23.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Sudah Bangun tapi Belum Bangkit

Kebangkitan nasional yang seyogianya kita peringati setiap tanggal 20 Mei mestinya menjadi momentum untuk merefleksikan perjalanan bangsa ini. Lebih dari satu abad sudah, sejak semangat itu dihembuskan pertama kali oleh tiga serangkai Dr Sutomo, Wahidin Sudirohusodo dan Deuwes Dekker. Dengan mendirikan Budi Utomo sebagai lembaga perjuangan untuk melawan penjajah Belanda, ketiganya telah memekikkan semangat kemerdekaan
bagi bangsa ini.

Oleh:
Jones Gultom

Sayang meski sudah 104 tahun sejak didirikan Budi Utomo itu, negeri ini masih belum mampu bangkit dari keterpurukan. Di hampir semua lini, bangsa ini tertinggal jauh dari bangsa-bangsa yang lain. Satu-satunya yang bangkit dari negeri ini adalah para koruptor. Miris rasanya, negeri yang dianugerahi ragam kekayaan alamnya, tapi tak juga bangkit dari keterpurukan.

Mengutip Cak Nur, bangsa ini memang sudah bangun tetapi masih belum bangkit. Ibarat seorang yang baru bangun tidur, bangsa ini masih terlena oleh mimpi tadi malam, sehingga tak lekas beranjak dari tempat tidur. Kita pun bermalas-malasan untuk melakukan aktivitas meski banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Kita pun cenderung menunggu ada orang lain yang mengurusi pekerjaan itu. Sementara kita bersantai-santai di tempat tidur, untuk kemudian tidur lagi.

Begitulah, bangsa ini memang sudah bangun, tapi tak juga beringsut dari tempat tidurnya. Kita tahu, persoalan korupsilah yang merusak dimensi hidup negeri ini, tapi kita tak melakukan apa-apa. Bahkan dengan sengaja menyembunyikannya pula. Kita tak ingin kasus-kasus itu dibuka secara gamblang, karena berbahaya bagi kita. Kita tak ingin bangkit dari ranjang, karena udara terlalu dingin. Kita menarik kembali selimut, padahal siang sudah menjelang.

Celakanya kita melakukan itu secara pasif. Ramai-ramai, sampai akhirnya menjadi kultus kebenaran. Dengan begitu, kita lebih gampang menyerang jika ada orang lain yang mencoba mengusik ketenangan kita.

Bukankah kita akan reaksional bila tidur kita diganggu orang. Lantas, terhadap semua itu kita menyalahkan cuaca yang merangsang kita untuk kembali tidur. Kita membuat pertahanan dengan mengkambinghitamkan rasa kantuk kita; bahwa kita harus lebih banyak istirahat? Ironisnya kita pun paham dengan perbuatan itu, namun sungkan berubah. Justru kita mencaci kegagalan masa lalu dengan perbuatan yang tak kurang celanya. Kita menghujat korupsi dengan prilaku yang korup. Kita mendakwa setan dengan cara iblis. Kita sudah bangun tetapi belum bangkit.

Beranjaklah

Kita tahu sejarah Jepang, khususnya pada Perang Dunia ke- II, ketika Amerika Serikat membombardir negara tersebut. Jepang luluhlantak. Tapi Jepang tak berlama-lama berduka. Jepang menyadari satu-satunya cara mengalahkan musuh adalah dengan bersekutu.

Maka selama puluhan tahun Jepang mengirim pelajarnya ke negeri adidaya itu dan kembali dengan kreasi-inovasi. Tak sampai enam puluh tahun, Jepang mampu mengalahkan Amerika Serikat. Kebangkitan Jepang merupakan sejarah dunia. Dengan Malaysia kita juga bisa belajar. Periode kebangkitan Malaysia sudah terasa sejak akhir tahun 70- an dengan memokuskan diri pada pembangunan kesehatan dan pendidikan. Mereka mendatangkan tenaga pengajar berkualitas dari negara tetangga (termasuk Indonesia ) sembari mengirim tenaga pengajarnya ke Eropa dan Amerika. Sepulangnya, kader-kader itu mengembangkan ilmunya. Kini giliran sarjana-sarjana kita yang belajar di sana.

Begitu juga dengan India. Negara ini kini bangkit dengan mengusung produk dalam negerinya. Mereka pun tumbuh menjadi negara yang kuat dan otonom. Termasuk pula Jerman, negara yang kalah di perang dunia ke-2. Negara ini tetap memosisikan diri sebagai pengekspor mesin-mesin perang dan teknologi mutakhir.

Kemandirian yang sama juga diperlihatkan banyak negara berkembang lain Iran, Thailand, bahkan Vietnam. Salah satu kiatnya, dengan memokuskan diri kepada potensi serta produk unggulan yang dimiliki. Sebaliknya Indonesia justru gamang. Ingin tampil sebagai negara agraria, tetapi pembangunan di bidang itu diabaikan.

