26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tahun Baru, Momentum Introspeksi Diri

Oleh: Ahmad Amin

Tanggal 1 Januari merupakan momentum yang istimewa dalam memaknai pergantian tahun masehi, hari tersebut menjadi momentum berharga yang sangat sayang untuk dilewatkan karena hanya sekali datang setiap tahunnya.

Sebenarnya tahun masehi merupakan tahun yang masih tergolong prematur bagi masyarakat Indonesia, itu karena tahun masehi tidak memiliki akar kultur dan tradisi yang kental dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Berdasarkan background sosio-historis bangsa ini, lahirnya tahun masehi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh teologi (keagamaan) Kristiani yang dianut oleh masyarakat Eropa. Penanggalan ini resmi diberlakukan di Indonesia pada tahun 1910 ketika diberlakukannya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap bagi seluruh rakyat Hindia-Belanda.

Sedangkan berdasarkan latarbelakang teologis (keagamaan), penanggalan masehi berpegang pada kalender Gregorian, kalender ini sebagai pengganti kalender Julian yang dirasa kurang akurat, sebab awal musim semi semakin maju yang mengakibatkan perayaan Paskah yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea I tahun 325, kini sudah tidak tepat lagi.

Berdasarkan fakta sejarah di atas telah menjelaskan bahwa perayaan tahun baru masehi merupakan bukan asli produk budaya Indonesia, melainkan sangat erat kaitannya dengan keyakinan teologis kaum Nasrani.

Penyimpangan Makna
Hakikat tahun baru adalah bagaimana seseorang mampu mengevaluasi kinerja dirinya, yakni mensetting perilaku kita dengan berpedoman “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari ini”, agar hidup seseorang dapat dikatakan tidak merugi.
Namun realita yang berkembang selama ini, perayaan tahun baru diaktualisasikan dalam rangkaian penyambutan bermacam-macam sesuai dengan selera individu masing-masing.

Penyambutan pergantian tahun dipersiapkan dengan berbagai amunisi dengan balutan wajah penuh kemegahan. Kondisi semacam ini sepertinya sudah terkonsep dengan rapi, perilaku tersebut mencerminkan perilaku dangkalnya nilai-nilai moralitas sebagian besar masyarakat.
Kedok perayaan malam tahun baru merupakan wujud perilaku konsumtif, yakni membeli dan menyediakan barang-barang yang nantinya menjadi tak lebih dari seonggok sampah yang tak bermanfaat.

Di sisi lain peningkatan penggunaan bahan bakar sudah barang tentu melonjak drastis, karena kegemaran konvoi dan keliling tak jelas yang dilakukan masyarakat. Sudah barang tentu kebiasaan tersebut berimbas pada tingginya angka polusi udara yang sangat merugikan.

Detik pergantian tahun sejatinya merupakan pencurahan harapan yang bertujuan merubah tahun sebelumnya menuju ke arah yang lebih baik, bukan justru dengan diaktualisasikan dalam bentuk pesta megah yang menjadi tradisi dari masa ke masa.

Apa sesungguhnya makna dari wujud aktualisasi kegembiraan semu itu, yang seakan-akan mampu mengantar pada gerbang perubahan besar yang diharapkan. Namun pada kenyataannya tak lebih dari batas waktu yang imajinatif belaka, dan tidak dapat dilihat serta dirasakan kenyataannya.

Bukankah makna tahun baru merupakan suatu wujud dalam mengungkapkan perbaikan untuk masa-masa yang akan datang, jika memang seperti itu alangkah baiknya dilakukan dengan cara dan ritual yang sesederhana mungkin, bukan justru dengan mengumbar uang untuk dihambur-hamburkan demi terciptanya suasana yang penuh kemeriahan. Nah, apabila situasi tersebut berlangsung turun-temurun setiap tahunnya, apakah bisa dibilang suatu perilaku yang mengalami perubahan lebih baik?

