Sidang Mariani Korban Malpraktek Ditunda
Perjuangannya untuk menuntut keadilan tidak pernah surut ia lakukan. Dengan berbekal semangat, walaupun kondisi fisik yang kian menurun, menempuh perjalanan hingga 7 jam Pematangsiantar-Medan tetap ia lakukan.
Farida Noris, Medan
Walaupun terkadang rasa keadilan yang ia tuntut di Pengadilan Negeri (PN) Medan tidak pernah berpihak pada dirinya, namun Mariani Sihombing terus berjuang menuntut keadailan.
Wanita berumur 52 tahun warga Jalan Marimbun I No 62 Pematangsiantar, yang mengalami cacat seumur hidup akibat korban dugaan malpraktek ini, kesal dan kecewa atas sikap majelis hakim Pengadilan Negeri Medan, Jonny Sitohang, Muhammad Nur dan diketuai Suhartanto, yang menunda sidang gugatan perdatanya, Selasa (6/11) kemarin di PN Medan, hanya karena kuasa hukum para tergugat terlambat hadir.
“Saya sangat kecewa atas sikap hakim yang menunda persidangan, hanya karena kuasa hukum pra tergugat terlambat datang. Hakim tidak, melihat bagaimana kondisi fisik saya yang menjadi cacat seumur hidup. Kalau terus sidang ini ditunda bagiamana kondisi kesehatan, yang setiap kali sidang harus menempuh 7 jam perjalan dari kediaman saya di Pematangsiantar ke Medan,’’ujar Mariani ujar Mariani kesal.
Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan selama perjalanan, sambung Mariani, bahkan setiap bulan Mariani mengaku harus mengganti selang kateter yang dipasang ditubuhnya karena kantung kemih tidak berfungsi lagi.
‘’Kondisi fisik saya terus menurun. Bahkan setiap bulannya dirinya harus mendapatkan penanganan medis di RS Columbia Asia Medan. Jadi bagaimana sidang ini? kok hakim seenaknya saja menunda persidangan,’’ ketus Mariani.
Sementara penasehat hukum korban, Budi Hartono Purba didampingi Leden Simangunsong menyatakan baik tergugat I dr Paulus Damanik, Spog, dan tergugat II RS Santa Elisabeth dan turut tergugat tidak pernah ada itikad baik dengan mengganti rugi apa yang sudah dialami korban.
“Mereka juga tidak pernah hadir saat sidang. Minta maaf juga tidak pernah, tidak ada adat ketimurannya. Ini sudah sidang yang ketiga kali, kita sempat akan mediasi tapi dalam mediasi dimana korban minta ganti kerugian, mereka tidak punya niat baik, padahal sudah dinyatakan MKDKI bersalah,” bebernya.
Sementara itu, Legal Konsultan RS Elisabeth Yasuha Siahaan SH saat dikonfirmasi mengatakan kasus tersebut bukanlah malpraktek seperti yang dikatakan pihak penggugat, namun pihak rumah sakit sudah mengupayakan perdamaian.
“Itu bukan malpraktek. Mereka saja yang bilang itu malpraktek. Kami juga sudah mengupayakan perdamaian, tapi keluarga penggugat menolak upaya tersebut,” ucap Yasuha.
Yasuha menjelaskan dalam sidang kode etik yang telah dilakukan majelis kode etik dokter Indonesia mengatakan perbuatan dr Partogi dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi. “Pengacaranya kan sudah tahu itu. Bahwa hasil putusan majelis kode etik kedokteran mengatakan perbuatan tersebut hanyalah pelanggaran administrasi,” ungkapnya.(*)