Ingin tampil sebagai negara bahari, namun potensi kelautannya tak dimaksimalkan. Ingin tampil sebagai negara pariwisita, namun infrastukturnya tak memadai. Sementara eksploitasi sumber daya alam yang selama ini dikeruk habis-habisan telah di sampai pada ambang batas, yang hasilnya justru dinikmati oleh orang asing. Kita pun gamang menentukan pilihan. Mau dibawa kemana negara ini?

Tidak mudah membangkitkan semangat kebangkitan pada diri setiap orang.  Hanya orang-orang berjiwa setia dan loyalitas tinggi yang memiliki kesadaran itu. Tentu, sikap ini tidak lahir dengan sendirinya. Seorang yang setia dan loyal kepada bangsanya pasti didasari karena kecintaannya. Dan hal itu akan semakin kuat, bila yang dicintai itu juga memberikan yang terbaik baginya sehingga dengan sendirinya akan muncul semangat bela rasa pada diri orang tersebut.  Saya khawatir banyak di antara kita yang apatis untuk mencari hikma di balik Hari Kebangkitan ini. Mungkin karena sudah putus asa yang tak lagi berharap banyak dari bangsanya.

Pintu Selalu Terbuka

Terhadap perubahan, pintu tak pernah tertutup. Kita tengah diuji, apakah keyakinan masih menggerakkan hati kita untuk bangkit dan berubah. Maka sepantasnya kita bersyukur untuk semua persoalan yang telah dialami. Ini membuktikan betapa Tuhan masih setia menunggu pembuktian seperti yang diteladankanNya sendiri. Inilah saatnya kita menunjukkan keistimewaan makhluk yang bebas sekaligus berpekerti.

Carut-marut bangsa ini menunjukkan sejauh mana pemahaman diri kita sendiri dalam hubungannya yang lebih luas dan kompleks. Karenanya kebangkitan harus ditumbuhkan secara integral dengan kesadaran kolektif dari semua pihak yang merindukan kehidupan yang harmonis.

Pemimpin sudah saatnya menunjukkan diri sebagai teladan bagi yang dipimpinnya. Sebaliknya masyarakat juga harus pro aktif menjemput perubahan itu dengan dasar untu kepentingan bersama, bukan pribadi maupun kelompoknya. Membangkitkan kesadaran kolektif untuk bersama-sama bangkit tidak akan terjadi bila kita masih cerai-berai yang tak berdasarkan visi bersama. Kita berharap moment Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dapat dimaknai secara reflektif-rekolektif oleh semua orang. Dan masing-masing kita merenungkan hidup untuk kemudian bangkit bersama-sama menuju bangsa yang lebih baik dan beradab. (*)

(penulis adalah pemerhati budaya)

Kebangkitan nasional yang seyogianya kita peringati setiap tanggal 20 Mei mestinya menjadi momentum untuk merefleksikan perjalanan bangsa ini. Lebih dari satu abad sudah, sejak semangat itu dihembuskan pertama kali oleh tiga serangkai Dr Sutomo, Wahidin Sudirohusodo dan Deuwes Dekker. Dengan mendirikan Budi Utomo sebagai lembaga perjuangan untuk melawan penjajah Belanda, ketiganya telah memekikkan semangat kemerdekaan
bagi bangsa ini.

Oleh:
Jones Gultom

Sayang meski sudah 104 tahun sejak didirikan Budi Utomo itu, negeri ini masih belum mampu bangkit dari keterpurukan. Di hampir semua lini, bangsa ini tertinggal jauh dari bangsa-bangsa yang lain. Satu-satunya yang bangkit dari negeri ini adalah para koruptor. Miris rasanya, negeri yang dianugerahi ragam kekayaan alamnya, tapi tak juga bangkit dari keterpurukan.

Mengutip Cak Nur, bangsa ini memang sudah bangun tetapi masih belum bangkit. Ibarat seorang yang baru bangun tidur, bangsa ini masih terlena oleh mimpi tadi malam, sehingga tak lekas beranjak dari tempat tidur. Kita pun bermalas-malasan untuk melakukan aktivitas meski banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Kita pun cenderung menunggu ada orang lain yang mengurusi pekerjaan itu. Sementara kita bersantai-santai di tempat tidur, untuk kemudian tidur lagi.

Begitulah, bangsa ini memang sudah bangun, tapi tak juga beringsut dari tempat tidurnya. Kita tahu, persoalan korupsilah yang merusak dimensi hidup negeri ini, tapi kita tak melakukan apa-apa. Bahkan dengan sengaja menyembunyikannya pula. Kita tak ingin kasus-kasus itu dibuka secara gamblang, karena berbahaya bagi kita. Kita tak ingin bangkit dari ranjang, karena udara terlalu dingin. Kita menarik kembali selimut, padahal siang sudah menjelang.

Celakanya kita melakukan itu secara pasif. Ramai-ramai, sampai akhirnya menjadi kultus kebenaran. Dengan begitu, kita lebih gampang menyerang jika ada orang lain yang mencoba mengusik ketenangan kita.