Ajang Introspeksi
Hadirnya tahun baru secara tidak langsung telah mengingatkan manusia bahwa usiannya semakin berkurang. Namun celakanya tidak sedikit manusia yang tidak menyadari akan hal itu. Kebanyakan manusia tanpa sadar telah mensyukuri berkurangnya umur mereka, ironisnya hal tersebut disambut dengan pesta yang gegap gempita.

Jika seseorang mampu membaca pesan yang disampaikan oleh alam, sudah barang tentu mereka akan lebih bijak dalam menyikapi setiap situasi yang ada dengan tindakan yang positif. Menyadari apa yang menjadi kekurangannya selama ini dan bergerak kepada arah yang lebih baik.
Disadari atau tidak, di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang hidup serba dililit kekurangan. Untuk memenuhi sesuap nasi setiap harinya saja merupakan beban berat dan dirasa sangat sulit.

Namun di sisi lain, tidak sedikit orang yang membeli terompet, petasan ataupun kembang api, bahkan menghambur-hamburkan anggaran khusus untuk merayakan detik pergantian tahun. Sungguh memprihatinkan.

Rangkaian acara suka cita yang sedemikian rupa kiranya termasuk dalam kategori yang berlebihan. Budaya yang selama ini dilakukan oleh sebagian besar orang kurang tepat, sehingga mindset yang demikian harus secepatnya untuk didekonstruksi. Siapapun orangnya diperkenankan atau bahkan diwajibkan menyambut tahun baru dengan sederhana dan penuh introspeksi, karena telah diberikan umur panjang untuk berperilaku lebih baik di tahun berikutnya.

Apakah wujud dari perilaku seseorang yang beragama harus demikian, dan tindakan-tindakan seperti itu dianjurkan oleh wahyu yang telah diturunkan oleh Tuhan? Wallahu A’lam Bi Al-Shawab

Penulis Mahasiswa Tafsir Hadits IAIN Walisongo dan Peneliti di Pesantren
 Mahasiswa Farabi Institute Semarang

Oleh: Ahmad Amin

Tanggal 1 Januari merupakan momentum yang istimewa dalam memaknai pergantian tahun masehi, hari tersebut menjadi momentum berharga yang sangat sayang untuk dilewatkan karena hanya sekali datang setiap tahunnya.

Sebenarnya tahun masehi merupakan tahun yang masih tergolong prematur bagi masyarakat Indonesia, itu karena tahun masehi tidak memiliki akar kultur dan tradisi yang kental dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Berdasarkan background sosio-historis bangsa ini, lahirnya tahun masehi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh teologi (keagamaan) Kristiani yang dianut oleh masyarakat Eropa. Penanggalan ini resmi diberlakukan di Indonesia pada tahun 1910 ketika diberlakukannya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap bagi seluruh rakyat Hindia-Belanda.

Sedangkan berdasarkan latarbelakang teologis (keagamaan), penanggalan masehi berpegang pada kalender Gregorian, kalender ini sebagai pengganti kalender Julian yang dirasa kurang akurat, sebab awal musim semi semakin maju yang mengakibatkan perayaan Paskah yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea I tahun 325, kini sudah tidak tepat lagi.

Berdasarkan fakta sejarah di atas telah menjelaskan bahwa perayaan tahun baru masehi merupakan bukan asli produk budaya Indonesia, melainkan sangat erat kaitannya dengan keyakinan teologis kaum Nasrani.

Penyimpangan Makna
Hakikat tahun baru adalah bagaimana seseorang mampu mengevaluasi kinerja dirinya, yakni mensetting perilaku kita dengan berpedoman “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari ini”, agar hidup seseorang dapat dikatakan tidak merugi.
Namun realita yang berkembang selama ini, perayaan tahun baru diaktualisasikan dalam rangkaian penyambutan bermacam-macam sesuai dengan selera individu masing-masing.

