MARKETING SERIES (87)
Pada acara Selasa Pariwisata, Oktober 2012, yang diorganisasi Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali, saya disodori tema: Masihkah Bali Perlu Berpromosi?
Di Bali saat ini muncul kegalauan karena kurang terperhatikannya budaya Bali. Ada kesan pengobralan Bali yang berlebihan. Untuk mengejar target pendapatan asli daerah (PAD), umpamanya, Pemerintah Kabupaten Badung sangat agresif mengeluarkan izin pembangunan hotel.
Belakangan, dampak semua pembangunan itu, mulai kemacetan lalu lintas sampai tercemarnya nilai-nilai budaya asli Bali, mulai mengemuka.
Sebaliknya, Kabupaten Gianyar sangat ketat dalam hal mengeluarkan perizinan. Peran Puri Saren yang kebetulan keluarga kerajaan Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati yang menjadi bupati Gianyar sangat menentukan.
Sangat susah bagi chain-restaurant untuk buka outlet di Gianyar, terutama Ubud. Kota kecil yang pernah menjadi The Best City in Asia pilihan majalah Conde Nast Traveller USA pada 2010. Para wisatawan mancanegara suka Gianyar, khususnya Ubud, karena sering dianggap masih asli Bali. Orang bilang Taksunya masih terasa sebagai hasil pelestarian Trihita Karana. Harmonisasi dari Yang Maha Esa, alam, dan manusia.
Sementara itu, Kota Denpasar yang punya Sanur dirasa berada di simpang jalan. Di simpang jalan antara mass tourism seperti di Badung atau quality tourism seperti di Gianyar. Tapi, masalahnya, baru tiga daerah tingkat dua itu yang banyak turisnya. Bahkan, daerah tingkat dua lain masih harus disubsidi oleh mereka bertiga lewat Pemerintah Provinsi Bali.
Jadi, hanya Bali Selatan-lah yang sudah dipenuhi turis, sehingga gubernur Bali pun pernah berteriak supaya Bali menuju ke quality tourism saja.
Less tourist, more spending.
Dalam acara GIPI itu, saya mengingatkan, dalam situasi apa pun, Bali tidak boleh berhenti melakukan promosi. Sebab, pesaing pun makin agresif. Lihat saja Phuket sebagai salah satu destinasi di Thailand. Jumlah turis yang bertandang ke sana hampir sama dengan jumlah turis ke Bali.
Bali Timur dengan Karang Asem-nya masih belum digarap maksimal. Di situ ada Puri Agung Karang Asem, Candi Dasa yang merupakan mother temple, eks pemandian Raja Taman Ujung, tempat bermain surfing Tulamben, dan lainnya.
Apalagi jika cruise terminal Tanah Ampo jadi tahun depan, akan banyak turis kelas atas penumpang kapal pesiar yang berlabuh. Bagaimana pula dengan Bali Utara, Singaraja dengan Pantai Lovina-nya atau Klungkung dengan Pulau Nusa Penida-nya yang sakral?
Jawabannya tegas: Bali harus terus berpromosi dengan memperhatikan berbagai syarat. Pertama, harus smart dengan low-budget high-impact marketing, mengingat brand Bali Island sudah sangat kuat.
Kedua, promosikan daerah-daerah baru yang bukan tiga daerah tingkat dua tadi. Dengan demikian, beban infrastruktur akan semakin merata.
Ketiga, promosi jangan diartikan sebagai hanya iklan dan diskon. Tapi, pandai-pandailah menggunakan conversation yang bersifat online dan offline dari para pengunjung. Kita tinggal memfasilitasinya karena promosi sebenarnya adalah hanya bagian dari marketing. Tidak berdiri sendiri.
Dalam hal ini, namanya adalah place-marketing atau destination-marketing. Saya pribadi sangat berharap, cukup dengan Bali (tak perlu seluruh Indonesia), Singapura atau Malaysia bisa terkalahkan. Dan, Trihita Kirana harus tetap utuh!
Bagaimana pendapat Anda? (*)