.

Kalau untuk warna, hingga sekarang masjid ini masih mempertahankan warna hijau dan kuning di dinding luarnya. Masuk ke dalam lingkungan masjid, terdapat 8 toilet dan 20 unit tempat berwudhu. Tempat perempuan dibuat tertutup, sementara untuk laki-laki dibuat semi tertutup. Jaraknya berdekatan.

Untuk mengomodir kebutuhan air untuk berwudhu, masjid ini mengandalkan air dari sumur tua dengan lingkaran 2 meter yang ada di dalam kamar mandi perempuan. Konon katanya, sumur ini sudah ada sejak masjid ini berdiri. Meski tetap mengandalkan air dari sumur tua itu, kini masjid juga sudah menerima aliran air dari PDAM Tirtanadi.  “Kalau untuk mengakomodasi air di kamar mandi perempuan itu murni dari sumur tua tersebut. Ditambah bantuan air dari aliran PDAM Tirtanadi. Bisa jadi sumur itu sudah ada sebelum masjid ini berdiri,” kata Silmy.

Masjid ini masih mengandalkan kipas angin, bukan air conditioner (AC). Namun begitu, tetap saja masjid ini menjadi pilihan untuk tempat beribadah. “Kalau yang paling rame saat pelaksanaan salat zuhur, ashar, dan magrib. Jam 9 malam gedung utama masjid ini sudah ditutup. Tapi kami memperbolehkan kalau ada yang ingin menginap di masjid. Misalnya saja ada musafir yang kemalaman. Namun kami cek dulu kelengkapan identitasnya,” ujar Silmy.

Perpustakaan untuk umum yang ada di dalam masjid ini juga pernah dinobatkan sebagai perpustakaan terbaik. “Waktu itu penghargaannya diberikan oleh Bachtiar Zafar. Wali Kota Medan pada saat itu,” kata Silmy.
Silmy mencatat, masjid yang berkapasitas 2.000 jemaah itu, sudah banyak didatangi pejabat tinggi. Semisal, T Rizal Nurdin, mantan gubernur Sumut, Wali Kota Medan yang pertama sampai era Wali Kota Medan saat ini, Rahudman, juga sudah pernah salat di tempat ini. “Semasa Pak Gatot belum menjabat Plt Gubernur, dia juga sering salat di sini. Banyak juga kepala-kepala dinas yang salat disini. Termasuk Syamsul Arifin, mantan gubernur kita (gubernur nonaktif, Red),” tukas Silmy.
Satu lagi keunikan masjid ini, yakni mimbar khatib yang tingginya mencapai 4 meter. Dibandingkan masjid lainnya yang ada di Medan, mimbar di Masjid Gang Bengkok ini disebut Silmy yang paling tinggi. “Tiang yang empat berukiran bunga-bunga di atas. Tidak ada besi di masjid ini. Semunya batu besusun. Menara masjid ada sekitar 15 meter sampai ke puncaknya,” tukas Silmy.

Di masjid ini, ada 4 orang yang bertugas menjaga kebersihan masjid. Mulai dari yang bertugas membersihkan kamar mandi, membersihkan ruang sebelah kanan, serta yang bertugas mengumandangkan azan.
Ditanya mengapa dikatakan Masjid Gang Bengkok? Silmy menyebut kalau nama itu spontan saja tercetus. “Mungkin letaknya yang persis di gang. Dulunya, belum ada jalan ini, jika dilihat dari sisi kanan, masjid persis berada di Gang Bengkok,” kata Silmy.

Diakhir ceritanya, Silmy menyebut 4 tiang yang ada di sisi kanan dan kiri, serta 8 tiang penyangga di sisi belakang masjid, menandakan masjid ini akan dihadiri oleh semua umat Islam dari segala penjuru di Medan. Rencananya, dalam waktu dekat masjid ini akan kembali di renovasi. “Nanti akan dibuat plafon. Lantainya diganti dengan keramik yang baru. Termasuk kipas angin yang ada di ruang utama akan diganti dengan AC,” pungkas Silmy. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/