Penyambutan pergantian tahun dipersiapkan dengan berbagai amunisi dengan balutan wajah penuh kemegahan. Kondisi semacam ini sepertinya sudah terkonsep dengan rapi, perilaku tersebut mencerminkan perilaku dangkalnya nilai-nilai moralitas sebagian besar masyarakat.
Kedok perayaan malam tahun baru merupakan wujud perilaku konsumtif, yakni membeli dan menyediakan barang-barang yang nantinya menjadi tak lebih dari seonggok sampah yang tak bermanfaat.

Di sisi lain peningkatan penggunaan bahan bakar sudah barang tentu melonjak drastis, karena kegemaran konvoi dan keliling tak jelas yang dilakukan masyarakat. Sudah barang tentu kebiasaan tersebut berimbas pada tingginya angka polusi udara yang sangat merugikan.

Detik pergantian tahun sejatinya merupakan pencurahan harapan yang bertujuan merubah tahun sebelumnya menuju ke arah yang lebih baik, bukan justru dengan diaktualisasikan dalam bentuk pesta megah yang menjadi tradisi dari masa ke masa.

Apa sesungguhnya makna dari wujud aktualisasi kegembiraan semu itu, yang seakan-akan mampu mengantar pada gerbang perubahan besar yang diharapkan. Namun pada kenyataannya tak lebih dari batas waktu yang imajinatif belaka, dan tidak dapat dilihat serta dirasakan kenyataannya.

Bukankah makna tahun baru merupakan suatu wujud dalam mengungkapkan perbaikan untuk masa-masa yang akan datang, jika memang seperti itu alangkah baiknya dilakukan dengan cara dan ritual yang sesederhana mungkin, bukan justru dengan mengumbar uang untuk dihambur-hamburkan demi terciptanya suasana yang penuh kemeriahan. Nah, apabila situasi tersebut berlangsung turun-temurun setiap tahunnya, apakah bisa dibilang suatu perilaku yang mengalami perubahan lebih baik?

Ajang Introspeksi
Hadirnya tahun baru secara tidak langsung telah mengingatkan manusia bahwa usiannya semakin berkurang. Namun celakanya tidak sedikit manusia yang tidak menyadari akan hal itu. Kebanyakan manusia tanpa sadar telah mensyukuri berkurangnya umur mereka, ironisnya hal tersebut disambut dengan pesta yang gegap gempita.

Jika seseorang mampu membaca pesan yang disampaikan oleh alam, sudah barang tentu mereka akan lebih bijak dalam menyikapi setiap situasi yang ada dengan tindakan yang positif. Menyadari apa yang menjadi kekurangannya selama ini dan bergerak kepada arah yang lebih baik.
Disadari atau tidak, di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang hidup serba dililit kekurangan. Untuk memenuhi sesuap nasi setiap harinya saja merupakan beban berat dan dirasa sangat sulit.

Namun di sisi lain, tidak sedikit orang yang membeli terompet, petasan ataupun kembang api, bahkan menghambur-hamburkan anggaran khusus untuk merayakan detik pergantian tahun. Sungguh memprihatinkan.

Rangkaian acara suka cita yang sedemikian rupa kiranya termasuk dalam kategori yang berlebihan. Budaya yang selama ini dilakukan oleh sebagian besar orang kurang tepat, sehingga mindset yang demikian harus secepatnya untuk didekonstruksi. Siapapun orangnya diperkenankan atau bahkan diwajibkan menyambut tahun baru dengan sederhana dan penuh introspeksi, karena telah diberikan umur panjang untuk berperilaku lebih baik di tahun berikutnya.

Apakah wujud dari perilaku seseorang yang beragama harus demikian, dan tindakan-tindakan seperti itu dianjurkan oleh wahyu yang telah diturunkan oleh Tuhan? Wallahu A’lam Bi Al-Shawab

Penulis Mahasiswa Tafsir Hadits IAIN Walisongo dan Peneliti di Pesantren
 Mahasiswa Farabi Institute Semarang

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/