Bukankah kita akan reaksional bila tidur kita diganggu orang. Lantas, terhadap semua itu kita menyalahkan cuaca yang merangsang kita untuk kembali tidur. Kita membuat pertahanan dengan mengkambinghitamkan rasa kantuk kita; bahwa kita harus lebih banyak istirahat? Ironisnya kita pun paham dengan perbuatan itu, namun sungkan berubah. Justru kita mencaci kegagalan masa lalu dengan perbuatan yang tak kurang celanya. Kita menghujat korupsi dengan prilaku yang korup. Kita mendakwa setan dengan cara iblis. Kita sudah bangun tetapi belum bangkit.

Beranjaklah

Kita tahu sejarah Jepang, khususnya pada Perang Dunia ke- II, ketika Amerika Serikat membombardir negara tersebut. Jepang luluhlantak. Tapi Jepang tak berlama-lama berduka. Jepang menyadari satu-satunya cara mengalahkan musuh adalah dengan bersekutu.

Maka selama puluhan tahun Jepang mengirim pelajarnya ke negeri adidaya itu dan kembali dengan kreasi-inovasi. Tak sampai enam puluh tahun, Jepang mampu mengalahkan Amerika Serikat. Kebangkitan Jepang merupakan sejarah dunia. Dengan Malaysia kita juga bisa belajar. Periode kebangkitan Malaysia sudah terasa sejak akhir tahun 70- an dengan memokuskan diri pada pembangunan kesehatan dan pendidikan. Mereka mendatangkan tenaga pengajar berkualitas dari negara tetangga (termasuk Indonesia ) sembari mengirim tenaga pengajarnya ke Eropa dan Amerika. Sepulangnya, kader-kader itu mengembangkan ilmunya. Kini giliran sarjana-sarjana kita yang belajar di sana.

Begitu juga dengan India. Negara ini kini bangkit dengan mengusung produk dalam negerinya. Mereka pun tumbuh menjadi negara yang kuat dan otonom. Termasuk pula Jerman, negara yang kalah di perang dunia ke-2. Negara ini tetap memosisikan diri sebagai pengekspor mesin-mesin perang dan teknologi mutakhir.

Kemandirian yang sama juga diperlihatkan banyak negara berkembang lain Iran, Thailand, bahkan Vietnam. Salah satu kiatnya, dengan memokuskan diri kepada potensi serta produk unggulan yang dimiliki. Sebaliknya Indonesia justru gamang. Ingin tampil sebagai negara agraria, tetapi pembangunan di bidang itu diabaikan.

Ingin tampil sebagai negara bahari, namun potensi kelautannya tak dimaksimalkan. Ingin tampil sebagai negara pariwisita, namun infrastukturnya tak memadai. Sementara eksploitasi sumber daya alam yang selama ini dikeruk habis-habisan telah di sampai pada ambang batas, yang hasilnya justru dinikmati oleh orang asing. Kita pun gamang menentukan pilihan. Mau dibawa kemana negara ini?

Tidak mudah membangkitkan semangat kebangkitan pada diri setiap orang.  Hanya orang-orang berjiwa setia dan loyalitas tinggi yang memiliki kesadaran itu. Tentu, sikap ini tidak lahir dengan sendirinya. Seorang yang setia dan loyal kepada bangsanya pasti didasari karena kecintaannya. Dan hal itu akan semakin kuat, bila yang dicintai itu juga memberikan yang terbaik baginya sehingga dengan sendirinya akan muncul semangat bela rasa pada diri orang tersebut.  Saya khawatir banyak di antara kita yang apatis untuk mencari hikma di balik Hari Kebangkitan ini. Mungkin karena sudah putus asa yang tak lagi berharap banyak dari bangsanya.

Pintu Selalu Terbuka

Terhadap perubahan, pintu tak pernah tertutup. Kita tengah diuji, apakah keyakinan masih menggerakkan hati kita untuk bangkit dan berubah. Maka sepantasnya kita bersyukur untuk semua persoalan yang telah dialami. Ini membuktikan betapa Tuhan masih setia menunggu pembuktian seperti yang diteladankanNya sendiri. Inilah saatnya kita menunjukkan keistimewaan makhluk yang bebas sekaligus berpekerti.

Carut-marut bangsa ini menunjukkan sejauh mana pemahaman diri kita sendiri dalam hubungannya yang lebih luas dan kompleks. Karenanya kebangkitan harus ditumbuhkan secara integral dengan kesadaran kolektif dari semua pihak yang merindukan kehidupan yang harmonis.

Pemimpin sudah saatnya menunjukkan diri sebagai teladan bagi yang dipimpinnya. Sebaliknya masyarakat juga harus pro aktif menjemput perubahan itu dengan dasar untu kepentingan bersama, bukan pribadi maupun kelompoknya. Membangkitkan kesadaran kolektif untuk bersama-sama bangkit tidak akan terjadi bila kita masih cerai-berai yang tak berdasarkan visi bersama. Kita berharap moment Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dapat dimaknai secara reflektif-rekolektif oleh semua orang. Dan masing-masing kita merenungkan hidup untuk kemudian bangkit bersama-sama menuju bangsa yang lebih baik dan beradab. (*)

(penulis adalah pemerhati budaya)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/